Selasa, 24 Februari 2015

Analisis Kritis Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Kebutuhan masyarakat Indonesia yang semakin tinggi terhadap pendidikan yang bermutu menunjukkan bahwa pendidikan telah menjadi salah satu pranata kehidupan social yang kuat dan berwibawa, serta memiliki peranan yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan peradaban bangsa Indonesia. Pendidikan telah memberi kontribusi yang cukup signifikan dalam membangun peradaban bangsa Indonesia dari satu masa ke masa lainnya. Berbagai kajian dan pengalaman menunjukan bahwa pendidikan memberi manfaat yang luas bagi kehidupan suatu bangsa. Pendidikan memberi manfaaat yang luas bagi kehidupan suatu bangsa. Pendidikan merupakan pilar utama dalam membentuk karakter bangsa, pendidikan juga mampu melahirkan masyarakat terpelajar serta melalui pendidikan pula kesadaran masyarakat yang toleran dan hidup harmoni dalam kemajemukan.
Di sisi lain, pendidikan dapat memberikan sumbangan nyata terhadap pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan tenaga kerja yang berpengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keahlian serta keterampilan. Tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan yang memadai akan memberi kontribusi pada peningkatan produktifitas nasional. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan nasional yaitu ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan(SNP). Pengembangan sekolah/madrasah bertaraf Internasional dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan daya saing bangsa Indonesia di forum internasional. 
B.   Landasan kebijakan
Adapun landasan kebijakan sekolah/madrasah bertaraf Internasional adalah:  
1.   Undang–undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 50 menyatakan bahwa :
a.        Ayat (1); Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawan menteri
b.   Ayat (2); Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.
c.     Ayat(3); Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang–kurangnya satu sekolah pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi salah satu sekolah yang bertaraf internasional.
2.   Undang–undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangun Jangka Panjang 2005–2025 mengatur perencanaan pembangunan Jangka Panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
3.      Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam Pasal 61 Ayat (1) menyatakan bahwa; Pemerintah bersama–sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang–kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang–kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional.
4.   Rencana Strategis Menteri Pendidikan Nasional tahun 2005–2009 menyatakan  bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa perlu dikembangkan sekolah bertaraf Internasional pada tingkat kabupaten/kota melalui kerjasama yang konsisten antara pemerintah dengan pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan, utnuk mengembangkan SD,SMP,SMA dan SMK yang bertaraf internasional sebanyak 112 unit seluruh Indonesia.

C.   Tujuan
1.   Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Landasan Kependidikan
2.   Melatih mahasiswa membuka wacana mengenai Sekolah Bertaraf Internasional.
3. Diharapkan pemikiran kritis, inovatif serta ide-ide cemerlang dari mahasiswa mengenai Sekolah Bertaraf Internasional ( SBI).

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Konsepsi Sekolah Bertaraf Internasional
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional merupakan Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional”.
Esensi dari rumusan konsepsi Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1.   Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi Standar Nasional Pendidikan yaitu Sekolah/Madrasah yang sudah melaksanakan standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pembiayaan, dan standar penilaian.
2.      Diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota OECD dan atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan dapat dilaksanakan melalui dua cara sebagai berikut:
a.       Adaptasi yaitu penyesuaian unsur–unsur tertentu yang sudah ada dalam Standar Nasional Pendidikan dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara OECD dan/atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan.
b.      Adopsi yaitu penambahan unsur–unsur tertentu yang belum ada dalam standar nasional Pendidikan dengan mengacu pada standar pendidikan salah  satu Negara anggota OECD dan/atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan.
c.    OECD yang berlokasi di Paris Perancis merupakan organisasi internasional untuk membantu pemerintahan Negara–Negara anggotanya menghadapi tantangan globalisasi ekonomi.
d.    Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan adalah Negara–Negara maju yang tidak termasuk dalam keanggotaann OECD, tetapi keunggulan pendidikannya bisa diadaptasi dan/atau diadopsi.
3.    Daya saing di forum internasional memiliki makna bahwa siswa dan lulusan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional antara lain dapat:
a. Melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan bertaraf internasional, baik di dalam maupun di luar negeri.
b. Mengikuti sertifikasi bertaraf internasional yang diselenggarakan oleh salah satu Negara OECD dan/atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan.
c.  Meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga.
d.  Bekerja pada lembaga–lembaga internasional dan/atau Negara–Negara lainnya.

B.    Karakteristik Sekolah/Madrasah Bertaraf  Internasional( SBI)
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional memiliki karakteristik keunggulan yang ditunjukkan dengan pengakuan internasional terhadap proses dan hasil atau keluaran pendidikan yang berkualitas dan teruji dalam berbagai aspek. Pengakuan internasional ditandai dengan penggunaan standar pendidikan internasional dan dibuktikan dengan hasil sertifikasi berpredikat baik dari salah satu Negara anggota OECD dan/atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan.

C.   Profil Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional ( SBI)
1. Akreditasi: berakreditasi minimal A dari Badan akreditasi Nasional (BAN-S/M), dan Berakreditasi tambahan dari Badan akreditasi sekolah pada salah satu Negara anggota OECD dan/atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan.
2. Kurikulum, menerapkan KTSP, dan menerapkan administrasi akademik berbasis Teknologi Informatika dan komunikasi (TIK), sehingga mudah diakses oleh siapapun, memenuhi standar isi, muatan mata pelajaran setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada Sekolah unggul dari salah satu OECD dan/atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, memenuhi standar kompetensi Lulusan dan menerapkan standar kelulusan dari Sekolah yang lebih tinggi dari SKL.
3. Proses pembelajaran, Proses pembelajaran pada semua mata pelajaran menjadi teladan bagi Sekolah/Madrasah lainnya dan diperkaya dengan model proses pembelajaran sekolah unggul dari Negara anggota OECD dan/atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, menerapkan pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran, bilingual.
4. Penilaian, memenuhi Standar Penilaian dan diperkaya dengan penilaian sekolah unggul dari Negara anggota OECD dan/atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan.
5. Pendidik, memenuhi standar pendidik yaitu semua guru mampu memfasilitasi pembelajaraan berbasis TIK, kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan mampu mengampu pembelajaran berbahasa Inggris, Minimal 10% guru berpendidikan S2/S3 dari Perguruan Tinggi yang Prodinya berakreditasi A untuk SD/MI, 20 % guru berpendidikan S2/S3 dari Perguruan Tinggi yang Prodinya berakreditasi A untuk SMP/MTs, 30% guru berpendidikan S2/S3 dari Perguruan Tinggi yang Prodinya berakreditasi A untuk SMA/SMK/MA/MAK.
6. Tenaga Kependidikan, yaitu memenuhi Standar Tenaga kependidikan, Kepala Sekolah minimal S2 dari Perguruan Tinggi yang Prodinya berakreditasi A dan telah menempuh pelatihan Kepala Sekolah/Madrasah dari lembaga pelatihan Kepala Sekolah yang diakui oleh pemerintah, Kepala Sekolah mampu berbahasa Inggris secara aktif, serta bervisi internasional, mampu membangun jejaringan internasional, memiliki manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan entrepreneurial yang kuat.
7.   Sarana dan Prasarana, memenuhi Standar Sarana dan Prasarana, setiap ruang kelas dilengkapi dengan sarana pembelajaran berbasis TIK, perpustakaan dilengkapi dengan sarana digital yang member akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK diseluruh dunia, ruang multimedia, fasilitas olah raga, klinik dan sebagainya.
8.   Pengelolaan, memenuhi Standar Pengelolaan yaitu meraih sertifikat ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dan ISO 14000, merupakan sekolah multi–cultural, menjalin hubungan “sister school” dengan sekolah di luar negeri, meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga.
9. Pembiayaan, memenuhi Standar Pembiayaan, menerapkan model pembiayaan yang efisien untuk mencapai berbagai target indikator kunci tambahan.

D.    Penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional (SBI)
1.      Model Penyelenggaraan
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dapat diselenggarakan dengan menggunakan model–model penyelenggaraan yang dianggap paling sesuai atau cocok dengan kebutuhan, kekhasan, keunikan, dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap Sekolah/Madrasah, baik untuk penyelengaaraan Sekolah/Madrasah yang baru maupun pengembangan Sekolah/Madrasah yang sudah ada sebelumnya. Model–model tersebut sebagai berikut:
a. Model “terpadu–satu sistem atau satu atap-satu sistem”, yaitu penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di dalam satu lokasi dengan menggunakan sistem pengelolaan pendidikan yang sama. Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah ini dapat dipimpin oleh seorang direktur/ Manager yang mengkoordinasikan tiga Kepala Sekolah/Madrasah yang memimpin setiap satuan Pendidikan dasar dan menengah.
b.  Model “Terpisah–Satu sistem atau Tidak Satu Atap–Satu Sistem” Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional yang diselenggarakan dengan Model “Terpisah–Satu sistem atau Tidak Satu Atap–Satu Sistem” yaitu penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di dalam lokasi yang berbeda atau terpisah dengan menggunakan sistem pengelolaan pendidikan yang sama. Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional yang diselelnggarakaan dengan model ini dapat dipimpin oleh seorang direktur/Manager yang mengkoordinasikan tiga Kepala Sekolah/Madrasah yang memimpin setiap satuan Pendidikan dasar dan menengah yang berada pada lokasi berbeda.
c.  Model”Terpisah–Beda Sistem atau Tidak satu Atap–Beda Sistem” Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional yang diselenggarakan dengan Model”Terpisah–Beda Sistem atau Tidak satu Atap–Beda Sistem ”yaitu penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di lokasi yang berbeda. Penyelenggara model ini disarankan hanya fase rintisan penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional yang dalam kurun waktu tertentu harus ditingkatkan secara bertahap ke Model “Terpisah–Satu sistem atau Tidak Satu Atap – Satu Sistem”.
d.      Model ”entry – exit”
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional yang diselenggarakan dengan model ”Entry–Exit” yaitu penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan cara mengelola kelas–kelas regular dan kelas–kelas bertaraf internasional. Peserta didik pada kelas–kelas bertaraf internasional yang oleh karena berbagai alasan tertentu tidak bisa melanjutkan di kelas bertaraf internasional bisa pindah ke kelas–kelas regular. Begitu juga sebaliknya peserta didik pada kelas–kelas reguler bisa pindah ke kelas-kelas bertaraf internasional, jika dipandang memenuhi syarat.

BAB III
ULASAN

RSBI muncul dari globalisasi yang ditelan secara mentah-mentah tanpa dikritisi terlebih dahulu. Lima tahun sudah diselenggarakan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) jenjang dasar dan menengah, umum dan kejuruan. Sudah diperoleh sejumlah sekolah bertaraf internasional (SBI), sudah pula ada yang didrop dari status RSBI ke status sekolah reguler. Kata Menteri Pendidikan Nasional, RSBI ini merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Ide sekolah rintisan ini pun kemudian dibuatkan payung hukumnya, yakni dalam Bab XIV Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dalam UU disebutkan bahwa kabupaten atau kota harus mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan untuk menjadi sekolah bertaraf internasional.
Menurut Darwin Vinsensius, ada tiga pendekatan Internasional yang digunakan dalam dunia pendidikan. Pertama, unilateral, yaitu negara mengirimkan murid berprestasinya untuk menempuh studi di negara lain. Kedua, bilateral, yaitu untuk mengirimkan murid berprestasi ke negara lain ada kesepakatan terlebih dahulu di antara dua negara bersangkutan. Ketiga, multilateral, yaitu seperti negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organization For Economic Cooperation and Development), yaitu negara-negara terkaya di seluruh dunia antara lain Amerika Serikat, Australia, serta Perancis. “Awalnya, OECD hanya mengurus tentang ekonomi, tetapi sekarang sudah menyentuh urusan pendidikan,
Lebih lanjut Darmin Vinsensius mengatakan, ada tiga ciri-ciri dari sekolah berstatus RSBI. Pertama, kurikulumnya yang exportation, adaptasion, integration, dan creation. Padahal seharusnya RSBI itu hanya integration dan creation.Tetapi kenyataan yang ada RSBI di Indonesia malah lebih banyak exportation dan adaptasion-nya. Ciri kedua dilihat dari siswanya, yang dikategorikan menjadi lebih mobile atau berpindah-pindah negara dalam menempuh studi. Ketiga, dari gurunya, yang harus bisa menggunakan bahasa Inggris. Ketiga ciri tersebut berlaku umum karena merupakan hasil penelitian di seluruh dunia. Perbedaan mendasar RSBI dengan sekolah lain terletak pada konsep pembelajarannya. Di RSBI, selain menuntaskan kurikulum nasional, harus ditambah dengan membuka kurikulum internasional, seperti penggunaan fasilitas belajar berbasis teknologi informasi, kelengkapan sarana dan prasarana seperti ruangan ber AC, dan tentunya bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Seluruh fasilitas pendidikan yang serba plus-plus tentu saja harus ditebus dengan harga mahal. Walau begitu, pemerintah berkeras tak mau menggunakan kamus mahal dalam pembiayaan RSBI.
Kenyataan yang ada RSBI memunculkan jurang antara yang kaya dan miskin. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 45 yang mengamanatkan mencerdaskan bangsa. Mencerdaskan bangsa bukan untuk segelintir warga yang berkemampuan financial melainkan untuk sebanyak mungkin warga bangsa. Dengan semakin banyak RSBI, akan semakin berkurang jumlah sekolah negeri yang biayanya dapat terjangkau masyarakat miskin. Sekolah gratis pun semakin di awang-awang. Meskipun selama ini RSBI telah dilaksanakan dengan biaya yang cukup mahal ternyata juga masih ada kelemahan. Menurut Satria Darma ada beberapa kelemahan mendasar dalam program SBI yaitu:
Pertama, program ini nampaknya tidak didahului dengan riset yang mendalam dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan bahwa SBI = SNP + X, maka sebenarnya konsep SBI ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas. Tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam, dan lain-lain.  Mislanya jika konsep ini secara jelas menyatakan mengadopsi atau mengadaptasi standar pendidikan internasional seperti Cambridge IGCSE atau IB, maka akan lebih jelas kemana arah dari program ini. Dengan memasukkan TOEFL/TOEIC, ISO dan UNESCO sebagai “X” juga menunjukkan bahwa Dikdasmen juga tidak begitu paham dengan apa yang ia maksud dengan “X” tersebut. Atau mungkin ini sebuah strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur?
Sekolah-sekolah yang mengadopsi atau berkiblat pada standar internasional seperti Cambridge atau International Baccalaureate (IB) adalah sekolah-sekolah yang memang dirancang untuk mempersiapkan siswa-siswa mereka agar dapat melanjutkan ke luar negeri. Dengan sistem kurikulum tersebut siswa mereka memang dipersiapkan untuk dapat belajar di luar negeri. Mereka bahkan tidak perlu mengikuti Ujian Nasional karena mereka memang tidak berencana untuk meneruskan pendidikan mereka di universitas di Indonesia. Nah, dengan demikian, apakah sebenarnya yang hendak dituju dengan program SBI ini? Jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan maka mengadopsi IB ataupun mengikutsertakan siswa dalam ujian Cambridge bukanlah jawabannya.
Ujian Cambridge diperuntukkan bagi siswa yang ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Meski demikian nilai yang tinggi dalam ujian Cambridge juga bukan jaminan bahwa siswa dapat diterima di perguruan tinggi di luar negeri. Nilai ujian Cambridge hanya akan memudahkan siswa untuk dapat diterima di perti Luar Negeri karena nilai ujian Cambridge diakui oleh beberapa negara. Permasalahannya adalah berapa banyak dari siswa kita sebenarnya yang ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri? Berapa persenkah dari lulusan sekolah publik kita yang benar-benar ingin dan mampu, baik secara finansial maupun intelektual, untuk melanjutkan studinya ke luar negeri? Jika Depdiknas tidak memiliki data statistik tentang hal ini mengapa tiba-tiba timbul kebijakan untuk mengubah sekolah-sekolah kita menjadi SBI yang berkiblat pada Cambridge?
Bukankah ini suatu pengorbanan yang sangat sia-sia yang bakal menelantarkan siswa-siswa lain yang tidak akan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri? Untuk apa kita mengerahkan seluruh energi dan kapasitas kita membawa siswa menuju ke sistem Cambridge, jika sebenarnya tujuan yang hendak dituju bukanlah kesana? Ini adalah contoh tujuan pendidikan yang sangat misleading. Jelas sekali bahwa tidak mungkin sekolah harus mengikuti dua kiblat, yaitu UNAS dan Cambridge, karena akan sangat menyulitkan bagi sekolah maupun murid untuk mengikuti dua kiblat tersebut. Beberapa sekolah National Plus yang selama ini memang dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut mengakui bahwa sangat sulit bagi mereka untuk mengikuti dua kiblat tersebut sekaligus.
Kedua, Dikdasmen membuat rumusan 4 model pembinaan SBI tersebut yaitu : (1) Model Sekolah Baru (Newly Developed), (2) Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (Existing School), (3) Model Terpadu, dan (4) Model Kemitraan. Padahal kalau dilihat sebenarnya hanya ada dua model yaitu Model (1) Model Sekolah Baru dan Model (2) Model Sekolah yang Telah Ada. Dua lainnya hanyalah teknis pelaksanaannya saja. Dari dua model tersebut Dikdasmen sebenarnya hanya melakukan satu model rintisan yaitu Model (2) Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (Existing School) dan tidak memiliki atau berusaha untuk membuat model (1) Model Sekolah Baru. Tetapi  buku Panduan Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang dikeluarkan sebenarnya lebih mengacu pada Model (1) padahal yang dikembangkan saat ini semua adalah Model (2). Jelas bahwa sekolah yang ada tidak akan mungkin bisa memenuhi kriteria untuk menjadi sekolah SBI karena acuan yang dikeluarkan sebenarnya ditujukan bagi pendirian sekolah baru atau Model (1).
Sebagai contoh, jika sekolah yang ada sekarang ini diminta untuk memiliki guru berkategori hard science seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi (dan nantinya diharapkan kategori soft science-nya juga menyusul) menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, atau memiliki tanah dengan luas minimal 15.000 m, dan lain-lain persyaratan seperti dalam buku Panduan, maka jelas itu tidak akan mungkin dapat dipenuhi oleh sekolah yang ada. Ini ibarat meminta kereta api untuk berjalan di jalan tol! Sebagai ilustrasi, sedangkan guru bahasa Inggris di sekolah-sekolah ‘favorit’ kita saja hanya sedikit yang memiliki TOEFL > 500, apalagi jika itu dipersyaratkan bagi guru-guru mata pelajaran hard science. Maka itu jelas tidak mungkin. Ini berarti Dikdasmen tidak mampu untuk menerjemahkan model yang ditetapkannya sendiri sehingga membuat Dikdasmen beresiko gagal total dalam mencapai tujuannya.
Ketiga, konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL> 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai TOEFL<500> 500. Singkatnya, menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan pengajaran hard science bertaraf internasional adalah asumsi yang keliru. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance- nya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogic.
Keempat, penyusun konsep ini nampaknya juga tidak paham bahwa tidak semua orang (terutama guru PNS!) bisa ‘dijadikan’ fasih berbahasa Inggris (apalagi mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris) meskipun orang tersebut diminta untuk tinggal dan hidup di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Sebagai ilustrasi, bahkan masih banyak guru kita di berbagai daerah yang belum mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih dalam mengajar! Sebagian dari guru kita di tanah air ini masih menggunakan bahasa daerahnya dalam mengajar meski tinggal dan hidup di lingkungan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mungkin ‘menyulap’ para guru hard science agar dapat fasih berbahasa Inggris (apalagi memperoleh nilai TOEFL>500 seperti persyaratan dalam buku Panduan Penyelenggaran Rintisan SBI tersebut) meski mereka dikursuskan di sekolah bahasa Inggris terbaik.
Kelima, dengan penekanan pada penggunaan bahasa Inggris sebagai medium of instruction di kelas oleh guru-guru yang baik kemampuan penguasaan materi, paedagogi, apalagi masih struggling in English jelas akan membuat proses KBM menjadi kacau balau. Program ini jelas merupakan eksperimen yang beresiko tinggi yang belum pernah diteliti dan dikaji secara mendalam dampaknya tapi sudah dilakukan di ratusan sekolah yang sebetulnya merupakan sekolah-sekolah berstandar “A”. Tidak perlu terlalu cerdas untuk melihat betapa beresikonya program ini. Ratusan sekolah-sekolah berstatus Mandiri yang diikutkan program ini beresiko besar untuk mengalami kekacauan dalam proses KBM-nya. Berharap target yang tinggi dari guru yang tidak kompeten (atau kompetensinya merosot karena harus menggunakan bahasa asing) adalah kesalahan yang sangat fatal. Resiko kegagalannya sangat besar untuk ditanggung. Program SBI ini bakal menghancurkan best practices dalam proses KBM yang selama ini telah dimiliki oleh sekolah-sekolah Mandiri yang dianggap telah mencapai standar SNP tersebut.
Keenam, kritik paling mendasar barangkali adalah kesalahan asumsi dari penggagas sekolah ini bahwa Sekolah BERTARAF internasional itu harus diajarkan dalam bhs asing (Inggris khususnya) dengan menggunakan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD . Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia, dan lain-lain tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar jika ingin menjadikan sekolah mereka BERTARAF internasional. Sekolah kita pun sebenarnya tidak perlu harus mengajarkan materi hard science dalam bahasa Inggris supaya dapat dianggap bertaraf internasional. Kurikulumnyalah yang harus bertaraf  internasional atau dalam kata lain tidak dibawah kualitas kurikulum negara lain yang sudah maju. Jadi fokus kita adalah pada penguatan kurikulumnya.
Penguatan kemampuan berbahasa Inggris bertaraf internasional bisa dilakukan secara simultan dengan memberi pelatihan terus menerus kepada guru-guru bahasa Inggris yang mempunyai beban untuk meingkatkan kompetensi siswa dalam berbahasa Inggris. Selama ini siswa-siswa kita yang melanjutkan pendidikannya di luar negeri tidak pernah diminta untuk mempunyai persyaratan berstandar Cambridge, umpamanya. Jika mereka memiliki tingkat penguasaan yang tinggi dalam bidang studi dan mereka mampu memiliki kompetensi berbahasa Inggris yang baik maka mereka selalu bisa masuk ke perti di luar negeri. Bukankah selama ini mereka tidak pernah ditest masuk dengan menggunakan materi Matematika, Fisika, kimia, Biologi, dan lain-lain dalam bhs Inggris? Lantas mengapa mereka harus dilatih sejak awal untuk memahami materi bidang studi tersebut dalam bahasa Inggris (oleh guru yang tidak memiliki kompetensi memadai untuk itu)?
Cara yang lebih mudah sebenarnya adalah mengadopsi GCSE sebagai ujian bagi siswa-yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri tanpa harus mengorbankan begitu banyak sistem yang telah berlaku. Penekanan pada penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah tanpa itu maka sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional. Sebagian besar sekolah hebat di Amerika masih menggunakan kapur dan tidak mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka. Program ini nampaknya lebih mementingkan alat ketimbang proses. Padahal pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat.
Ketujuh, kesalahan mendasar lain adalah asumsi dan anggapan bahwa Sekolah Bertaraf Internasional hanyalah bagi siswa yang memiliki standar kecerdasan tertentu. Kurikulum yang bertaraf internasional dianggap tidak bisa diterapkan pada siswa yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata. Ini juga mengasumsikan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan) hanyalah bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan ‘rata-rata’. Ini adalah asumsi yang berbahaya dan secara tidak sadar telah ‘mengkhianati’ SNP itu sendiri karena menganggapnya sebagai ‘tidak layak’ bagi siswa-siswa cerdas Indonesia. Lantas untuk apa Standar Nasional Pendidikan jika dianggap belum mampu untuk memberikan kualitas yang setara dengan standar internasional? Ini juga paham yang diskriminatif dan eksklusif dalam pendidikan dan menganggap kecerdasan intelektual yang menonjol merupakan segala-galanya sehingga perlu mendapat perhatian dan fasilitas lebih daripada siswa yang tidak memilikinya.
Kedelapan, dengan program SBI ini Depdiknas memberikan persepsi yang keliru kepada para orang tua, siswa, dan masyarakat bahwa sekolah-sekolah yang ditunjuknya menjadi sekolah rintisan tersebut adalah sekolah yang ‘akan’ menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai atau bahkan akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada. Dan ini adalah sama dengan menanam “bom waktu’. Banyak sekolah yang jelas-jelas hendak memberi persepsi kepada masyarakat bahwa sekolah mereka telah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dan bukan sekedar ‘rintisan’ lagi. Suatu usaha pembodohan dan pengelabuan dari sekolah kepada masyarakat. Padahal Dirjen Mandikdasmen, Prof Suyanto, secara terang-terangan menyatakan bahwa belum ada program SBI (yang ada baru Rintisan)
Kembali pada pertanyaan filosofis, apa sebenarnya yang hendak dituju dengan program SBI ini? Jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan maka mengadopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawabannya. Bahkan sebenarnya menggerakkan semua potensi terbaik pendidikan di Indonesia untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Di negara-negara maju seperti Singapura, Australia dan New Zealand, pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar ataupun internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam kurikulum sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus International School dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi sistem pendidikan lain. Sedangkan semua sekolah harus menggunakan kurikulum dan sistem pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah karena mereka berpendapat bahwa pendidikan dirancang untuk mempersiapkan siswa untuk berbakti kepada negara dan berpedoman atau berkiblat pada sistem yang tidak dirancang untuk kepentingan bangsa dan negara adalah bertentangan dengan filosofi pendidikan mereka.
Mengingat betapa banyaknya kelemahan yang ada dari program prestisius ini dan besarnya resiko gagal yang dihadapinya, sudah selayaknya Depdiknas mengevaluasi diri dengan lebih membuka diri terhadap masukan dari masyarakat. Lebih baik mundur satu langkah ketimbang harus mengalami kegagalan total yang sudah nampak di depan mata tersebut. Mungkin formulasi kebijakan di Depdiknas (dalam hal seperti SBI ini) perlu melalui proses konsultasi pada publik atau stakeholders berkali-kali dan studi yang lebih mendalam dengan melibatkan lebih banyak publik, dan tidak sekedar memenuhi syarat minimal birokrasi. Perlu diingat bahwa masyarakatlah yang membiayai dan yang akan menjadi end-user dari produk ini.
Lantas bagaimana dengan UU Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang telah ‘terlanjur’ dipersepsikan harus mengadopsi kurikulum Cambridge dan IB tersebut? Ada dua alternatif untuk itu. Pertama, pasal tersebut perlu diamandemen dan disesuaikan bunyinya agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru, atau, kedua, merumuskan kembali apa yang disebut dengan ‘satuan pendidikan bertaraf internasional’ tersebut. Apa yang telah dilakukan oleh Depdiknas dengan program SBI ini harus dihentikan dan dirumuskan ulang. Jika tidak maka arah pendidikan nasional kita akan semakin melenceng dari tujuan dan amanah bangsa dan negara kita.

BAB IV
KESIMPULAN

1.   Sekolah/Madrasah Bertaraf Indonesia merupakan kebutuhan masyarakat yang harus difasilitasi oleh pemerintah.
2.     Pendidikan sebagai salah satu pranata kehidupan social yang kuat dan berwibawa, serta memiliki peranan yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan peradaban bangsa Indonesia.
3.  Pendidikan sangat berkontribusi signifikan dalam melahirkan masyarakat yang terpelajar dan berakhlak mulia.
4.     Pendidikan merupakan pilar utama untuk membangun  masyarakat sejahtera.
5. Pendidikan merupakan media untuk mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan berpengetahuan sehingga dapat menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional.
6.   Arus globalisasi dan modernisasi maka bangsa Indonesia tidak boleh mengasingkan diri dalam percaturan pergaulan percaturan Internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Darmin Vinsensius. 2010. Siapa Yang Paling Ngotot Internasionalisasi. http://kabepiilampungcom.wordpress.com/category/rsbi-sbi/. Diakses pada tanggal 23 November 2010.
Depdiknas. (2007). Pedoman Penjamin Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional Pada   Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Balitbang. Depdiknas Jakarta.
Depdiknas, (2009),Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI, Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Sisdiknas, Jakarta
Satria Darma. 2010. SBI QUO VADIS. http://kabepiilampungcom.wordpress.com/category/rsbi-sbi/. Diakses pada tanggal 23 November 2010.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang – Undang Dasar 1945 Republik Indonesia yang sudah diamandemen serta penjelasannya serta Butir – butir Nilai Pancasila , ( 2002), Bintang Indonesi, Jakarta.






Tidak ada komentar: