Kamis, 15 November 2012

Eksistensi HMI MPO Cabang Mataram di tengah pergolakan pemikiran kader


               Eksitensi HMI MPO Cabang Mataram di tengah Pergolakan Pemikiran Kader
Muh. Ikhsanul Yakin (Can Al- Jabar) ketua bidang PTK HMI MPO Mataram 2010-2011
Mataram, 19 Oktober 2012 18.00 wita
1). Periodesasi Lahirnya HMI MPO Mataram
          Salah satu indicator kemapanan dan keberhasilan dari sebuah organisasi adalah ketika ia mampu mewarnai laju gerak dinamika social. HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) sebagai organisasi kemahasiswaan islam tertua dan terbesar se-Indonesia terus membawa obor perubahan dan mengawal jalannya demokrasi di tengah percaturan politik nasional di berbagai fase perkembangan bangsa mulai era orde lama, orde baru sampai era reformasi sekarang. Sejak dibentuk tahun 1947 dengan dua pilar utama yaitu keislaman dan keindonesiaan, Himpunan Mahasiswa Islam (MPO) di harapkan mampu mempercepat proses perubahan yang banyak di dambakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Sebagai salah satu organisasi bagian dari bangsa Indonesia, merupakan tanggungjawab social sekaligus tanggungjawab moral untuk melaksanakan tugas tersebut. Di deklarasikannya HMI MPO cabang mataram pada tahun 2006 yang di pelopori oleh Syarifuddin dkk tidak terlepas dari situasi percaturan politik nasional maupun daerah, tapi penulis lebih tertarik melakukan penelitian pada lahirnya HMI MPO Cabang Mataram akibat suhu panas politik gerakan mahasiswa di kampus IKIP Mataram dalam mempresur beberapa kebijakan kampus yang tidak berorientasi pada mahasiswa dan kampus saat itu dijadikan arena pertarungan elit-elit birokrat untuk menjadi orang nomor 1 (rektor). Beberapa aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan termasuk dari HMI MPO menginginkan kampus menjadi sebuah lembaga yang menjadi titik pangkal perubahan social, karena pada dasarnya kampus adalah lembaga pendidikan untuk mencetak intelektual muda yang memiliki semangat perubahan seiring dengan semakin kompleksnya persoalan social. Seperti kita ketahui bersama, bahwa pendidikan adalah upaya sadar yang dilakukan secara sistematis untuk mencetak peserta didik yang bermoral, kritis, dinamis, progresif dalam bertindak.
          Bermula pada kematian aktivis kampus yang bernama M. Ridwan di penghujung Agustus 2006 frustasi dari beberapa mahasiswa kian memuncak di karenakan beberapa organisasi berskala nasional maupun daerah bersikap apatis dalam mempresur dan mempercepat penyelesaian kasus pembunuhan mahasiswa tersebut, beberapa gerakan mahasiswa di kekang, di intimidasi dan terpaksa tiarap. Seiring dengan kondisi di atas Syarif dkk mengkoordinasikan diri untuk pembentukan sebuah organisasi besar yang mampu menampung beberapa aspirasi kampus lewat BADKO INBAGTIM (Sebutan Badan Koordinasi HMI sebelum berubah menjadi Badko SULAMBANUSA) untuk mendeklarasikan lahirnya HMI MPO di Kota Mataram NTB. Di latarbelakangi oleh keinginan dari beberapa kelompok ekstrim mahasiswa untuk berpikir progresif dan organisasi sebagai wadah untuk berproses memanusiakan manusia serta mampu membentuk karakter kebangsaan, HMI cabang Mataram pun di deklarasikan sebagai wadah berideologikan islam yang memiliki misi amar ma’ruf nahi munkar dan mencerdaskan kehidupan anak bangsa serta berpraktik-praktik menurut syariah islam.
2. Hijau Hitamnya Langit Kota Mataram
          Penulis masuk dan bergabung dengan HMI MPO cabang Mataram pada penghujung tahun 2008, maka dinamika HMI cabang Mataram pada rentang tahun 2006 s/d pertengahan tahun 2008 penulis belum memahaminya secara mendetail hanya mendapatkan informasi melalui observasi terhadap beberapa alumni asli yang dari Cabang Mataram dan mengumpulkan data yang terdapat pada arsip-arsip. Semenjak 2006 HMI MPO Cabang Mataram menjadi bagian dari organisasi kemahasiswaan yang bernafaskan islam dalam mengemban amanat rakyat NTB dan membawa misi keislaman untuk di transformasikan ke berbagai perguruan tinggi lewat pendidikan dan pelatihan melalui silabus HMI yang memuat latihan Kader I dst. Pada periode awal kepemimpinan ini (2006-2007) penulis mencoba menggeneralisasi sebagai periode penemuan identitas organisasi, proses transformasi nilai-nilai dan ruh HMI, konsolidasi internal, dan berdiaspora di berbagai perguruan tinggi oleh beberapa pelopor untuk melakukan agitasi dan propaganda organisasi. Kemudian Priode (2007-2010) adalah masa rekonsolidasi kader. Penguatan basic keilmuan kader, penguatan langkah strategis dan taktik organisasi, aksi lapangan meningkat, budaya diskusi atau kajian semakin massif dan signifikan, ekspansi ke beberapa kampus negeri maupun swasta untuk membentuk komisariat. Dalam perjalanannya 4 tahun ini HMI MPO Cabang Mataram menjadi organisasi yang aktif memprotes kebijakan politik daerah yang tidak populis di kalangan rakyat dan turut melakukan aksi solidaritas terhadap kasus-kasus nasional yang belum terungkap serta menyuarakan kegagalan rezim dalam menyehatkan dan membuat system yang adil bagi bangsa dan Negara indonesia. Indikatornya HMI Mataram menjadi salah satu organisasi yang di segani dan memiliki banyak pengaruh di sector-sektor penting mahasiswa. Massifnya protes dari kalangan aktivis HMI Mataram membuat beberapa institusi di NTB mencap HMI sebagai salah satu gerakan yang bercorak konfrontasi terhadap pemerintah.
3). Arus Balik dan pergolakan pemikiran kader
          Dalam Sejarah komunitas mahasiswa dan pemuda di Indonesia maupun di belahan dunia manapun perbedaan sikap dan gagasan dalam organisasi menjadi sebab perpecahan yang sulit di damaikan, sebut saja perpecahan dalam internal Serikat Islam (SI Merah-SI Putih), HMI MPO-HMI Dipo (1986) dan sebagainya. Inilah sedikit ulasan sejarah yang sedang menghinggapi eksitensi HMI MPO Cabang Mataram di tengah pergolakan dinamika organisasi yang belum menemukan titik buntu penyelesaian, peran Badko dan PB HMI yang akan mampu memberikan resolusi dan menyehatkan kembali aparatur organisasi di bawahnya. Periode 2011 sampai sekarang menjadi awal titik lebur organisasi dalam mereduksi nilai-nilai dan ruh HMI. Intens dan terlibat jauhnya alumni dalam mendikte setiap langkah dan tindakkan kader menjadi boomerang polarisasi gerakan di internal HMI Cabang Mataram. HMI dalam Khittah Perjuangan memuat nilai independensi yang mana setiap kader bebas menentukan sikap tanpa dipolitisir oleh kepentingan koorporasi, kekuasaan, dan alumni. Ini yang membuat beberapa kawan-kawan yang tersadarkan untuk segera menyelamatkan HMI cabang mataram dari kontaminasi politik praktis dan membuat image HMI sebagai penjaga kekuasaan di bawah strategi permainan politik dedengkot HMI asal Jawa bagian selatan. Eksistensi alumni menjadikan HMI sebagai alat legitimasi untuk meraih dan kelanggengan kekuasaan. Beberapa kader HMI di paksa tiarap dalam segala perintah dan ucapannya (seperti hidup di zaman feodalisme).
          Independensi yang di tafsirkan dari Khittah Perjuangan menjadi angin lalu dan tidak mereka gubris, hokum rimba menjadi konstitusi mutlak dalam menyelesaikan persoalan. Ini yang menurut penulis pergeseran moral kader ke arah yang tidak tercermin proses kaderisasi HMI. Ideologisasi yang di bangun atas khittah perjuangan menggambarkan mindset berpikir kader harus tercermin lewat praktikum-praktikum di lapangan dan seterusnya menjadi cultur budaya pergaulan kader HMI..Perselisihan dalam Konfercab ke VI menjadi bukti lemahnya identitas kader dalam memaknai demokrasi, beberapa titipan alumni (walaupun masih kecil) di paksa bertarung dalam forum tersebut untuk mengamankan entitasnya sebagai kunci gerakan anak-anak HMI MPO Mataram di mana Presidium KAHMI NTB. Tidaklah kawan-kawan berpikir kalau kita hari ini sengaja di benturkan (clash) oleh beberapa orang yang memiliki kepentingan di belakang layar..semoga kita tersadarkan, dan memang kita adalah intelektual yang tersadarkan.
Bahagia HMI….
Yakin Usaha Sampai….

Kamis, 02 Agustus 2012

Latar Belakang Lahirnya HMI

I. LATAR BELAKANG SEJARAH HMI

Kalau ditinjau secara umum ada 4 (empat) permasalahan yang menjadi latar belakang sejarah berdirinya HMI.

1). Situasi Dunia Internasional

          Berbagai argumen telah diungkapkan sebab-sebab kemunduran ummat Islam. Tetapi hanya satu hal yang mendekati kebenaran, yaitu bahwa kemunduran ummat Islam diawali dengan kemunduran berpikir, bahkan sama sekali menutup kesempatan untuk berpikir. Yang jelas ketika ummat Islam terlena dengan kebesaran dan keagungan masa lalu maka pada saat itu pula kemunduran menghinggapi kita. Akibat dari keterbelakangan ummat Islam , maka munculah gerakan untuk menentang keterbatasan seseorang melaksanakan ajaran Islam secara benar dan utuh. Gerakan ini disebut Gerakan Pembaharuan. Gerakan Pembaharuan ini ingin mengembalikan ajaran Islam kepada ajaran yang totalitas, dimana disadari oleh kelompok ini, bahwa Islam bukan hanya terbatas kepada hal-hal yang sakral saja, melainkan juga merupakan pola kehidupan manusia secara keseluruhan. Untuk itu sasaran Gerakan Pembaharuan atau reformasi adalah ingin mengembalikan ajaran Islam kepada proporsi yang sebenarnya, yang berpedoman kepada Al Qur'an dan Hadist Rassullulah SAW. Dengan timbulnya ide pembaharuan itu, maka Gerakan Pem-baharuan di dunia Islam bermunculan, seperti di Turki (1720), Mesir (1807). Begitu juga penganjurnya seperti Rifaah Badawi Ath Tahtawi (1801-1873), Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad Ibnu Abdul Wahab (Wahabisme) di Saudi Arabia (1703-1787), Sayyid Ahmad Khan di India (1817-1898), Muhammad Iqbal di Pakistan (1876-1938) dan lain-lain.

2). Situasi NKRI

Tahun 1596 Cornelis de Houtman mendarat di Banten. Maka sejak itu pulalah Indonesia dijajah Belanda. Imprealisme Barat selama ± 350 tahun membawa paling tidak 3 (tiga) hal :
• Penjajahan itu sendiri dengan segala bentuk implikasinya.
• Missi dan Zending agama Kristiani.
• Peradaban Barat dengan ciri sekulerisme dan liberalisme.
Setelah melalui perjuangan secara terus menerus dan atas rahmat Allah SWT maka pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta Sang Dwi Tunggal Proklamasi atas nama bangsa Indonesia mengumandangkan kemerdekaannya.
Kondisi Mikrobiologis Ummat Islam di Indonesia
Kondisi ummat Islam sebelum berdirinya HMI dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:
• Sebagian besar yang melakukan ajaran Islam itu hanya sebagai kewajiban yang diadatkan seperti dalam upacara perkawinan, kematian serta kelahiran.
• Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mempraktekkan ajaran Islam sesuai yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
• Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang terpengaruh oleh mistikisme yang menyebabkan mereka berpendirian bahwa hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja.
• Golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman, selaras dengan wujud dan hakekat agama Islam. Mereka berusaha supaya agama Islam itu benar-benar dapat dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia.

3). Kondisi Perguruan Tinggi dan Dunia Kemahasiswaan
Ada dua faktor yang sangat dominan yang mewarnai Perguruan Tinggi (PT) dan dunia kemahasiswaan sebelum HMI berdiri:
• Sistem yang diterapkan dalam dunia pendidikan umumnya dan PT khususnya adalah sistem pendidikan barat, yang mengarah kepada sekulerisme yang "mendangkalkan agama disetiap aspek kehidupan manusia".
• Adanya Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di Surakarta dimana kedua organisasi ini dibawah pengaruh Komunis. Bergabungnya dua faham ini (Sekuler dan Komunis), melanda dunia PT dan Kemahsiswaan, menyebabkan timbulnya "Krisis Keseimbangan" yang sangat tajam, yakni tidak adanya keselarasan antara akal dan kalbu, jasmani dan rohani, serta pemenuhan antara kebutuhan dunia dan akhirat.

Faktor Penghambat Berdirinya HMI
Munculnya reaksi-reaksi dari :
1. Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY)
2. Gerakan Pemuda Islam (GPII)
3. Pelajar Islam Indonesia (PII)
4. Fase-Fase Perkembangan HMI dalam Perjuangan Bangsa Indonesia

Fase Konsolidasi Spiritual (1946-1947)
Sudah diterangkan diatas

Fase Pengokohan (5 Februari 1947 - 30 November 1947)
Selama lebih kurang 9 (sembilan) bulan, reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI barulah berakhir. Masa sembilan bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan yang datang silih berganti, yang kesemuanya itu semakin mengokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri tegak dan kokoh.

Fase Perjuangan Bersenjata (1947 - 1949)
Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensinya dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun kegelanggang pertempuran melawan agresi yang dilakukan oleh Belanda, membantu Pemerintah, baik langsung memegang senjata bedil dan bambu runcing, sebagai staff, penerangan, penghubung. Untuk menghadapi pemberontakkan PKI di Madiun 18 September 1948, Ketua PPMI/ Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono dan wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu Pemerintah menumpas pemberontakkan PKI di Madiun, dengan mengerahkan anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam. Dendam disertai benci itu nampak sangat menonjol pada tahun '64-'65, disaat-saat menjelang meletusnya G30S/PKI.

Fase Pertumbuhan dan Perkembangan HMI (1950-1963)
Selama para kader HMI banyak yang terjun ke gelanggang pertempuran melawan pihak-pihak agresor, selama itu pula pembinaan organisasi terabaikan. Namun hal itu dilakukan secara sadar, karena itu semua untuk merealisir tujuan dari HMI sendiri, serta dwi tugasnya yakni tugas Agama dan tugas Bangsa. Maka dengan adanya penyerahan kedaulatan Rakyat tanggal 27 Desember 1949, mahasiswa yang berniat untuk melanjutkan kuliahnya bermunculan di Yogyakarta. Sejak tahun 1950 dilaksankanlah tugas-tugas konsolidasi internal organisasi. Disadari bahwa konsolidasi organisasi adalah masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.

Fase Tantangan (1964 - 1965)
Dendam sejarah PKI kepada HMI merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi HMI. Setelah agitasi-agitasinya berhasil membubarkan Masyumi dan GPII, PKI menganggap HMI adalah kekuatan ketiga ummat Islam. Begitu bersemangatnya PKI dan simpatisannya dalam membubarkan HMI, terlihat dalam segala aksi-aksinya, Mulai dari hasutan, fitnah, propaganda hingga aksi-aksi riil berupa penculikan, dsb. Usaha-usaha yang gigih dari kaum komunis dalam membubarkan HMI ternyata tidak menjadi kenyataan, dan sejarahpun telah membeberkan dengan jelas siapa yang kontra revolusi, PKI dengan puncak aksi pada tanggal 30 September 1965 telah membuatnya sebagai salah satu organisasi terlarang.

Fase Kebangkitan HMI sebagai Pelopor Orde Baru (1966 - 1968)
HMI sebagai sumber insani bangsa turut mempelopori tegaknya Orde Baru untuk menghapuskan orde lama yang sarat dengan ketotaliterannya. Usaha-usaha itu tampak antara lain HMI melalui Wakil Ketua PB Mari'ie Muhammad memprakasai Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) 25 Oktober 1965 yang bertugas antara lain : 1) Mengamankan Pancasila. 2) Memperkuat bantuan kepada ABRI dalam penumpasan Gestapu/ PKI sampai ke akar-akarnya. Masa aksi KAMI yang pertama berupa Rapat Umum dilaksanakan tanggal 3 Nopember 1965 di halaman Fakultas Kedokteran UI Salemba Jakarta, dimana barisan HMI menunjukan superioitasnya dengan massanya yang terbesar. Puncak aksi KAMI terjadi pada tanggal 10 Januari 1966 yang mengumandangkan tuntutan rakyat dalam bentuk Tritura yang terkenal itu. Tuntutan tersebut ternyata mendapat perlakuan yang represif dari aparat keamanan sehingga tidak sedikit dari pihak mahasiswa menjadi korban. Diantaranya antara lain : Arif rahman Hakim, Zubaidah di Jakarta, Aris Munandar, Margono yang gugur di Yogyakarta, Hasannudin di Banjarmasin, Muhammad Syarif al-Kadri di Makasar, kesemuanya merupakan pahlawan-pahlawan ampera yang berjuang tanpa pamrih dan semata-mata demi kemaslahatan ummat serta keselamatan bangsa serta negara. Akhirnya puncak tututan tersebut berbuah hasil yang diharap-harapkan dengan keluarnya Supersemar sebagai tonggak sejarah berdirinya Orde Baru.

Fase Pembangunan (1969 - 1970)
Setelah Orde Baru mantap, Pancasila dilaksanakan secara murni serta konsekuen (meski hal ini perlu kajian lagi secara mendalam), maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). HMI pun sesuai dengan 5 aspek pemikirannya turut pula memberikan sumbangan serta partisipasinya dalam era awal pembagunan. Bentuk-bentuk partisipasi HMI baik anggotanya maupun yang telah menjadi alumni meliputi diantaranya : 1) partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan, 2) partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran 3) partisipasi dalam bentuk pelaksana langsung dari pembangunan.

Fase Pergolakan dan Pembaharuan Pemikiran (1970 - sekarang )
Suatu ciri khas yang dibina oleh HMI, diantaranya adalah kebebasan berpikir dikalangan anggotanya, karena pada hakikatnya timbulnya pembaharuan karena adanya pemikiran yang bersifat dinamis dari masing-masing individu. Disebutkan bahwa fase pergolakan pemikiran ini muncul pada tahun 1970, tetapi geja-gejalanya telah nampak pada tahun 1968. Namun klimaksnya memang terjadi pada tahun 1970 di mana secara relatif masalah- masalah intern organisasi yang rutin telah terselesaikan. Sementara di sisi lain, persoalan ekstern muncul menghadang dengan segudang problema.


II. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diprakasai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk ditingkat I. Tentang sosok Lafran Pane, dapat diceritakan secara garis besarnya antara lain bahwa Pemuda Lafran Pane lahir di Sipirok-Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pemuda Lafran Pane yang tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim pernah menganyam pendidikan di Pesantren, Ibtidaiyah, Wusta dan sekolah Muhammadiyah. Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: "Melihat dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.

Peristiwa Bersejarah 5 Februari 1947

Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan yang berakhir dengan kegagalan. Lafran Pane mengadakan rapat tanpa undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan secara mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir. Ketika itu hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan 5 Februari 1947, disalah satu ruangan kuliah STI di Jalan Setiodiningratan (sekarang Panembahan Senopati), masuklah mahasiswa Lafran Pane yang dalam prakatanya dalam memimpin rapat antara lain mengatakan "Hari ini adalah pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan"
Pada awal pembentukkannya HMI bertujuan diantaranya antara lain:
1. Mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.
2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Sementara tokoh-tokoh pemula / pendiri HMI antara lain :
• Lafran Pane (Yogya),
• Karnoto Zarkasyi (Ambarawa),
• Dahlan Husein (Palembang),
• Maisaroh Hilal (Singapura),
• Suwali, Yusdi Ghozali (Semarang),
• Mansyur, Siti Zainah (Palembang),
• M. Anwar (Malang),
• Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi (Malang),
• Baidron Hadi (Yogyakarta).

Faktor Pendukung Berdirinya HMI

Posisi dan arti kota Yogyakarta
1. Yogyakarta sebagai Ibukota NKRI dan Kota Perjuangan
2. Pusat Gerakan Islam
3. Kota Universitas/ Kota Pelajar
4. Pusat Kebudayaan
5. Terletak di Central of Java
6. Kebutuhan Penghayatan dan Keagamaan Mahasiswa
7. Adanya tuntutan perang kemerdekaan bangsa Indonesia
8. Adanya STI (Sekolah Tinggi Islam), BPT (Balai Perguruan Tinggi), Gajah Mada, STT (Sekolah Tinggi Teknik).
9. Adanya dukungan Presiden STI Prof. Abdul Kahar Muzakir Ummat Islam Indonesia mayoritas

III. MISI GERAKAN PEMBAHARUAN
          Pemikiran kritis di dalam Islam sebenarnya sudah berlangsung lama. Dalam dunia Islam dikenal kelompok Mu’tazilah yang sangat rasional. Sekelompok penganut Syi’ah bahkan tak tanggung-tanggung mengkritik anggapan umum ummat Islam saat ini. Bagi sekelompok penganut Syiah, sebenarnya wahyu yang diterima oleh Muhammad itu salah alamat, mestinya wahyu itu diterima oleh Ali bin Abi Thalib. Gagasan mengenai pembaruan Islam masih sangat relevan. Wacana ini bergulir dalam diskusi bertajuk “Pembaruan Tanpa Apologia” di Wisma Bina Marga, Bandung, 21/08/2010. Diskusi ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandung bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Friedrich Naumann Stiftung (FNS). Diskusi ini dimaksudkan untuk membahas gagasan pembaruan Ahmad Wahib, salah satu tokoh HMI era 1960an.
Novriantoni Kahar (Jaringan Islam Liberal) mengawali diskusi dengan memaparkan sejumlah hasil kajian terhadap fenomena masyarakat Islam kini. Novri menyebut sebuah jargon “al-Islam wahidan wa muta’addidan” (Islam itu satu dan berbilang). Menurut Novri, saat ini, wacana keislaman dikuasai oleh Islam elit (Islam as-Saasah). Islam elit biasa juga disebut sebagai Islam panggung (al-Islam al-masrahi). Para Muslim panggung adalah mereka yang menjadikan Islam sebagai kendaraan politik semata. Sebenarnya mereka tidak terlalu suka dengan segala aturan agama yang ketat. Mereka hanya menggunakan agama sebagai alat pencitraan.
          Fenomena Islam panggung begitu marak di Indonesia beberapa tahun terakhir. Fakta bahwa para elit acapkali melakukan politisasi agama dalam bentuk dukungan terhadap sejumlah Perda dan UU yang bernuansa syariat tapi diskriminatif adalah tanda-tanda fenomena Islam panggung.
Islam elit atau panggung berbeda dengan Islam pembaru. Islam pembaru adalah kelompok Islam progressif yang terus menerus mewacanakan gerakan pembaruan agama. Jumlah mereka cenderung sedikit. Novri mencontohkan jumlah anggota HMI yang sangat banyak, tapi hanya segelintir anggota HMI yang seperti Cak Nur (Nurcholish Madjid) dan Ahmad Wahib.
Namun begitu, kelompok pembaru sebenarnya ada dua macam. Ada kelompok pembaru yang beriorientasi ke belakang dan melakukan gerakan revivalisme. Mereka adalah penganut Wahabi, Taqiyuddin Nabhani, Ahmad Dahlan, Natsir dan Cak Nur. Kelompok pembaru yang sebenarnya adalah yang benar-benar mau menjadi katalisator dalam gerakan pembaruan. Ahmad Wahib mewakili kelompok pembaru yang murni ini. Setidaknya ada tiga tujuan pembaruan, menurut Novri. Pertama, membuat agama lebih spritual ketimbang politis. Saat ini Islam adalah satu-satunya agama yang masih sangat obsesif terhadap politik. Kedua, menjadikan agama lebih humanis, ketimbang teroris. Dan ketiga, agama mesti berdamai dengan dunia.
          Dr. Fauzan Ali Rasyid, M.Si (dosen politik Islam UIN Bandung) membantah klaim pemikiran yang dibawa oleh Ahmad Wahib. Bagi dia, apa yang dikemukakan Ahmad Wahib bukan pemikiran, melainkan celotehan. Ahmad Wahib memang tidak menerbitkan sebuah buku yang merangkum pemikiran yang utuh. Buku yang dibaca banyak kalangan mengenai Wahib adalah buku kumpulan catatan harian yang terbit tahun 1981.
Layaknya celotehan, maka apa yang diungkap Wahib acapkali benar, menghina, dan menghibur. Tapi, menurut Fauzan, demikianlah adanya agama. Agama memang merupakan hiburan. Dia hadir sebagai pelipur saat orang susah dan berduka. Fauzan mengkritik fenomena Islam Indonesia saat ini yang dikuasai oleh para habib. Ini adalah fakta politisasi agama. Sebenarnya agama tidak punya kepentingan, yang memiliki kepentingan adalah para penguasa. Jika politisasi agama ini terus terjadi, maka “di masa depan, agama mungkin hanya akan menjadi celotehan belaka,” tegas Fauzan.
Mengenai Wahib, Fauzan menyatakan bahwa dia sebenarnya ingin menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai Islam adalah perpaduan budaya. Agama-agama yang berasal dari Timur Tengah, misalnya, selalu mewajibkan kerudung. Kerudung bukan hanya untuk orang Islam, tapi juga Yahudi dan Nasrani. Kerudung bukan hanya perempuan, melainkan juga untuk laki-laki Arab. Ini menunjukkan bahwa pewajiban kerudung sangat terkait dengan konteks lokal budaya Arab padang pasir. “Kalau Muhammad lahir di Ciampelas, mungkin yang dianjurkan bukan gamis, tapi jeans,” seloroh Fauzan.
          Prof. Dr. Muhammad Najib (Pembantu Rektor 4 UIN Bandung) lebih banyak berbicara tentang bagaimana seharusnya menghadapi dan mengkritisi sebuah wacana. Misi utama kenabian adalah untuk melakukan kritik dan dekonstruksi terhadap tatanan kemapanan suatu komunitas masyarakat. Wahib, dalam hal ini, mengemban misi kenabian untuk melakukan kritik atas kemapanan masyarakat Muslim Indonesia. Bagi Najib, tradisi kritisisme mesti terus dilakukan dan tak bisa dihentikan. Buah pemikiran yang merupakan hasil kritisisme terhadap kemapanan juga mesti dikritik. Dalam hal ini, Najib menganggap bahwa kejumudan ummat Islam Indonesia mesti dikritik, tapi pada saat yang sama, liberalisme juga mesti dikritik.
Pemikiran kritis di dalam Islam sebenarnya sudah berlangsung lama. Dalam dunia Islam dikenal kelompok Mu’tazilah yang sangat rasional. Sekelompok penganut Syi’ah bahkan tak tanggung-tanggung mengkritik anggapan umum ummat Islam saat ini. Bagi sekelompok penganut Syiah, sebenarnya wahyu yang diterima oleh Muhammad itu salah alamat, mestinya wahyu itu diterima oleh Ali bin Abi Thalib. Kritisisme yang hidup dalam dunia Islam juga dibuktikan oleh fakta keragaman masyarakat Muslim. Dengan begitu, dekonstruksi pemikiran adalah sesuatu yang lumrah dalam kehidupan beragama. Najib mengutip sebuah hadis yang menyatakan bahwa dalam setiap seratus tahun akan selalu muncul sosok yang melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi (pembaru) terhadap kemapanan. Perubahan akan terus terjadi. “Satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri,” tegas Najib. Dekonstruksi pada akhirnya akan melahirkan wacana relatifisme. Masing-masing kelompok memiliki rasionalitas atas apa yang mereka yakini. Terhadap gagasan ini, seorang peserta bertanya, “Apakah dengan begitu gagasan Muhammad relatif?” Najib menjawab pertanyaan itu secara tidak langsung dengan menegaskan kembali pola dekonstruksi dan relatifisme dalam setiap gagasan. (Saidiman Ahmad)-(Reportasi Diskusi Kampus di Bandung)

IV. HMI SEBAGAI ORGANISASI INTELEK, PROGRESSIF DAN BERWAWASAN PEMBAHARU

A. KONDISI UMMAT
          Islam secara transcenden dan imanen adalah sebagai pedoman dan pandangan hidup secara menyeluruh bagi umat manusia. Nilai-nilai Islam yang dijadikan pedoman dan pandangan hidup tersebut, dipahami sebagai rahmat Allah SWT, bukan saja untuk golongan umat yang mengaku muslim, tetapi juga diperuntukkan bagi seluruh manusia. Setiap makhluk di alam semesta, termasuk manusia, secara fithrah memiliki kecenderungan pada nilai-nilai suci yang terkandung di dalam dienul Islam. Dengan demikian tugas seorang muslim selaku khalifah Allah di dunia adalah mengikuti petunjuk suci dinul Islam dan berkewajiban mengimplementasikannya dalam bentuk perjuangan untuk membangun peradaban Islam sesuai dengan kehendak Illahi. Namun demikian, seiring dengan terjadinya perkembangan sains dan teknologi dalam skala mundial, dunia Islam dewasa ini tengah menghadapi berbagai perubahan nilai kemanusiaan dan ideologi sosial. Karena itu, yang diperlukan sebenarnya adalah dialektika dalam kesejajaran dan saling menghargai atas dasar persamaan derajat persaudaraan. Namun demikian, kadangkala yang terjadi justru sebaliknya, yaitu adanya kecenderungan berkembangnya sikap arogansi rasial dari kelompok bangsa tertentu yang memiliki kekuatan (power) untuk menguasai atau mendominasi bangsa yang lain yang dipandang lemah. Kebetulan negara-negara yang mayoritas berpopulasi muslim, saat ini telah menjadi sasaran bentuk-bentuk penindasan dan kebiadaban baru dengan tujuan pemaksaan terhadap suatu nilai atau cara pandang tertentu. Implikasi lebih jauh dari kondisi ini adalah semakin banyaknya pelanggaran hak-hak asasi manusia, disorientasi sosial, degradasi moral dan serta teralienasinya manusia dari nilai-nilai kebenaran. Pandangan Islam yang holistik terhadap nilai-nilai dan ideologi sosial masyarakat dunia, senantiasa bertentangan dengan ideologi sosial Barat yang selama ini memposisikan Islam sebagai rival. Sementara itu, umat Islam sendiri sampai sejauh ini juga masih mengalami banyak permasalahan internal, seperti rendahnya kualitas sumber daya umat, lemahnya penguasaan sains dan teknologi, terbatasnya jaringan informasi dan sebagainya. Di samping itu, umat Islam juga masih dilanda krisis kepribadian dan dibayangi oleh inferioritas budaya serta eksistensi diri. Akibatnya, umat Islam belum mampu mengantisipasi berbagai problem kemanusiaan global maupun sektoral, apalagi diharapkan mampu membuat rekayasa sosial (social engineering) bagi berkembangnya peradaban kemanusiaan yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

B. KONDISI NEGARA DAN BANGSA
          Keterbelakangan Ummat dan Bangsa adalah kenyataan yang dapat kita lihat pada semakin tinggginya angka pengangguran, angka kemiskinan dan angka kelaparan akibat ketidakmampuan anak bangsa dalam mempercepat agenda kesejahteraan bangsanya. Memburuknya tingkat kesejahteraan bangsa dapat kita lihat dari semakin rendahnya angka pembangunan manusia Indonesia, dan masih rendahnya jaminan sosial-keamanan bagi seluruh warga negara Indonesia. Ditengah kondisi keterbelakangan bangsa yang ada, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan penjarahan uang rakyat melalui skema korupsi yang semakin menunjukkan peningkatan intensitasnya beberapa waktu belakangan ini. Akibatnya anggaran kita mengalami kekurangan permanen tidak mampu memberi stimulus bagi bergeraknya roda ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena ketidakmampuan dalam memenuhi ketersediaan anggaran, maka pencabutan subsidi dilakukan dan dipaksa mengobral murah aset-aset bangsa sehingga sebagian besar aset di negeri ini bukan lagi milik kita tapi telah dikuasai bangsa lain. Karena anggarannya selalu defisit, maka tidak ada pilihan lain ‘katanya’ selain terpaksa berutang kepada bangsa lain, walaupun utang itu tidak terlalu bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan utang tidak diberikan secara percuma, bahwa dibalik utang selalu ada kepentingan politis bangsa lain, karenanya kebijakan bangsa dapat diintervensi oleh bangsa lain. Artinya bangsa kita adalah bangsa yang terbelakang, bangsa yang miskin, bangsa yang masih terjajah oleh bangsa lain. Pun, demikian dampak sosialnya, bagi Indonesia dan seluruh wilayahnya, termasuk Kalimantan Barat.
          Menyaksikan kondisi ini, mau tidak mau HMI sebagai bagian dari anak Bangsa dituntut untuk membuktikan komitmennya terhadap perjuangan Ummat dan Bangsa, komitmennya terhadap perwujudan tatanan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Karena itu, Bangsa ini membutuhkan pembaharuan, pembaharuan kebijakan agar bangsa ini dapat keluar dari situasi keterbelakangan dan keterjajahan yang kita alami hari ini. HMI sebagai bagian integral dari umat pada umumnya dan gerakan mahasiswa khususnya, dituntut untuk melakukan upaya pemberdayaan sumber daya umat sebagai implementasi dari komitmen moral dan intelektualnya. Komitmen semacam itu merupakan keharusan untuk menghadapi tantangan yang demikian dahsyat. Untuk menyikapi dan menghadapinya, mensyaratkan adanya kader dengan citra diri paripurna, komitmen dan integritas yang mantap, sikap yang tegas, kemampuan intelektual, skill manajerial yang profesional, dan kepemimpinan yang tanggguh. Perjuangan ini tentu saja perjuangan panjang dan membutuhkan manusia-manusia tangguh dan terorganisir rapih demi keberhasilan perjuangan. Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Disinilah letak pentingnya HMI sebagai organisasi perjuangan dan organisasi kader agar perjuangan kita berkelanjutan dan terorganisir baik sehingga targetnya dapat tercapai. Namun HMI bukanlah organisasi tanpa belitan masalah, berbagai persoalan internal dan eksternal turut membingkai dalam dinamika HMI. Karena itu perlu adanya rancangan kerangka gerak lanjutan untuk melakukan perubahan, pembaharuan dan pergerakan-perjuangan di HMI. Untuk itu menurut aku yang awam tentang HMI ini, HMI yang sudah kadung menganggap dan bangga dengan dirinya sebagai organisasi intelek, progressif dan berwawasan pembaharu, harus melakukan:

1). PEMBAHARUAN KELEMBAGAAN (INTERNALISASI PERAN KELEMBAGAAN)
          Pembaharuan kedua kami letakkan pada pembaharuan kelembagaan yaitu bagaimana melakukan internaliasasi peran kelembagaan pada setiap diri fungsionaris menata ulang struktur, peran dan fungsi organisasi agar mampu mencerminkan orgainasi yang demokratis, efektif dan mencerminkan aspek profesionalisme organisasi. Dalam wilayah garapan kelembagaan keorganisasian ini, budaya organisasi harus berkembang menuju fungsi utamanya yakni berfungsi untuk mengikat “anak panah” aparat organisasi agar memiliki daya dobrak, skala prioritas kerja dan akurasi sasaran yang tinggi. Kemudian struktur organisasi HMI kedepan harus lebih berpihak kepada intensitas pembinaan perkaderan kepemimpinan. Input kader yang plural dan local content tiap cabang yang khas menuntut institutional building perkaderan yang mampu mengakomodasi keduanya. Kemudian secara kelembagaan pula HMI sangat memerlukan strategi positioning kelembagaan dan komunitas HMI yang tepat di benak komponen masyarakat sipil maupun masyarakat negara. Hal ini berkait erat dengan perencanaan komprehensif terhadap pengembangan network untuk pemilahan dan pemilihan stake holders HMI menurut skala prioritas yang mengacu pada visi dasar perubahan.
          Selanjutnya di abad informasi seperti ini, kemampuan organisasi nir laba dalam mengemban misinya sangat tergantung pada kemampuan manajerial yang berbasis pada tradisi riset dan informasi. Karena itu setiap aparat dipersyaratkan untuk memiliki keterampilan manajemen riset dan informasi yang baik. Diperlukan sistem informasi organisasi (pencarian, pengolahan, produksi dan distribusi) yang tertata dan terencana. Ini berkaitan dengan upaya membangun jaringan atau network, jika network menjadi andalan bagi penciptaan dan penguatan citra gerakan HMI, maka sistem informasi sebagai supporting system perkaderan dan perjuangan organisasi perlu ditata dan direncanakan secara terpadu. Network merupakan model perkaderan yang belum tertata. Dalam konteks membuka dan memelihara relasi baik secara individu maupun institusi, diperlukan character and capacity building fungsionaris HMI dan secara bertahap menjadi bagian dari proses institutional building public relation HMI. Trus…Menindaklanjuti pula usaha pembentukan cabang-cabang baru HMI dengan tetap memprioritaskan pendampingan dan penguatan secara intensif kepada cabang-cabang baru yang telah terbentuk hingga tercapainya kemandirian perkaderan dan perjuangan oleh sub struktur pimpinan yang terkait dengan saling melakukan koordinasi diataranya.
2). PEMBAHARUAN DAN PENGAYAAN MUATAN PERKADERAN
          Perkaderan ialah jantung organisasi untuk itu perkaderan mesti menjadi motor penggerak organisasi yang mendorong dan melahirkan usaha-usaha yang terencana, sistematis, dan berkelanjutan menuju ke arah tercapainya tujuan organisasi. Karena perkaderan mempunyai fungsi sebagai :
1. Kesinambungan dan peningkatan kualitas perjuangan misi Islam.
2. Kesinambungan dan kedinamisan kepemimpinan HMI.
3. Kesinambungan dan pengembangan perjuangan HMI.
4. Konsistensi pemahaman perjuangan HMI.
5. Kesinambungan eksistensi HMI dan peningkatan peran-peran personal kader dan capacity building     kelembagaan.
          Untuk itu gerakan perkaderan HMI harus memberikan arahan dalam pengembangan sumber daya kader untuk menuju kualitas kader cita yang holistik yang mempunyai bekal-bekalantara lain:
Wawasan Ideologi yang berisi nilai-nilai ideal universal seperti keadilan, persaudaraan persamaan kebebasan, kasih sayang, kearifan dan sebagainya yang kesemuanya itu merupakan nilai-nilai dasar pesan ajaran Islam. Wawasan ideologi ini menjadi peletak dasar bagi pengembangan berbagai aspek kehidupan lainnya. Termasuk asumsi-asumsi dasar mengenai Allah SWT, manusia, alam semesta, hari akhir dan sebagainya. Kemudian bekal-bekal wawasan kepribadian dan skill profesionalitas yang melingkupi beberapa aspek yang akan membentuk kepribadian kader seperti sikap, mentalitas, intelektualitas, kebiasaan, juga pengetahuan praktis yang bersifat strategis atau pun teknis yang mampu membekali kader guna mengembangkan profesi secara profesional yang berdaya bagi pengembangan organisasi dan masa depan pribadi kader, misalnya jurnalistik, kewirausahaan, teknologi informasi dan sebagainya. Di ikuti pula dengan wawasan epistemologi yang memuat seputar kaidah-kaidah sains sebagai muatan yang memberikan landasan keilmuan bagi kader. Karena itu, dengan muatan ini, diharapkan kader HMI mampu memiliki kerangka analisis yang jelas dan tepat dalam menyikapi, menyiasati dan mencari solusi berbagai persoalan. Dengan demikian, setiap kader HMI mampu bersikap, berpikir dan berperilaku saintifik serta mampu mengembangkan potensi intelektual dalam bentuk karya-karya ilmiah secara optimal.
          Kemudian wawasan sosiologis-politis juga harus diberikan berbentuk wawasan sosiologis-politis berisi seputar berbagai persoalan sosial, budaya, politik, ekonomi, sejarah dan budaya. Dengan muatan ini, maka kader HMI diharapkan mampu mengembangkan wawasan sosial yang luas, kepekaan dan kepedulian social yang tinggi, apresiatif terhadap berbagai fenomena sosial kemasyarakatan (keumatan). Lebih dari itu, dengan muatan ini maka kader HMI diproyeksikan mampu melakukan sosialisasi dan berintegrasi ke tengah komunitas sosial yang pluralistik, serta mengoptimalkan peran-peran sosial-edukasi kemasyarakatannya baik secara personal maupun kelembagaan dalam melakukan perubahan sosial yang kontruktif. Wawasan organisatoris tak pelak juga harus di internalisasikan terutama yang berkaitan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan seluk beluk keorganisasian HMI khususnya, misalnya mengangkat perkem-bangan dan peran-peran kesejarahan perjuangannya, dinamika organisasinya, konstitusinya, perkaderannya dan sebagainya. Dengan pemahaman muatan ini maka kader HMI diproyeksikan memiliki sense of belonging, rasa memiliki dan sadar sepenuhnya untuk berjuang lewat HMI. Selain pengayaan dan internalisasi wawasan itu tadi, yang lebih penting juga adalah peningkatan kapasitas instruktur dan pembaharuan metode perkaderan yang lebih ideologis namun partisipatif dan demokratis, bukan perkaderan yang konvensional, monoton dan cenderung ortodoks dan doktriner.
         Simplenya dalam bidang garapan perkaderan HMI dibutuhkan sistem perkaderan yang induktif-partisipatif yaitu perkaderan yang berorientasi pada proses partisipasi, pengembangan potensi dan bakat minat kader menuju kepada kondisi optimalnya. Apalagi dinamika perkaderan pada satu dasawarsa terakhir ini berjalan deduktif, sehingga dalam beberapa hal bolehlah terjadi penyeragaman atas muatan, kurikulum, metodologi danmetode. Namun di era sekarang ini, semua itu harus di imbangi dengan kreatifitas atas muatan, kurikulum, metodologi dan metode dengan orientasi penguatan regional, local content suatu cabang perlu diakomodasi dan diciptakan iklim perkaderan yang induktif dan ruang eksperimentasi yang luas kepada cabang untuk mengelaborasinya. Pengembangan network perkaderanpun hendaknya segera dibangun. Hal ini penting karena tiap kelompok memiliki competency yang berbeda. Perlu memperbanyak hubungan personal maupun kelembagaan, melakukan kerjasama pelatihan competency kader termasuk kerjasama pemagangan.

3). INTERNALISASI IDEOLOGI KEISLAMAN MELALUI FAMILY STUDIES
          Family Studies adalah proses di dalam sebuah wadah (kelompok) yang menitikberatkan pada ikatan persaudaraan sesama muslim sebagai sasaran kegiatannya, dengan prinsip umum yang digunakan untuk mendinamisasi adalah :
Saling berkenalan (ta’aruf)
Saling memahami (tafahum)
Saling bermitra dan tolong menolong secara sederajat (takafful, ta’awwun)
          Hal ini bermanfaat dalam proses penanaman nilai ke-Islaman dan ideologisasi terhadap paa kader dan bertujuan pula untuk meningkatkan hubungan emosional sesama kader HMI khususnya dan sesama muslim pada umumnya dalam semangat persaudaraan, sehingga terbangun sikap kebersamaan dan solidaritas yang tinggi. Kegiatan ini adalah aktivitas yang dilakukan secara sadar dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan potensi diri kader baik secara sendiri maupun bersama. Model kegiatan ini bertujuan untuk memberikan bentuk alternatif aktivitas sebagai bagian dari perkaderan yang secara strategis memberikan peluang dan kesempatan bagi anggota untuk mengembangkan dirinya dalam skala yang lebih luas.
4). INTELEKTUAL MAPPING AND INTELEKTUAL MOVING
          HMI mempunyai ciri sebagai entitas gerakan pemikiran dan pembaharuan dengan karateristik intelektualitas para kadernya. Namun memang harus diakui, sekarang kondisi itu berada pada titik nadir yang mesti dibenahi, HMI tengah mengalami HMI Culdesac yang mesti diretas. Untuk itu, HMI harus menggiatlkan kadernya untuk menggerakan kembali gerbong pemikiran intelektualnya, selain melalui tradisi baca tulis dan diskusi yang telah ada, juga perlu mentradisikan tradisi riset di tubuh HMI agar formulasi intelektual dan formulasi analisis masalah kedepan dimotori oleh eksplorasi metode ilmiah dan technical ability untuk menerjemahkan kepekaan terhadap realitas sosial-politik yang ada. Kemudian hal lain yang perlu juga dilakukan, meminjam misinya salah satu kandidat PB pada Kongres Makassar kemarin, yakni ide cantik untuk melakukan Intelektual Booming yang saya bahasakan dengan istilah Intelektual Mapping dan Intelektual Moving di HMI dengan melalui gerakan jalur struktur formal yang ada maupun melalui penguatan, pembinaan dan pemberdayaan family studies dan organ basis atau kantong yang dibentuk.
5). PENGUATAN, PEMBINAAN DAN PEMBERDAYAAN JARINGAN GERAKAN
          Pembaharuan gerakan dan perjuangan kami letakkan arah perjuangannya adalah bagaimana mengawal demokratisasi yang sedang bergulir baik demokratisasi politik, maupun demokratisasi sosial dan ekonomi. Pola gerakan HMI selama ini juga perlu untuk kita timbang secara serius. Untuk keberhasilan perjuangan, pola gerakan perlu mengalami transformasi yang lebih intelek. Perubahan struktur politik yang relatif lebih demokratis membuat HMI perlu mengemas perjuangannya secara intelek, bukan hanya ekstra parlementer tapi juga melalui jalur parlementer dengan memanfaatkan latar belakang keilmuan dan jaringan yang telah terbangun Jaringan atau kemitraan adalah kegiatan yang dilakukan secara kelembagaan dalam kaitannya dengan lembaga lain yang diproyeksikan sebagai media sosialisasi visi dan misi HMI dengan mengembangkan strategi organisasi sebagai implementasi atas pemahaman pluralitas dan inklusifitas organisasi HMI. Penguatan jaringan merupakan bentuk kegiatan organisasi yang dilakukan kader untuk mewujudkan tujuan perkaderan HMI, sehingga hubungan kader HMI dengan lembaga lain, organisasi kemasyarakatan, organisasi kemahasiswaan terjalin erat dan sinergis.
          Tujuan adanya pembinaan jaringan adalah untuk mempertegas keberadaan kader–kader HMI khususnya dan organisasi HMI pada umumnya, di tengah pluralitas lembaga-lembaga lain dan mengakses informasi yang bermanfaat bagi pengembangan organisasi.
Pemberdayaan jaringan juga mempunyai nilai strategis yang sama dengan model perkaderan yang lain. Dalam pengelolaan jaringan dibutuhkan mekanisme yang jelas dan memadai bagi bentuk peningkatan kualitas kader HMI karena erat hubungannya dengan wilayah yang riil yang akan ditemukan oleh kader HMI Model jaringan yang dapat dikembangkan melalui pendelegasian kader, pembentukan organ basis atau kantong dan kerja sama dengan lembaga/organisasi lain. Pendelegasian kader HMI merupakan salah satu bentuk dari model jaringan yang cukup strategis. Namun demikian bentuk tersebut harus memuat visi dan misi HMI secara jelas, apabila pendelegasian kader ke dalam organisasi lain tersebut bersifat formal.
          Pembentukan organ basis atau kantong adalah upaya HMI memberdayakan kadernya dengan mendirikan organ basis atau kantong yang merupakan model jaringan yang tidak mempunyai kaitan struktural dengan HMI tetapi memiliki ikatan moral, sehingga sistem yang dikembangkan lebih merupakan kreatifitas kader HMI, dan ini sangat bermanfaat terutama bagi kader-kader yang secara formal tidak berada dalam struktur HMI tapi memerlukan wadah berkreatifitas. Organ basis atau kantong yang dibentuk oleh para kader HMI mempunyai wilayah kerja yang strategis dalam bentuk study dan partisipasi memecahkan persoalan kemasyarakatan dalam bidang politik, ekonomi budaya, agama, sosial dan lain-lain. kekuatan organ basis atau kantong ini mempunyai nilai strategis apabila dijalin komunikasi yang intensif sehingga memunculkan sinergi. Adapun kerjasama dengan lembaga/organisasi lainnya, perlu mendapat perhatian serius, karena HMI bukan satu-satunya lembaga atau organisasi anak bangsa yang eksistensinya ada dan bergerak demi negara bangsa ini, untuk itu dalam gerakan-gerakan keummatan dan kebangsaan yang strategis, HMI perlu untuk menjalin sinergisitas gerakan dengan lembaga/organisasi yang lain.

V. MELACAK AKAR IDEOLOGI GERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (HMI)
A. Sepintas Gerakan Mahasiswa Islam di Indonesia
           Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan. Menurut Arbi Sanit,[5] ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.
          Disamping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi pendorong gerakan mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian. Kedua, sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa[6]. Kedua potensi sumber daya tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan akademis didalam kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra universitas yang banyak terdapat di hampir semua perguruan tinggi. Di Indonesia terdapat lima organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering dinamakan ormas mahasiswa, yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Kesemuanya menarik untuk dikaji karena sama-sama membawa label Islam sebagai identitas organisasinya, namun memiliki corak wacana dan strategi perjuangan yang khas, akan tetapi penulis hanya menjelaskan perjalanan dari ormas mahasiswa islam (HMI) karena sangat menarik untuk kita cermati eksitensinya di dunia perpolitikan mahasiswa indonesia sebagai basis terbesar mahasiswa islam. Berikut sekilas perjalanan dari ormas mahasiswa Islam tersebut:
1). Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo
           HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitu pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengan kondisi umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta jurang kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian didirikanlah wadah perkumpulan mahasiswa Islam yang memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah. Dalam perjalanannya, HMI telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin bangsa. Hampir di sepanjang pemerintahan Orde Baru selalu ada mantan kader HMI yang duduk di kabinet. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran signifikan HMI dalam keikutsertannya menumbangkan Orde Lama serta menegakkan Orde Baru. Selain itu, sebagai ormas mahasiswa Islam yang independen dan bergerak dijalur intelektual, tidak jarang HMI melahirkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Beberapa kader HMI bahkan sering melontarkan wacana pemikiran Islam yang mengundang kontroversi. Misalnya saja wacana sekulerisasi agama yang diungkapkan Nurcholish Madjid melalui slogannya yang terkenal “Islam Yes, Partai Islam No!.”

2). Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO)
           Kebijakan pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya dasar ormas mendapat tantangan yang cukup beragam dari kalangan umat Islam. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) sebagai organisasi pecahan/faksi dari HMI yang disebutkan sebelumnya, terlahir akibat konflik berkepanjangan dalam menyikapi penerimaan asas tunggal tersebut. PB (Pengurus Besar) HMI melalui jumpa pers pada 10 April 1985 di Yogyakarta mengumumkan tentang penerimaan asas Pancasila oleh HMI. Sikap ini dinilai sebagian cabang seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Ujungpandang, Purwokerto sebagai kesalahan besar PB HMI karena tidak melalui forum kongres. Konflik tersebut berujung pada munculnya perlawanan dari cabang-cabang yang kemudian melahirkan HMI MPO pada 15 Maret 1986 di Jakarta, sebagaimana tercantum dalam buku Berkas Putih yang terbit 10 Agustus 1986[9].
         Setelah beberapa tahun HMI MPO lebih banyak melakukan aktifitas gerakannya secara sembunyi-sembunyi, pada tahun 1990-an ketika pemerintah mulai menjalin hubungan baik dengan Islam, HMI MPO mulai nampak kembali kepermukaan. Di beberapa daerah yang merupakan basis HMI MPO seperti Yogyakarta, Bandung, Ujungpandang dan Purwokerto kader-kader mereka cenderung radikal dan lebih militan. Pada kenyataannya represi negara justeru membuat HMI MPO menjadi lebih matang dan kuat. HMI MPO sendiri sedikit mengalami pergeseran, jika pada awalnya gerakan mereka cenderung fundamentalis dan eksklusif. Pada akhirnya mereka mulai terbuka dengan memperluas cakrawala pengetahuan sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Tidak heran jika banyak yang menilai HMI MPO sebagai organisasi Islam yang lebih modernis saat ini.
B. Mahasiswa Islam dalam Pergulatan Teologis
           Sejak awal berdirinya, sebagian ormas mahasiswa Islam ada yang terlahir dari kelompok sosial keagamaan dengan identitas yang jelas. Misalnya saja IMM yang terang-terangan mengusung nama Muhammadiyah, dan PMII meski secara struktural independen, namun masih memiliki ikatan kultural yang erat dengan NU. Sedangkan ormas mahasiswa Islam yang lain, HMI Dipo, HMI MPO dan KAMMI, tidak secara jelas membawa identitas kelompok keagamaan tertentu, malah mereka cenderung menjadi kelompok keagamaan tersendiri. Dari sini kemudian berkembanglah corak wacana dan strategi perjuangan yang berbeda-beda. Perbedaan ini muncul akibat beragamnya metode pendekatan teologis, sebagai basis ideologi yang mereka bangun. Kebebasan berpikir yang telah menjadi kultur sehari-hari di dunia akademis, telah mengundang sebagian besar mahasiswa Islam untuk merumuskan kembali paradigma teologi yang telah ada. Hampir semua sepakat bahwa paradigma teologi umat Islam saat ini merupakan hasil formulasi ulama klasik. Meski mengalami pembaharuan beberapa kali, tapi tidak banyak perubahan mendasar dalam paradigma teologi itu. Terlebih lagi tuntutan perubahan mengharuskan umat Islam menyusun kembali paradigma yang baru.
Pemikiran teologi dalam masyarakat Islam bersumber dari ajaran aqidah yang dijelaskan dalam Al Qur’an dengan inti kepercayaan pengesaan Tuhan (tauhid) dan pengakuan atas kerasulan Muhammmad (Muhammad Rasulullah). Pemikiran teologi tentang Allah merupakan sebuah keyakinan terhadap adanya realitas transedental yang tunggal dan menuntut adanya aplikasi ketaatan pada tataran aksi. Oleh karenanya wujud nyata dari perilaku dan kepribadian umat Islam merupakan cerminan yang tidak dapat dipisahkan dari landasan teologisnya.
          Dalam melakukan telaah keagamaan, mahasiswa Islam mengadopsi beberapa pemikir-pemikir Islam kontemporer, baik tokoh pemikiran Islam di Indonesia seperti Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat dan lainnya, sampai tokoh dunia Islam yang cukup berpengaruh saat ini, diantaranya Hassan Hanafi, Mohammad Arkoun, Yusuf Qardlawi, M. Abed Aljabiri, Fazlur Rahman dan masih banyak lagi. Ketajaman analisis dan disiplin dalam mempergunakan metode, membuat para tokoh tersebut dikagumi banyak kalangan mahasiswa Islam. Sampai kemudian pemikiran mereka menjadi referensi utama bagi gerakan mahasiswa Islam, bahkan tidak jarang dikritisi dan dianalisis secara mendalam. Di Indonesia sendiri, Fachry Ali dan Bahtiar Effendy[11] menyatakan tentang tipologi gerakan intelektualisme Islam neo-modernisme. Gerakan pemikiran neo-modernisme merupakan gerakan pemikiran Islam yang muncul di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan ini lahir dari tradisi modernisme Islam yang terdahulu dan telah cukup mapan di Indonesia. Akan tetapi ia memakai pendekatan yang lebih khas dari sisi konsepsi maupun aplikasi ide-ide.
          Nurcholish Madjid merupakan tokoh gerakan intelektual ini. Dengan cerdas ia memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh. Melalui konsep rasionalitas, Cak Nur, sapaan akrabnya, menyatakan arti pentingnya untuk menelusuri dan memahami pengetahuan manusia yang relatif dan terbatas. Hal ini menyangkut persoalan hubungan kedudukan antara agama dan akal yang telah lama menjadi bahan perdebatan para teolog sejak dulu. Karena pengetahuan manusia yang terbatas itulah maka kebenaran yang bersifat mutlak tidak dapat dicapai oleh manusia.
Selanjutnya Cak Nur menawarkan satu bentuk teologi inklusif, dimana inti ketajaman teologi ini adalah kesadaran teologis yang mensyaratkan adanya ruang kebebasan berpikir sebagai wujud komitmen ketauhidan seseorang. Ruang kebebasan inilah yang menjadi substansi bagi pembaharuan dan kemajuan dalam Islam. Sikap keterbukaan untuk mau menerima kebenaran dan perbedaan dari orang lain.
         HMI Dipo telah menjadikan pemikiran neo-modernisme ini sebagai referensi utama bagi pemahaman teologinya. Lewat pemikiran-pemikiran Cak Nur yang juga mantan ketua PB HMI inilah konsep Islam Keindonesiaan ditawarkan oleh kader-kader HMI..
Sedangkan di HMI MPO, sebagaimana telah sedikit disinggung di awal, ormas mahasiswa Islam ini mengalami pergeseran cukup drastis. Semula gerakan HMI MPO bersifat eksklusif, konsisten dengan keislamannya, maka semua aktivitasnya harus diukur dengan parameter Islam. Namun akhir-akhir ini HMI MPO cenderung terbuka dan menyerahkan pemahaman teologis terhadap pluralitas anggotanya.
Dari penjelasan tersebut, terlihat tidak adanya keseragaman pemahanan teologis di HMI MPO. Tidak aneh jika ekspresi keagamaan dari masing-masing kader nampak berbeda. Ada kader yang sangat kental dengan nuansa religiusnya, tidak sedikit pula kader yang tampil lebih moderat, bahkan cenderung ‘liar’ dan semaunya sendiri. Pemandangan semacam ini mudah dijumpai pada kader-kader HMI MPO..

VI. PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER
          Dalam kajian pendidikan dikenal sejumlah ranah pendidikan, seperti pendidikan intelek, pendidikan keterampilan, pendidikan sikap, dan pendidikan karakter (watak). Pendidikan karakter berkenaan dengan psikis individu, di antaranya segi keinginan/nafsu, motif, dan dorongan berbuat. Pendidikan karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung jawab, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keimanan. Dengan demikian, pendidikan berbasis karakter dapat mengintegrasikan informasi yang diperolehnya selama dalam pendidikan untuk dijadikan pandangan hidup yang berguna bagi upaya penanggulangan persoalan hidupnya. Pendidikan berbasis karakter akan menunjukkan jati dirinya sebagai manusia yang sadar diri sebagai makhluk, manusia, warga negara, dan pria atau wanita. Kesadaran itu dijadikan ukuran martabat dirinya sehingga berpikir obyektif, terbuka, dan kritis, serta memiliki harga diri yang tidak mudah memperjualbelikan. Sosok dirinya tampak memiliki integritas, kejujuran, kreativitas, dan perbuatannya menunjukkan produktivitas. Selain itu, tidak hanya menyadari apa tugasnya dan bagaimana mengambil sikap terhadap berbagai jenis situasi permasalahan, tetapi juga akan menghadapi kehidupan dengan penuh kesadaran, peka terhadap nilai keramahan sosial, dan dapat bertanggung jawab atas tindakannya.
1). Pembentukan pribadi
        Karena itu, sekolah yang akan mengimplementasikan pendidikan berbasis karakter dapat memikirkan segi-segi sebagai berikut.
              Pertama, keberhasilan pendidikan berbasis karakter terkait dengan kondisi peserta didik yang landasan keluarganya mengharapkan tercipta iklim kehidupan dengan norma kebaikan dan tanggung jawab. Dengan demikian, fungsi pendidikan berbasis karakter untuk menunjukkan kesadaran normatif peserta didik, seperti berbuat baik dan melaksanakan tanggung jawabnya agar terinternalisasi pada pembentukan pribadi. Organ manusia yang berfungsi melaksanakan kesadaran normatif ialah hati nurani atau kata hati (conscience). Organ penunjangnya ialah pikiran atau logika. Pendidikan berbasis karakter diprogram untuk upaya kesadaran normatif yang ada pada hati nurani supaya diteruskan kepada pikiran untuk dicari rumusan bentuk perilaku, kemudian ditransfer ke anggota badan pelaksana perbuatan. Contoh, mulut pelaksana perbuatan bicara atau bahasa melalui kata-kata. Maka, sistem mulut memfungsikan kata-kata bersifat logis atau masuk akal. Bahkan, dengan landasan kesadaran norma dan tanggung jawab akan terjadi komunikasi dengan perkataan santun yang jauh dari celaan dan menyakitkan orang lain. Karena itu, pendekatan proses pembelajaran di sekolah perlu disesuaikan, yaitu dengan menciptakan iklim yang merangsang pikiran peserta didik untuk digunakan sebagai alat observasi dalam mengeksplorasi dunia. Interaksi antara pikiran dan dunia harus memunculkan proses adaptasi, penguasaan dunia, dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Keberhasilan anak menjalani interaksi dengan dunia akan membentuk kemampuan merumuskan cita-citanya. Bahkan, cita-cita itu dijadikan pedoman atau kompas hidup. Dengan pedoman hidup itu ia menentukan arah sekaligus membentuk norma hidupnya.
          Kedua, kondisi sekolah dapat menciptakan iklim rasa aman bagi peserta didiknya (joyful learning). Jika peserta didik tidak merasa aman, seperti merasa jiwa tergoncang, cemas, atau frustrasi akibat mendapatkan pengalaman kurang baik dari sekolah, maka ia tidak akan dapat menanggapi upaya pendidikan dari sekolahnya. Bahkan, ia acap kali merespons upaya pendidikan dengan bentuk protes atau agresi terhadap lingkungannya. Peserta didik yang cerdas sekalipun, dengan merasa kurang aman, acap kali konflik dengan lingkungan yang menyulitkan hidup.
Bahkan, upaya mempertahankan hidupnya dengan berbuat tercela, tidak bermoral, tidak bertanggung jawab, dan jahat. Perasaan aman hidup atau perasaan yang tidak diliputi kecemasan di sekolah hanya mungkin bila suasana sekolah mencintai anak dengan menciptakan iklim keterbukaan, mesra, bahagia, gembira, dan ceria. Dengan demikian, iklim tersebut akan mampu membuka kata hati peserta didik, baik di sekolah maupun ketika menghadapi dunia masyarakat. Kehidupan nyata dianggap sebagai obyek yang menarik minat dengan kegairahan hidup dan penuh perhatian yang merangsang pikirannya.
          Ketiga, kebijakan sekolah dalam merumuskan bahan belajar pendidikan berbasis karakter diorientasikan ke masa depan, yaitu menggambarkan indikasi bentuk baru nilai-nilai peradaban masyarakat. Dasar pertimbangannya adalah (1) proses pembangunan berkonsekuensi terhadap perubahan bentuk baru nilai-nilai kebiasaan hidup masyarakat, (2) pendidikan berbasis karakter harus berperan sebagai pengimbang akibat sampingan proses pembangunan.
Indikator bentuk baru nilai-nilai peradaban masyarakat dimisalkan mengambil rumusan dari hasil pengamatan kehidupan kota yang mengalami pembangunan pesat dan menimbulkan urbanisasi sehingga di kota tercipta pusat permukiman pendatang baru yang seolah terputus dari akar sosial budaya sebelumnya. Permukiman kota yang penuh sesak menimbulkan suasana kehidupan yang mencekam dari kekhawatiran terjadinya instabilitas sosial.

2). Jurang perbedaan
          Selain itu, rumusan didapat dari hasil pengamatan suasana keluarga dalam menghadapi tata kehidupan baru, apakah mengambil sikap bertahan dengan kebiasaan hidup sebelumnya, ataukah meninggalkan dan mengganti kebiasaan hidup sebelumnya (permisif), sementara keadaan sekitar tidak ikut bertahan. Terutama mengambil sikap mengenai kaitan dengan ekonomi keluarga, pekerjaan, perdagangan, dan kecemburuan sosial. Bagaimana kondisi keluarga yang tetap bertahan, apakah menjadi terasingkan. Bagaimana pula keluarga yang mengubah kebiasaan lama dengan yang baru, apakah secara psikologis memperoleh kemantapan ataukah kepahitan dan kekacauan hidup.
Paling tidak, pengamatan sepintas menunjukkan akibat sampingan pembangunan yang pesat pada perubahan bentuk kehidupan masyarakat. Yaitu, pembangunan yang menawarkan kesempatan bagi siapa saja yang berkesanggupan sehingga mengakibatkan di satu pihak terdapat sebagian anggota masyarakat yang cakap dan berani mengambil risiko untuk menangkap manfaat penawaran pembangunan dan golongan ini akan maju. Di pihak lain, ada anggota masyarakat yang lamban bergerak dalam menangkap manfaat dan golongan ini akan semakin tertinggal. Hasil akhir antara yang cakap dan lamban menyebabkan munculnya jurang perbedaan kepemilikan materi yang mudah diisukan sebagai pelanggaran asas keadilan.
          Jurang perbedaan kemajuan sisi materi yang dipahami secara sempit mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai masyarakat. Yaitu, menguatnya arus bentuk baru kehidupan masyarakat seperti nilai materi dan hara-hura serta tampak memudar budaya santun, malu, kekeluargaan, kejujuran, toleransi, kebersamaan, kesetiakawanan, dan gotong royong. Kader-kader HMI juga harus mengusung pendidikan yang berbasisi karakter agar supaya out put yang dihasilkan dari proses pengkaderan mampu menjadi insan ulul albab yang turut bertanggungjawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang di ridhoi Allah SWT. Sikap–sikap anggota HMI yang mencerminkan bahwa mereka adalah kader dari organisasi yang bersifat independen merupakan derivasi dari karakteristik Ulil Albab yang
menjadi cita insan HMI. Beberapa sikap terpenting adalah cenderung kepada kebenaran (hanief), merdeka, kritis, jujur, progresif, dan adil. Dengan demikian kader HMI adalah orang-orang yang sanggup berlaku dan berbuat secara mandiri dengan keberanian menghadapi resiko. Ini menuntut adanya kemampuan dari setiap kader HMI, sehingga mereka dapat mempengaruhi masyarakat dan mengarahkan sistem kehidupan manusia kearah yang dikhendaki Islam. Secara teknis, kedar HMI harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan organisasi dan memperjuangkan misi HMI dimanapun ia berada. Mereka tidak dibenarkan mengadakan sesuatu komitmen dalam bentuk apapun dengan pihak luar HMI yang bertentangan denganyang telah diputuskan secara organisatoris.

VII. KESIMPULAN
          Pemahaman terhadap teologi sebagai landasan filosofis berpengaruh pada tindakan politik sebagaimana tesis sosiologi pengetahuan, bahwa ada kaitan antara fikiran dan tindakan. Selanjutnya, ideologi yang dianut oleh gerakan mahasiswa Islam ini terungkap dan diwujudkan lebih jelas pada ekspresi politik. Gerakan mahasiswa Islam sebagai realitas sosial merupakan replika atau miniatur dari kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya. Polarisasi dan friksi yang terjadi pada ormas Islam ternyata memiliki akar kesejarahan yang cukup panjang. Sampai saat ini, tipologi Clifford Geertz tentang santri, priyayi dan abangan masih kental pada masyarakat sekarang. Ideologi gerakan mahasiswa Islam pada dasarnya adalah Islam. Namun dalam perkembangan selanjutnya mengalami metamorfose seiring dengan perkembangan jaman. Dengan memahami ideologi meraka, kita dapat membaca atau menganalisa akan ke mana mereka selanjutnya. Perbedaan merupakan sunatullah. Perbedaan yang tercermin pada ekspresi politik aliran tidak perlu di permasalahkan dan menjadi sumber konflik. Yang lebih penting adalah bagaimana seluruh umat menyadari dan memahami kenyataan bahwa perbedaan juga memperkaya sekaligus rahmat yang harus dijaga. Dengan perbedaanlah akan tumbuh otensitas keimanan dalam hidup bermasyarakat karena benturan-benturan atau konflik yang terjadi dan upaya menyelesaikannya akan mendewasakan sekaligus menjadi pengalaman yang berharga. Wallahu a’lam.
          Gerakan nasional pendidikan berbasis karakter yang dicanangkan Kementerian Pendidikan Nasional harus sungguh berangkat dari keadaan pendidikan kita yang betul-betul mengkhawatirkan itu. Kita harus berani mengubah paradigma dan kebijakan sistem pendidikan, dari berorientasi ‘persekolahan’ menjadi berorientasi ‘pendidikan yang berproses’ di alam Republik. Pendidikan berbasis karakter yang mau kita bangun harus memadukan nilai-nilai moral universal dengan budi pekerti khas Indonesia yang berakar pada kearifan lokal masyarakat Indonesia, serta membingkainya dalam program civic education dengan menggali nilai-nilai Pancasila. Trauma ideologi di ranah pendidikan nilai di sekolah dengan menghapus pendidikan Pancasila harus kita koreksi, sebab ini amat terkait dengan eksistensi Republik. Jika ke depan dunia pendidikan kita mampu menghasilkan orang-orang terdidik yang memahami betul relasi dirinya dengan dengan alam dan sesamanya, memperhatikan dan peduli untuk Indonesia. Di sana kita letakkan pendidikan dan karakter bangsa, membangun generasi muda terdidik yang mencintai Indonesia. (Ari Nurcahyo)

VII. DAFTAR PUSTAKA
[1] Jorge Lorrain, Konsep Ideologi, 1996, hlm 10.
[2] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, 1991, hlm 230.
[3] Gagasan-gagasan Gramsci direkam dengan baik oleh Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, 1999, hlm 83.
[4] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, 1992, hlm 232.
[5] Arbi sanit dalam Karim, M Rusli, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, 1997, hlm 95. Lihat juga Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik, 1999.
[6] Andi Rahmat dan Muhammad Najib, Perlawanan dari Masjid Kampus, 2001, hlm 188.
[7] Nurul Huda, PMII Kader Minoritas Progresif. Suara Merdeka, 31/06/2001.
[8] M Rusli, Karim, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, 1997, hlm 131


Mengenal Marxisme

Karl Marx, lahir di bulan Mei 1818 di Trier, Jerman. Ayahnya seorang pengacara yang beberapa tahun sebelumnya pindah agama
Yahudi yahudi menjadi Kristen Protestan. Perpindahan agama ayahnya yang begitu mudah diduga merupakan alasan mengapa Karl Marx tidak pernah tertarik dengan Agama.Ayahnya mengharapkan Marx menjadi notaris sebagaimana ayahnya.Karl Marx sendiri lebih menyukai untuk menjadi Penyair daripada seorang ahli hukum.Hukum merupakan ilmu yang digemari pada saat itu.etengah semester ia bertahan, dan melompat ke Universitas Berlin, fokus pada filsafat. Masih semester dua, Marx sudah masuk kelompok diskusi paling ditakuti di kampus itu, Klub Para Doktor, dan menjadi anggota yang paling radikal.Kelompok ini selalu memakai Filsafat Hegel untuk menyerang kekolotan Prussia.Tak heran, klub ini pun digelari “Kaum Hegelian Muda”. Namun karena mereka juga menentang agama Protestan, klub ini digolongkan menjadi Hegelian Kiri, lawan Hegelian Kanan, yang menafsirkan Hegel sebagai teolog Protestan.
Pada tahun 1841, Marx dipromosikan menjadi doktor dengan disertasi “The Difference between The Natural Philosophy of Democritus and Epicurus”.Kertas kerja dan pengantar disertasi ini secara jelas menunjukkan Marx sangat Hegelian, dan antiagama. Selama hampir setahun ia menjadi pimpinan redaksi sebuah harian radikal 1843, sesudah harian itu dilarang oleh pemerintah Prussia, ia kawin dengan Jenny Von Westphalen, putri seorang bangsawan, dan pindah ke Paris. Di sana ia tidak hanya berkenalan dengan Friedrich Engels (1820-1895) yang akan menjadi teman akrab dan “penerjemah” teori-teorinya melainkan juga dengan tokoh-tokoh sosialis Perancis. 


Marxisme berawal dari tulisan-tulisan Karl Marx.Dalam arti luas, Marxisme berarti paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx.Pandangan-pandangan ini mencakup ajaran Marx mengenai materialisme dialektis dan materialisme historis serta penerapannya dalam kehidupan sosial.Marxisme lahir dari konteks masyarakat industri Eropa abad ke-19, dengan semua ketidakadilan, eksploitasi manusia khususnya kelas bahwa/kelas buruh. Menurut analisa Marx, kondisi-kondisi dan kemungkinan-kemungkinan teknis sudah berkembang dan merubah proses produksi industrial, tetapi struktur organisasi proses produksi dan struktur masyarakat masih bertahan pada tingkat lama yang ditentukan oleh kepentingan-kepentingan kelas atas.


Jadi, banyak orang yang dibutuhkan untuk bekerja, tetapi hanya sedikit yang mengemudikan proses produksi dan mendapat keuntungan. Karena maksud kerja manusia yang sebenarnya adalah menguasai alam sendiri dan merealisasikan cita-cita dirinya sendiri, sehingga terjadi keterasingan manusia dari harkatnya dan dari buah/hasil kerjanya. Karena keterasingan manusia dari hasi kerjanya terjadi dalam jumlah besar (kerja massa) dan global, pemecahannya harus juga bersifat kolektif dan global.


Berbeda dengan model-model sosialisme lama, Marxisme menyatakan dirinya sebagai “sosialisme ilmiah”.Untuk mendukung klaim tersebut, Marx mendasarkan pada penelitian syarat-syarat objektif perkembangan masyarakat.Marx menolak pendasaran sosialisme pda pertimbangan-pertimbangan moral.Materialisme sejarah merupakan dasar bagi sosialisme ilmiah tersebut. Marx yakin bahwa ia telah menemukan hukum objektif perkembangan sejarah. Objek pencarian materialisme historis adalah hukum-hukum gerakan dan perkembangan masyarakat insani yang paling universal.Marx menciptakan suatu pemahaman sejarah menjadi seperti sains yang pasti dan eksak. Karena hal itulah Marx menyatakan bahwa sosialismenya bersifat ilmiah karena berdasarkan pada pengetahuan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat.


Agama Dalam Pandangan Karl Marx
Marx berkesimpulan bahwa sebelum orang dapat mencapai kebahagiaan yang senyatanya, agama haruslah ditiadakan karena agama menjadi kebahagiaan semu dari orang-orang tertindas. Namun,  karena agama adalah produk dari kondisi sosial, maka agama tidak dapat ditiadakan kecuali dengan meniadakan bentuk kondisi sosial tersebut.  Marx yakin bahwa agama itu tidak punya masa depan. Agama bukanlah kencenderungan naluriah manusia yang melekat tetapi merupakan produk dari lingkungan sosial tertentu. Secara jelas, Marx merujuk pada tesis Feuerbach yang ketujuh yakni bahwa sentimen religius itu sendiri adalah suatu produk social.


Dengan kata lain,   Marx melihat bahwa sebetulnya agama bukan menjadi dasar penyebab keterasingan manusia. Agama hanyalah gejala sekunder dari keterasingan manusia.Agama menjadi semacam pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri.Manusia lalu hanya dapat merealisasikan diri secara semu yakni dalam khayalan agama karena struktur masyarakat nyata tidak mengizinkan manusia merealisasikan diri dengan sungguh-sungguh.Karena dalam masyarakat nyata manusia menderita, manusia lalu mengharapkan mencapai keselamatan dari surga.Oleh karenanya, penyebab keterasingan yang utama haruslah ditemukan dalam keadaan masyarakat itu sendiri.Dengan demikian, kritik jangan berhenti pada agama. Bagi Marx, kritik agama akan menjadi percuma saja karena tidak mengubah apa yang melahirkan agama. Yang menjadi permasalahan kemudian adalah mengapa manusia sampai mengasingkan diri ke dalam agama? Menurut Marx, kondisi-kondisi materiallah yang membuat manusia mengasingkan diri dalam agama. Yang dimaksud dengan kondisi material adalah proses-proses produksi atau kerja sosial dalam masyarakat.


Pertanyaan lebih lanjut.Apa yang perlu dikritik dalam masyarakat? Unsur macam apa yang dalam masyarakat yang mencegah manusia merealisasikan hakikatnya? Marx melihat bahwa keterasingan manusia dari kesosialannya haruslah ditemukan dalam struktur masyarakat.  Struktur masyarakat yang tidak memperbolehkan manusia bersikap sosial adalah struktur masyarakat  yang mana terjadi perpisahan antara civil society (masyarakat sipil ) dan Negara. Dalam masyarakat sipil, orang bergerak karena dimotori oleh kepentingan egoisme sendiri. Dengan kata lain, masyarakat sipil adalah semacam sistem kebutuhan, ruang egoisme dimana manusia berupaya menjadikan orang lain hanya semata-mata sebagai sarana pemenuh kebutuhannya. Persaingan yang sifatnya egois ini akan melahirkan pemenang dan pecundang. Kemudian negara dimunculkan sebagai kekuatan yang mengatasi egoisme individu-individu.Adanya negara dimaksudkan untuk mempersatukan masyarakat.


Apabila negara tidak ada, maka masyarakat dapat menjadi anarkis. Negara mengusahakan supaya manusia  dalam masyarakat bertindak adil terhadap sesamanya. Sebagai individu,  manusia itu egois, dan ia menjadi sosial karena harus taat kepada Negara. Jika manusia itu sosial dengan sendirinya, maka tidak perlu ada Negara yang mengaturnya. Dalam struktur masyarakat yang coba ia pahami, Marx melihat bahwa ternyata agama menjadi suatu produk dari sebuah masyarakat kelas.Agama kemudian ia  pandang sebagai produk keterasingan maupun sebagai ekpresi dari kepentingan kelas dimana agama dapat dijadikan sarana manipulasi dan penindasan terhadap kelas bawah dalam masyarakat.


Selain itu, Marx menemukan bahwa keterasingan dasar manusia adalah keterasingannya dari sifatnya yang sosial.Tanda keterasingan tersebut adalah adanya eksistensi Negara sebagai lembaga yang dari luar dan atas memaksa individu-individu untuk bertindak sosial, padahal individu itu sendiri bertindak egois. 
Lebih lanjut, menurut Marx, agama adalah universal ground of consolation dan sebagai candu rakyat.Dalam pengertian ini, termuat suatu implikasi bahwa apapun penghiburan yang dibawa oleh agama bagi mereka yang menderita dan tertindas adalah merupakan suatu penghiburan yang semu dan hanya memberi kelegaan sementara.Agama tidak menghasilkan solusi yang nyata dan dalam kenyataannya, justru cenderung merintangi berbagai solusi nyata dengan membuat penderitaan dan penindasan menjadi dapat ditanggung.Solusi nyata yang dimaksud di sini adalah terkait dengan pengusahaan peningkatan kesejahteraan secara material.Agama ternyata tidak mampu mengarah pada hal tersebut.Agama justru membiarkan kondisi yang sudah ada, meskipun orang sedang mengalami penderitaan.  Agama mengajak orang hanya berpasrah dengan keadaan daripada mengusahakan barang-barang yang dapat  memperbaiki kondisi hidup. Dalam hal ini, agama cenderung mengabaikan usaha konkrit manusiawi untuk memperjuangkan taraf hidupnya lewat barang-barang duniawi.Agama malah menyarankan untuk tidak menjadi lekat dengan barang-barang duniawi dan mengajak orang untuk hanya berpikir mengenai hal-hal surgawi sehingga membuat orang melupakan penderitaan material yang sedang dialami. Agama mengajarkan orang untuk menerima apa adanya termasuk betapa kecilnya pendapatan yang ia peroleh. Dengan ini semua, secara tidak langsung agama telah membiarkan orang untuk tetap pada kondisi materialnya dan menerima secara pasrah apa yang ia terima walaupun ia tengah mengalami penderitaan secara material. Agama mengajak orang untuk berani menanggungnya karena sikap menanggung itu sendiri dipandang sebagai keutamaan.


Marx juga mengatakan agama menjadi semacam ekspresi atas protes terhadap penindasan dan penderitaan real. Marx menulis: “penderitaan agama adalah pada saat yang sama merupakan ekspresi atas penderitaan yang real dan suatu protes terhadap penderitaan yang real. Agama adalah keluh kesah mahluk yang tertindas, hati dari suatu dunia yang tak memiliki hati, sebagaimana juga merupakan jiwa dari suatu keadaan yang tidak memiliki jiwa.”
      
[1] Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah(Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1978).
[2] Listiono Santoso dkk, Seri Pemikiran Epistemologi Kiri (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), p.36-37
[3]Lihat Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1978).