Sabtu, 07 Januari 2012

HMI dan Wacana Rekonsiliasi

          Perhelatan terbesar HMI MPO baru saja selesai dengan kesepakatan-kesepakatan agenda yang diharapkan mampu melanjutkan estafeta perjuangan HMI ini kedepan. Ritual dua tahunan ini seyogyanya mampu melahirkan gagasan-gagasan baru yang dapat mecahkan kebuntuan-kebuntuan yang selama ini seolah-olah menjadi tembok yang tak tertembus. Mengingat di forum inilah semua utusan-utusan cabang HMI seluruh Indonesia berkumpul untuk bersama-sama melakukan evaluasi, refleksi, dan lalu merumuskan konsep implementasi gagasan-gagasan tersebut secara purna. Kongres kali ini dirasa sangat penting, mengingat selama ini gagasan-gagasan keumatan yang digaungkan oleh HMI MPO belum atau tidak termanifestasi secara maksimal. Diharpkan di forum ini dapat laih ide-ide radik yang dapat memecahkan kebuntuan gerakan HMI MPO ke depan.

Kebuntuan Gerakan
          Kebuntuan gerakan yang dimaksud adalah tidak atau kurangnya implementasi gagasan secara ril dalam realitas kehidupan sosial keuamtan. Kita harus mengakui eksistensi HMI MPO secara nasional kurang mendapat respons dari masyarakat di segala lapisan. Mungkin hanya di sebagian cabang HMI yang mampu memainkan fungsinya bersama masyarakat sosial setempat. Namun eksistensi tersebut cenderung hanya menyentuh tataran sosio-ideologis yang kebetulan dapat diterima oleh klas masyarakat sosial tertentu di wilayah lokal. Namun secara nasional, lebih-lebih secara politis, HMI MPO kurang diperhitungkan. Organisasi ini hanya dianggap sebagai sebuah 'paguyuban' yang hanya melahirkan kader-kader militan yang ide-ide intelektualnya hanya dikonsumsi untuk kalangan internal HMI MPO itu sendiri. Terbukti, sejak terjadinya perpecahan HMI, gagasan-gagasan HMI MPO (misal: Revolusi Sistemik, Gerakan Tamadduni, dll) hanya hangat dalam tataran wacana saja yang nihil secara implementasi. Bahkan cenderung bagaikan konsep yang tak bertuan.
          Dalam konteks ini, HMI MPO seolah-olah mengalami kebuntuan yang membuat gagasan-gagasan gemilangnya seperti kandas di awang-awang. Padahal, idealnya sebuah organisasi perkaderan adalah sebuah organisasi yang mencetak dan mempersiapkan pemimpin-pemimpin di masa depan. Dan HMI MPO harus mampu membekali kader tersebut dengan intelektualitas, kemahiran memetakan peluang, dan mampu menyusun strategi implementasi gagasannya dalam realitas sosial di tengah masyarakat yang tertindas oleh kebijakan yang tak beradab. Sehingga nantinya HMI MPO secara nasional mampu beraktualitas secara maksimal dalam tiap-tiap konsep intelektual atau bahkan perlawanannya terhadap tirani sosial yang berkepanjangan. Dan semua bermaura kepada diakuinya eksistensi HMI MPO sebagai sebuah gerakan intelektual yang selalu melawan terhadap segala bentuk penindasan. Hal inilah yang saya rasakan belum disadari oleh seluruh kader pada semua tingkatan kekuasaan atau pimpinan di tubuh HMI MPO.

Tidak Mengakar
          Di satu sisi, HMI MPO dengan pola perkaderannya memang mampu menelurkan potensi-potensi intelektual pada kader-kadernya. Namun di sisi lain, hasil karya/gagasan intelektual yang dihasilkan tidak termanifestasi secara purna dalam realitas kehidupan sosial. Bahkan hanya menjadi konsumsi internal organisasi tanpa tahu harus dikemanakan gagasan tersebut. Lebih celaka lagi, forum-forum penting yang ada tidak membahas hal-hal yang berkenaan dengan teknis breakdown gagasan tersebut ke arah yang lebih implementatif. Sehingga pengurus HMI MPO sebagai eksekutor kebijakan kebingungan dalam menentukan pola penerapan gagasan-gagasan yang ada. Mereka terkungkung dalam penafsiran idealisme, independensi, dan antikemapanan yang sangat sempit. Sehingga akhirnya dalam tiap periode kepengurusan, tidak pernah menghasilkan action yang radik dan revolusioner. Paradigma inilah yang tetap eksis di tubuh organisasi ini sampai sekarang.

Gagal Memanfaatkan Momentum
          Mental tertindas dan kebiasaan berasyik masyuk degan penderitaan yang seharusnya tidak terjadi, juga berpengaruh terhadap kurang cerdasnya HMI MPO dalam memanfaatkan momentum-momentum penting. Bahkan justru semakin menjadikan organisasi ini bulan-bulanan kepentingan-kepentingan oknum atau organ lain.
Peristiwa reformasi dan lengsernya Soeharto, seharusnya menjadi salah satu momentum mahapenting yang bisa dijadikan modal eksistensi HMI MPO untuk kembali menjadi pewaris sah dan menyandang nama Himpunan Mahasiswa Islam. Namun karena ketidakcerdasan kita yang tidak mampu memainkan peranan dalam satu momen terpenting, sehingga momen tersebut dengan mudahnya 'diselesaikan' oleh HMI Diponegoro.

Kongres Sia-sia
          Kongres ke-26 yang baru saja berlalu, secara keseluruhan saya nilai tidak akan berdampak signifikan terhadap status quo yang menimpa HMI MPO selama ini. Perdebatan-perdebatan yang ada di forum kongres tersebut cenderung berkutat pada wacana-wacana yang tidak mengakar dan tidak match dengan permasalahan yang krusial. Dinamika forum hanya dijadikan ajang aktualisasi peserta agar dinilai intelek, pandai beretorika, dan bernai berkomentar, tidak lebih. Sehingga wajar, ketika hasil-hasil kongres pun tetap pro dengan stagnasi gerakan HMI MPO !! Padahal perhelatan ini sudah menelan biaya puluhan juta rupiah !. 
Lebih jauh, seiring dengan proses otonomi daerah, seharusnya forum kongres ini bisa menjadi starting point HMI MPO secara nasional untuk bisa mengambil peran secara aktif dalam mengawal laju demokratisasi tersebut di seluruh cabang-cabangnya. Agar nantinya bisa menjadi momentum penting eksistensi HMI MPO dalam membentuk tatanan masyarakat yang lebih beradab secara ril. Namun, tak ada satu butir keputusan pun yang mengarah kesana. Sehingga kita tidak tahu harus bersikap bagaimana dalam momentum penting ini. Dan lebih jauh PB HMI MPO ke depan tidak akan mampu memfasilitasi cabang-cabang di seluruh Indonesia untuk melakukan akselerasi gagasan-gagasannya dalam momentum ini.

Indikator Keberhasilan
          Parameter keberhasilan HMI MPO ke depan pasca-kongres ke-26 ini menurut saya adalah terciptanya HMI MPO yang lebih implementatif dan ril secara gagasan sehingga bisa mengubah organisasi ini sebagai organisasi paguyuban, pengamat, dan eksklusif menjadi organisasi yang revolusioner, implementatif, dan mampu memanfaatkan momentum secara cerdas. Karena jika tidak segera berbenah diri, HMI MPO hanya akan musnah ditelan arus perubahan yang deras tanpa meninggalkan apa-apa bagi siapa pun (termasuk kesedihan). 
Kedua HMI mempunyai tujuan yang berbeda namun esensinya sama, oleh karena itu selama visi perubahan itu untuk memperbaiki kondisi ummat, maka wacana rekonsiliasi perlu dijadikan bahan renungan dan refleksi setiap kader HMI. Selain itu banyak perbedaan yang selama ini terjadi di HMI DIPO dan HMI MPO, seperti masalah perkaderan dan struktural, dalam perkaderan oreintasi keislaman harus benar-benar dijadikan prioritas, Nilai dasar perjuangan (NDP) yang dijadikan landasan perkaderan HMI DIPO berbeda dengan Khittah Perjuangan yang dimiliki HMI MPO, NDP lebih menitik beratkan pada wacana islam kebangsaan yang dipadukan dengan pemikiran teologi pembebasan (liberal) sedangkan Khittah Perjuangan menekankan pada wacana penafsiran islam sebagai padangan hidup world of view yang diselaraskan dengan pemikiran kesadaran keberislaman (teosofi transenden). Untuk masalah perkaderan ini maka jalan keluarnya harus ada yang berani mengambil sikap bijak bahwa selama ini output dari NDP dan Khittah perjuangan apakah banyak yang berhasil atau malah sebaliknya sehingga yang pasti perlu ada satu landasan perkaderan bagi HMI. Masalah struktural yang yang menjadi kendala yang cukup besar bagi terciptanya rekonsiliasi HMI adalah suatu realitas yang harus disikapi secara alami. Masalah ini sangat sensitif bagi kedua belah pihak dan tidak bisa kemudian struktur HMI dipaksakan untuk satu secara instant. Hendaknya dalam proses rekonsiliasi ada beberapa yang perlu dijadikan kesepakatan bersama yaitu pernyatuan visi perkaderan, penyamaan plattform keislaman dan selanjutnya pengintegrasian struktur HMI diseluruh Indonesia menjadi satu.

Tidak ada komentar: