Sabtu, 11 Juni 2011

HMI MPO dan kejatuhan rezim diktator ORBA

Kejatuhan Suharto dan polarisasi gerakan mahasiswa serta peran HMI MPO sebagai organ Islam
Mahasiswa dalam proses kajatuhan Suharto menjadi kekuatan politik yang paling menonjol mengajukan tuntutan reformasi total yang didalamnya memuat tuntutan agar Seoharto mundur dari jabannya. Sebagai pengamat dan ilmuwan sosial memberikan penilaian bahwa gerakan mahasiswa telah meruntuhkan Seoharto. Bahwa ada penilaian yang memberi kesan bahwa gerakan mahasiswa adalah faktor dominan tetapi hanya satu faktor dari sejumlah faktor.
Terlepas perbedaan pendapat tersebut, bagaimanapun mahasiswa melalui gerakannya telah memberikan konstribusi terhadap kejatuhan kekuasaan Presiden Seoharto pada 21 mei 1998. Jatuhnya Seoharto yang kemudian di lanjutkan dengan peralihan kekuasaan kepada B.J Habibie menimbulkan interpretasi yang controversial di kalangan masyarakat. Sebagian mengatakan proses peralihan tersebut tidak konstitusional karena peralihan secara sepihak pengucapan sumpah Habibie sebagai presiden yang baru dilakukan di istana Negara, bukan di hadapan atau melalu MPR sebagaimana yang termaktub dalam pasal 8 UUD 1945. Sementara kalangan masyarakat lain mengatakan peralihan kekuasaan tersebut prosedural dan absah berdasarkan UUD 1945 pasal 8 yakni di aksikan pemimpinan MPR dan diambil sumpah oleh ketua MA.
Kontroversi interprestasi ini juga terjadi di kalangan mahasiswa, dimana terlihat ketika Soeharto baru saja menyerahkan kekuasaanya kepada B.J.Habibie. Pada sehari setelah peralihan kekuasaan itu dilakukan, mahasiswa yang menduduki DPR mengalami polirisasi. Ada mahasiswa yang masih bertahan menduduki DPR (hingga akhirnya dipaksa oleh aparat untuk keluar dari DPR ) dan mahasiswa yang sudah terlebih dulu keluar setelah Soeharto mengatakan berhenti. Polarisasi ini berlanjut dan dampak semakin terlihat ketika SI MPR akan berlangsung pada 10-13 November 1998.
Hal yang cukup menarik dan sebagian kekuatan mahasiswa yang bergerak di antara mereka ada yang secara tipikal memiliki sikap amat radikal dan non kompromistis. mereka tidak hanya ingin meruntuhkan presiden Habibie, lebih dari itu juga tujuan mereka antara lain memubarkan MPR dan DPR yang di nilainya masih berbau kekuasaan rezim orde baru. ketika perhelatan SI MPR berlangsung, kelompok radikal ini yang mencoba yang mendesak dan mengalami benturan fisik dengan barisan aparat keamanan untuk menduduki gedung DPR/MPR. mereka bermaksud mendesak MPR agar membubarkan diri dan sekaligus member jalan bagi terbentuknya pemerintahan presidium (Dewan Negara) atau komite rakyat yang akan mengambil alih kekuasaan sebagai pemerintah transisi. Kelompok mahasiswa radikal ini jumlahnya tidak sedikit.
Majalah gatra, umat, tabloid tekad dan saksi mencatat ada dua belas kelompok mahasiswa yang masuk kategori kelompok mahasiswa radikal revolusioner. kelompok tersebut adalah Forkot (Forum Kota), Famred (Front Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi dan Demokrasi), FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se Jakarta), KB UI (Keluarga Besar Universitas Indonesia), HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi), Komrad (Komando Rakyat Untuk Demokrasi), Forbes (Forum Rakyat Bersatu), Gempar (Gerakan Mahasiswa Penegak Reformasi), Front Nasional, Front Jakarta, KPP PRD (Komite Pengurus Pusat Partai Rakyat Demokratik), dan Kobar (Komando Barisan Rakyat).
Dari dua belas kelompok gerakan mahasiswa tersebut ada satu kelompok mahasiswa Islam yang menarik untuk di cermati yakni kelompok HMI MPO. menarik karena HMI MPO merupakan kelompok gerakan mahasiswa Islam yang pemikiran pemikiran politiknya (misalnya terlihat melalui tuntunan yang di sampaikanya) berbeda dengan arus utama kelompok mahasiswa Islam yang mennndukung B.J.Habibie dan mendukung SI MPR pada pasca kejatuhan Soeharto tahun 1998 HMI MPO justru mengusulkan model pemerintahan presidium nasional. Pemikiran ini setidaknya menunjukan radikalisasi gerakan tersendiri. Hal ini bisa dirunut dari gerakan protes yang dilakukanya, Hingga munculnya pemikiran pemikiran politik tentang pemerintahan presidium nasional, bahkan gagasan tentang perlunya revolusi juga yang muncul ke permukaaan pada periode kejatuhan soeharto ini, HMI MPO juga aktif menuntut pembubaran partai golkar. Disinilah penulis tergerak untuk melakukan studi lebih jauh mengapa terjadi radikalisasi gerakan pada organisasi HMI MPO.
Beberapa pertanyaan
Ada beberapa pertanyaan yang patut di ajukan atas gejala empirik adanya radikalisasi gerakan mahasiswa khususnya terhadap HMI MPO. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain adalah’’mengapa terjadi radikalisasi pada organisasi HMI MPO?’’ mengapa HMI MPO berbeda dari mainstream gerakan mahasiswa islam lainya?’’, mengapa HMI MPO bisa berdampingan dengan kelompok gerakan mahasiswa radikal lainya seperi forkot, FKSMJ, KB UI, dsb?’’, dan apa yang melandasi HMI MPO menjalankan gerakannya?.
Dari sejumlah pertanyaan di atas sesungguhnya ada pertanyaan yang hendak di jawab sebagai pokok permasalahan dalam buku ini, yakni ‘’mengapa terjadi radikalisasi gerakan mahasiswa khussnya pada oraganisasi HMI MPO? bagaimana sesungguhnya bentuk radikalisasi tersebut serta implikasinya sebagai refleksi hingga saat ini ?’’dengan pertanyaan ini paling tidak dapat menelusuri lebih jauh tentang radikalisasi HMI MPO dan di mungkinkan bisa jadi sebagai alat reflektif bagi siapapun yang concern dengan masalah bangsa dan dunia gerakan mahasiswa di Indonesia.
Pertanyaan di atas juga meniscayakan perlunya semacam penjelasan konsep-konsep umum yang berkenaan dengan radikalisasi sebagai rujukan teoritis .
Radikalisasi dan beberapa pemikiran Islam
Penjelasan konsep-konsep berkenaan dengan pemahaman mengenai radikalisasi gerakan penting untuk di kemukakan sebagai sebuah definisi. radikalisasi dalam konteks studi ini sesungguhnya merujuk pada makna radikal dalam makna politik, yakni di pahami seagai tuntunan perubahan pemerintahan yang mendasar. Artinya radikalisasi bisa di pahami sebagai proses terjadinya tuntunan/sikap tindakan yang menghendaki perubahan secara mendasar.
Dengan pemahaman tersebut radikalisasi gerakan mahasiswa yang dimaksud dalam buku ini adalah proses terjadinya tuntunan/sikap/tindakan perubahan secara mendasar yang di lakukan kelompok gerakan yang bernama mahasiswa. tuntunan/ sikap/tindakan tersebut bisa saja termasuk yang berkenaan, kekuasaan, dan kebijakan-kebijakan didalamnya.
Sejalan dengan pemahaman mengenai radikalisasi ini menurut Horace M kallen , radikalisasi bisa jadi tandai oleh tiga kecenderungan umum sebagai sebuah indikator. pertama, radikalisasi merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung. biasanya respons tersebut muncul dalam, bentuk evaluasi , penolakan, atau bahkan perlawanan.masalah-masalahyang di tolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat di pandang bertanggungjawab terhadap keberlangsungan kondisi yang di tolak. Kedua radikalisasi tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan yang lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisasi terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada. Dan ketiga kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama di barengi dengan penafian kebenaran dengan sisitim lain yang akan di ganti.
Tiga kecenderungan radikalisasi yang di kemukakan oleh Horace M Kallen ini di jadikan pisau analisa untuk mencermati radikalisasi yang terjadi pada gerakan HMI MPO. Artinya teori ini akan di gunakan sebagai rujukan dalam menganalisis radikalisasi gerakan HMI MPO.
Namun demikian, karena HMI MPO sebagai organisasi mahasiswa Islam dengan kecenderungan radikal, penulis memamndang perlu untuk juga merujuk pada pemikiran politik Islam yang memiliki kecenderungan radikal. Hal ini dilakukan membantu penulis dalam menelusuri radikalisasi gerakan HMI MPO sebagai organisasi mahasiswa Islam. Beberapa pemikiran Islam tersebut penulis uraikan di bawah ini.
Dalam politik pemikiran Islam, Khususnya yang meniscayakan pentingnya tatanan pemerintahan baru atau bahkan pemerintahan Islam atau negara Islam dengan cara yang radikal atau menggunakan cara revolusi, antara lain ada pada Khomeini, Ali Syariati dan Murthada Muthahari. Ketiga pemikir ini telah mempengaruhi proses revolusi Islam Iran dengan sejumlah pemikiran politiknya. Ayatullah Khomeini adalah pemimpin revolusi Islam Iran yang oleh Esposito di juluki sebagai living symbol and architect Revolusi Islam Iran. Lalu, bagaimana sebenarnya pemikiran politik Khomeini yang revolusioner itu ? Bagaimana pula pemikiran politik Ali Syariati , dan Murthada Muthahari?
Menurut Khomeini, Islam itu bersifat politis, kalau tidak maka agama hanya omong kosong belaka. Al-Qur’an memuat seratus kali lebih banyak ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial dari pada soal-soal ibadah. Dari lima puluh buku hadist, barang kali hanya ada tiga atau empat yang membahas soal sembahyang, dan selebihnyaselalu ada sangkut pautnya dengan masyarakat, ekonomi, hukum, politik, dan negara. Jangan sekali-kali mengatakan bahwa Islam hanya mengatur masalah yang menyangkut hubungan antara Tuhan dan makhluk-Nya.
Khomeini juga mengemukakan bahwa pemerintahan baru sah bila menerima aturan Allah. Aturan Allah artinya adalah menerapkan syariat. Segenap hukum yang bertentangan dengan syariat harus di gugurkan, karena hanya hukum Allah sajalah yang sah dan tak berubah, meskipun zaman berubah. Orang asing dan peradaban Barat, dalam hal ini mencuri nalar dan kecerdasan dari kaum muslim.
Dari uaraian di atas dapat di kemukakan dua hal penting dari pemikiran Khomeini, pertama, tidak adanya pemisahan antara agama dan negara, dan yang kedua, pemerintahan atau negara yang di inginkanya adalah negara yang menerapkan syariat Islam. Lalu siapa yang wajib menegakkannya? Siapa yang dapat memerintah? Menurut Khomeini, hanya seorang penguasa yang dipilih oleh para mujtahid sajalah, yang mengenal perintah tuhan dan mengamalkan keadilan tanpa terpenjara oleh tekanan dan ambisi dunia. Mereka inilah yang mampu mengemban tugas tersebut.
Dalam hokumat I Islam Ayatullah Khomeini berpendapat bahwa Islam bukan sekedar agama etika (etical religion) tetapi di dalam Islam terkandung seluruh hukum dan prinsip-prinsip yang diperlukan bagi pemerintahan dan administrasi sosial. Karena itu pemerintahan Islam yang benar adalah sebuah pemerintahan konstitusional dengan Al-Qu’an dan Hadist sebagai konstitusinya. Kendati tidak ada aturan khusus di dalam Al-Qur’an dan Hadist bagi di tegakkannya suatu pemerintahan selam kegaiban al-mahdi, tatanan sosial di perlukan bagi pelaksanan syariat.
Pemerintahan Islam haruslah adil (yang berarti harus bertindak sesuai syariat) dan karenanya dibutuhkan pengetahuan yang luas mengenai syariat dalam mana semua tindakan harus sesuai syariat. Syarat-syarat ini hanya bisa dipenuhi oleh para fakih, pakar di bidang hukum Islam. Karenanya fakih adalah figure yang paling siap untuk memerintah masyarakat Islam. Inilah sebenarnya gagasan inti Vilayat I Faqih. Sebagai penguasa, fakih memiliki otoritas yang sama dan dapat menjalakan fungsi sebagai Imam. Dalam hal ini tidak ada tempat bagi raja ataunpenguasa-penguasa temporal lainnya.
Sekurang-kurangnya dad 8 persyaratan yang harus di penuhi oleh seorang fakih untuk bisa memimpin pemerintahan Islam, yaitu (1) mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam, (2) harus adil dalam arti memiliki iman dan akhlak yang tinggi, (3) dapat dipercaya, (4) jenius, (5) memiliki kemampuan yang administratif, (6) bebas dari segala pengaruh asing, (7) mampu mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas teritorial tanah Islam, sekalipun harus di bayar dengan nyawanya, (8) hidup sederhana.
Menurut Khomeini negara Islam adalah negara hukum, pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang konstitusional dan negara hukum di sisni berbeda dengan apa yang selama ini dikenal. Pengertian konsitusional yang merujuk pada “hukum yang di sesuaikan dengan pendapat mayoritas” tidak di kennnal dalam sisitim pemerintahan Islam. Karena dalam pemerintahan Islam hukum sudah ada, yaitu hukum Tuhan. Dengan kata lain Tuhan-lah pemegang kekuasaan Legislatif-di samping sebagai pemegang kedaulatan-tertinggi yang sbenarnya, bukan parlemen. Jadi, di dalam pemerintahan Islam, jika kekuasaan eksekutif dan yudikatif ada pada fakih atau fukaha yang menjalankan fungsi selaku wakil Imam, maka kekuasaan legislatif sepenuhnya menjadi hak Tuhan. Oleh sebab itu pemerintahan Islam juga bisa di sebut sebagai “pemerintahan hukum tuhan atas manusia”. Tetapi bukan berarti tidak di perlikan adanya parlemen (majelis) di perlukan guna menyusun program untuk bebagai kementerian Berdasarkan ajaran Islam dan menentukan bentuk pelayanan pemerintahan di seluruh negeri.
Lafraire setelah melakukan studi normatif tentang ideologi Revolusi Islam Iran mengemukakan bahwa pemerintahan Islam memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: (1) mempertahankan lembaga-lembaga dan hukum Islam, (2) melaksanakan hukum Islam, (3) membangun tatanan yang adil, (4) memungut dan memanfaatkan pajak sesuai dengan ajaran Islam, (5) menentang segala bentuk agresi, mempertahankan kemerdekaan dan teritorial tanah Islam, (6) memajukan pendidikan, (7) memberantas korupsi dan segala bentuk penyakit sosial lainnya, (8) memberikan perlakuan yang sama kepada warga negara tanpa diskriminasi, (9) memecahkan masalah kemiskinan, dan (10) memberikan pelayanan kemanusiaan secara umum.
Kemudian, bagaimana cara Khomeini menjalankan gagasannya? Dalam realitas sejarah Iran tahun 1979 terlihat bagaimana cara Khomeini mengimplementasikan gagasannya, yakni dengan cara revolusi. Menurut Khomeini hanya ada satu Islam yang benar, yaiti yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau membawa Islam revolusioner. Karenanya Islam yang benar adalah Islam yang revolusioner. Seorang muslim harus revolusioner, jika tidak ia bukan seorang muslim. Kendati demikian Khomeini juga menolak tegas jika Islam disamakan dengan Marxisme. Islam berdasarkan pada keesaan Tuhan, jadi merupakan anti tesis dari Marxisme, katanya.
Istilah “Islam marxis” (seperti yang dipakai oleh kelompok oposisi Iran, Mujahidin Khalq), menurut Khomeini merupakan suatu absurditas atau kemustahilan. Memang Khomeini mengakui bahwa ada idiom yang mirip. Misalnya ia menguntip nasehat yang di berikan oleh Imam Ali pada dua anaknya (Imam Hussein dan Imam Hassan), “jadilah musuh kaum penindas (mustakbirin), dan pembela kaum tertindas (mustazd’afin) ”. Ayatullah kemudian mengemukakan bahwa dirinya menentang ideologi Marxisme dan dirinya tahu mereka akan menusuk dari belakang jiaka mereka berkuasa, dan mereka akan mendirikan sebuah rezim yang diktator yang sangat bertentangan dengan Islam. Uraian tersebut mempertegas betapa Khomeini menentang keras Marxisme, dan mempertegas bahwa gagasan revolusinya berbeda dengan revolusi Marxisme.
Ada empat cara yang dilakukan oleh Khomeini dalam revolusi Islam Iran, yakni (1) perlawanan yang menyeluruh dan tanpa kompromi terhadap rezim tirani, (2) menggambarkan rezim Syah Reza Pahlevi sebagai boneka Amerika Serikat dan Israel, (3) menolak pendekatan pembaharu yang setengah-setengah, (4) melakukan agitasi pada para pendengar melalui kaset-kaset rekaman ceramahnya, termasuk mendorong khalayak untuk membuat buku-buku mengenai hukum Islam dan manfaatnya bagi masyarakat.
Selain Khomeini terdapat juga Ali Syariati dan Murthada Muthahari yang pemikiran-pemikiran politiknya sangat mempengaruhi proses revolusi Islam Iran tahun 1979. Karena itu untuk melihat fenomena radikalisasi gerakan HMI MPO, penulis memandang perlu menjelaskan pemikiran politiknya Ali Syariati dan Murthada Muhtahari, sekalipun tidak semua pemikirannya penulis kemukakan sebagaimana di uraikan di bawah ini.
Menurut Ali Syariati, negara Islam adalah komunitas masyarakat Islam yang di dalam diri masyarakatnya tertanam kesadaran diri yang kuat, suatu kesadaran istimewa manusia yang membimbingnya untuk terus berjuang. Ali Syariati mencontohkan negara Madinah sebagai contoh komunitas peradaban yang masyarakatnya memiliki kesadaran istimewa, sehingga menurut Ali Syariati, Madinah dari sebuah desa yang kecil tanpa perpustakaan, tanpa organisasi sosial, tanpa sisitim-sistim formal, tanpa undang-undang dasar, maupun tekhnologi besar, kemudian menjadi negara yang memiliki peradaban tinggi pada masanya.
Pemikiran Ali Syariati yang tumbuh subur sebelum Revolusi Islam Iran ini nampak lebih terfokus pada upaya memberikan kesadaran kaum muada atau rakyat pada umumnya untuk melakukan perubahan, bahkan melawan kekuasaan yang zalim. Manusia yang memiliki kesadaran istimewa oleh Ali Syariati disebut Raushanfekr atau individu yang terserahkan atau intelektual sejati, yaitu individu yang sadar terhadap kondisi kemanusiaannya, masyarakatnya dan priode masa hidupnya. Kesadaran yang semacam inilah yang menumbuhkan tanggungjawab. Dengan tanggungjawab inilah ia mengantar rakyatnya ke arah tindakan ilmiah, sosial dan revolusioner.
Menurut Ali Syariati, peradaban Barat dengan segala sisitemnya mempunyai kapasitas ganda, yaitu mendidik di satu sisi tetapi membuat bodoh di sisi yang lain. Dari pemahaman inilah kemudian Syariati menyebutkan dua jenis intelektual dunia ketiga. Pertama, intelektual peniru (assimile) yaitu intelektual yang sepenuhnya meninggalkan warisan sejarah dan kulturnya, meniru nilai-nilai dan idealisasi Barat. Intelektual peniru ini oleh Syariati di sebut juga “Eropanoid” atau “humanoid”. Kedua, intelektual sejati (raushanfekr), yaitu mereka yang memakai “jubah” para Nabi, mengikuti tradisi Nabi menyadarkan ummat.
Dalam pemikiran Syariati, istilah-istilah seperti menyadarkan ummat, melakukan perlawanan, revolusi, manusia-manusia tertindas (mustadh’afin) dan sebagainya seringkali terlontar di hampir seluruh bukunya, bahkan bukunya tentang Hajj (The Pilgrimage) pun Syariati menjelaskan Haji dalam makna yang dinamis dan penuh makna perubahan. Hingga momentum 10 Dzulhijjah dipahami oleh Syariati sebagai momentum Revolusi. Meskipun demikian, dalam pemikiran-pemikiranya, diakui Syariati ada beberapa yang memberi konstribusi bagi kematangan pemikirannya, antar lain Loiss Massignon, George Gurvitch, dan Franz Fanon. Pengakuan Syariati tentang utang intelektualnya pada pemikir Barat dan pemikiran-pemikiran revolusionernya telah mendorong protes ulama-ulama tradisional Iran. Ketika itu Ali Syariati menulis surat pembelaan kepada ayahnya, Syariati mengemukakan bahwa Gurvitch, orang yahudi mantan komunis, yang segenap hidupnya telah dihabiskan untuk berjuang melawan Fasisme, kediktatoran Stalin dan kolonialisme Prancis di Aljazair, lebih dekat dengan semangat syi’ah ketimbang Ayatullah Milani, salah seorang marju’taqlid (sumber panutan) utama di Iran, yang tak pernah berjuang sama sekali.
Pemikiran politik Ali Syariati diakui oleh banyak kalangan sebagai pemikiran yang concern dengan konsep-konsep perubahan. Sementara mengenai konsep-konsep negara, Syariati sangat menolak otoritas ulama yang terlembagakan. Menurut Alli Syariati Islam tidak memperbolehkan adanya organisasi ulama terpusat dan terlembagakan, yang menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, karena hubungan Tuhan dan Manusia langsung sifatnya.
Karena itu Syariati berpendapat bahwa agama yang terlembagakan pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya reaksi dan dogmatismme. Selain itu Syariati juga mengemukakan agar muslim sejati menentang pemerintahan yang menempakkan otoritas yang hendak menempatkan dirinya sebagai pengganti Tuhan. Manusia adalah katalisator perubahan. Dari pemikiran ini nampak sekali bahwa Syariati hendak melepaskan manusia dari ketakutan yang menentang otoritas yang zalim.
Pemikiran Syariati mengenai negara nampak berbeda dengan Khomeini. Syariati terlihat berbeda dalam hal memahami konsep otoritas. Kelembagaan ulama yang dibariakan otoritas langsung sebagai pewaris Nabi, oleh Syariati dipahami sebagai tidak perlunya perantara otoritas kepada ulama, sebab hubungan manusia dengan Tuhannya langsung sifatnya. Sekalipun demikian sepengetahuan penulis dari sejumlah buku tentang Ali Syariati dan Khomeini nampak tidak pernah terjadi pertentangan antara keduanya, kecuali pertentangan antara Syariati dengan ulama-ulama tradisional lainya, antara lain seperti terhadap Ayatullah Millani.
Selain Ali Syariati, pemikir sekalugus ulama yang turut memberikan pengaruh besar bagi proses lahirnya Revolusi Islam Iran adalah Murthada Muthahari. Karena itu beberapa pemikiran politik Murthada Muthahari, Republik Islam adalah istilah yang mengandung arti nafi dan itsbat . yang di maksud nafi adalah meniadakan sistem penguasa yang menetapkan jabatan untuk dirinya selama dua puluh lima tahun, sedangkan itsbat berarti menetapkan Islam dan Tauhid sebagai isi Republik Islam Iran. Dari pemikiran Murthada ini nampak maksud sebenarnya dari model negara Republik Islam Iran yang diinginkannya. Bahwa syariat Islam sebagai isi dari Republik Islam, namun kekuasaan pemerintahan yang otoriter tidak di kehendakinya.
Sementara tentang demokrasi, Murthada Muthahari mengemukakan bahwa kebebasan dan demokrasi dalam pandangan Islam ditegakkan di atas asas yang di tuntut bagi penyempurnaan manusia bagi diri manusia. Artinya, kebebasan itu hak setiap orang karena dia adalah manusia, suatu hak yang bersumber dari pembawaan yang dimiliki manusia dan bukan dari kecenderungan dan naliri-nalurinya. Demokrasi dalam Islam berarti kemanusiaan yang bebas, sedangkan dalam kamus-kamus Barat berarti kebinatangan yang bebas. Muthahari dalam soal demokrasi ini merujuk pada Khomeini, Muthahari mengatakan bahwa Imam Khomeini mengemukakan bahwa penolakannya terhadap demokrasi itu menyangkut konsep penolakan terhadap taqlid (kepengikutan buta) terhadap kriteria-kriteria Barat. Menggunakan istilah-istilah demokrasi sebagai penghianatan terhadap semangat kemerdekaan bangsa, sebab warisan Islam sudah memiliki kebebasan, lebih dari sekedar konsep demokrasi.
Mengenai pemimpin agama Murthada Muthahari mengemukakan bahwa kalau revolusi Islam ingin memetik hasil dan merealisasikan tujuan-tujuannya di masa mendatang, serta bisa melanjitkan keberhasilannya, maka ia harus ditumpukkan pada pundak para pemimpin agama. Kalau seandainya kendali kepemimpinan dilepaskan dari tangan mereka dan di serahkan kepada orang-orang yang menamakan dirinya kaum intelektual, maka dalam waktu beberapa dekade yang akan datang Islam akan terhapus secra total.
Sementara untuk membangun cita ideal politik Islam yang dimaksud, Muthahari mengatakan perlunya revolusi. Mengenai revolusi sebagai model perubahan, Muthahari kemudian mengemukakan bahwa revolusi adalah pemberontakkan rakyat dari seluruh negeri terhadap pemimpin yang berkuasa untuk menciptakan sistem yang ideal. Dengan kata lain revolusi adalah ungkapan bagi suatu gerakan pemberontakkan menentang sisitam yang berkuasa, yang bertujuan menciptakan sisitem yang lain. Sehingga kemudian Muthahari menjelaskan bahwa akar setiap revolusi tertanam dalam dua hal, yakni (1) membebaskan diri dan membenci sistem yang sedang berlaku, (2) mencita-citakan sisitem yang ideal. Berdasarkan hal ini kemudian Muthahari mengemukakan bahwa memahami setiap revolusi tidak mungkin bisa di lakukan tanpa mengetahui unsur-unsur penghancurnya di satu pihak dan pihak lain mengetahui pula cita-cita bangsanya.
Dari uraian tentang pemikiran politik Ayatullah Khomeini tentang tiadanya pemisahan antara Islam dan negara, dan pentingnya penegakkan syariat Islam, serta konsep Vilayat I-Faqih dan uraian tentang cara revolusi yang digunakan Khomeini untuk mengimplementasikan gagasan-gagasannya. Kemudian pemikiran Ali Syariati yang lebih memfokuskan pada konsep-konsep perubahan revolusionernya dengan mendorong rakyat untuk memiliki kesadaran murni dan memahami konsep raushanfekr, serta pemikiran Murthada Muthahari yang menjelaskan konsep nafi dan itsbat dalam gagasan Republik Islam Iran, pentingnya kebebasan berpikir dalam pemahaman Islam, dan tentanng pentingnya dua akar pokok dalam sebuah revolusi telah memberikan referensi analisis terhadap fenomena HMI MPO yang oleh mesia massa disebut-sebut sebagai gerakan mahahsiswa radikal revolusioner.
Dalam konteks realitas pemikiran Ayatullah Khomeini, Ali Syariati, Murthada Muthahari yang mendorong terjadinya Revolusi Islam Iran tahun 1979 dan fenomena radikalisasi gerakan HMI MPO, dimungkinkan adanya keterkaitan pemikiran antara keduanya, meski nampak bersifat psikologis. Mengingat munculnya HMI MPO hanya berselang 6 tahun setelah revolusi Islam Iran (1979), dan HMI MPO muncul pada tahun 1985 (sekalipun pemicinya sudah mulai sejak 1983) ketika faksi HMI tersebut menolak pemberlakuan asas tunggal Pancasila oleh rezim Orde Baru. Faksi HMI tersebut tetap mempertahankan Islam sebagai asas organisasi HMI. Radikalisasi HMI MPO kemudian muncul ketengah publik dalam aksi-aksi politik menentang rezim Orde Baru tahun 1998.
Pasca kejauthan Seoharto, HMI MPO terus melakukan aksi politik dengan tuntutan radikalnya, sekalipun kekuasaan presiden sudah dilimpahkan kepada B.J Habibie (1998-1999) yang nota bene dianggap oleh sebagian kalangan Islam mewakili umat Islam. Bahkan dalam dinamika perubahan politik nasional berikutnya tahun 1999 sampai 2001, HMI MPO masuk pada barisan gerakan yang menggagas perlunya pemerintahan Presidium Nasional, gerakan “cut generation” (sebuah gerakan yang menolak keberadaan elite politik pasca reformasi bersama FKSMJ) Dan menghendaki revolusi. Radikalisasi gerakan nampak terjadi pada HMI MPO. Dalam konteks inilah teori Horace M Kallen tentang tiga kecenderungan radikalisasi, dan sejumlah pemikiran politik Islam yang diuraikan diatas bisa menjadi rujukan (meski tidak menafikan kemungkinan rujukan-rujukan lain dalam perjalanan analisis buku ini) yang dijadikan pisau analisa untuk melihat radikalisasi gerakan HMI MPO.
Sumber : Ubedillah Badrun : Radikalisasi gerakan Mahasiswa : Kasus HMI MPO 1998.

Tidak ada komentar: