BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kebutuhan
masyarakat Indonesia yang semakin tinggi terhadap pendidikan
yang bermutu menunjukkan
bahwa pendidikan telah menjadi salah satu pranata kehidupan social yang kuat
dan berwibawa, serta memiliki peranan yang sangat penting dan strategis dalam
pembangunan peradaban bangsa Indonesia. Pendidikan telah memberi kontribusi yang cukup signifikan dalam membangun
peradaban bangsa Indonesia dari satu masa ke masa lainnya. Berbagai kajian
dan pengalaman menunjukan
bahwa pendidikan memberi manfaat yang luas bagi kehidupan suatu bangsa.
Pendidikan memberi manfaaat yang luas bagi kehidupan suatu bangsa.
Pendidikan merupakan pilar
utama dalam membentuk karakter bangsa, pendidikan juga mampu melahirkan
masyarakat terpelajar serta melalui pendidikan pula kesadaran masyarakat yang
toleran dan hidup harmoni dalam kemajemukan.
Di sisi lain,
pendidikan dapat
memberikan sumbangan nyata terhadap pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan
tenaga kerja yang berpengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keahlian
serta keterampilan. Tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan yang
memadai akan memberi kontribusi pada peningkatan produktifitas nasional. Salah satu upaya
pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan nasional yaitu
ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan(SNP). Pengembangan sekolah/madrasah bertaraf Internasional
dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan daya saing bangsa Indonesia di
forum internasional.
B.
Landasan
kebijakan
Adapun landasan
kebijakan sekolah/madrasah bertaraf Internasional adalah:
1. Undang–undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 50 menyatakan
bahwa :
a.
Ayat
(1); Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawan
menteri
b. Ayat
(2); Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan
untuk menjamin mutu pendidikan nasional.
c. Ayat(3);
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang–kurangnya satu
sekolah pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi salah satu
sekolah yang bertaraf internasional.
2. Undang–undang
Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangun Jangka Panjang 2005–2025 mengatur
perencanaan pembangunan Jangka Panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
3.
Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam Pasal
61 Ayat (1) menyatakan bahwa; Pemerintah bersama–sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang–kurangnya
satu sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang–kurangnya satu sekolah
pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi sekolah bertaraf
internasional.
4. Rencana
Strategis Menteri Pendidikan Nasional tahun
2005–2009 menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa
perlu dikembangkan sekolah bertaraf Internasional
pada tingkat kabupaten/kota
melalui kerjasama yang konsisten antara pemerintah dengan pemerintah
kabupaten/kota yang bersangkutan, utnuk mengembangkan SD,SMP,SMA dan SMK yang
bertaraf internasional sebanyak 112 unit seluruh Indonesia.
C.
Tujuan
1.
Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Landasan
Kependidikan
2.
Melatih
mahasiswa membuka wacana mengenai Sekolah Bertaraf Internasional.
3. Diharapkan
pemikiran kritis, inovatif serta ide-ide cemerlang dari mahasiswa mengenai
Sekolah Bertaraf Internasional ( SBI).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsepsi
Sekolah Bertaraf Internasional
Sekolah/Madrasah
Bertaraf
Internasional merupakan
“Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar
Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah
satu Negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu
dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di
forum internasional”.
Esensi dari
rumusan konsepsi Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional
tersebut dijabarkan sebagai
berikut:
1. Sekolah/Madrasah
yang sudah memenuhi Standar Nasional Pendidikan yaitu Sekolah/Madrasah yang
sudah melaksanakan standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan,
standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pembiayaan, dan standar
penilaian.
2.
Diperkaya
dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota
OECD dan atau Negara maju
lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan dapat
dilaksanakan melalui dua cara sebagai berikut:
a.
Adaptasi
yaitu penyesuaian unsur–unsur tertentu yang sudah ada dalam Standar Nasional
Pendidikan dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara OECD
dan/atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu
dalam bidang pendidikan.
b.
Adopsi
yaitu penambahan unsur–unsur tertentu yang belum ada dalam standar nasional
Pendidikan dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara anggota OECD dan/atau Negara maju
lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan.
c. OECD
yang berlokasi di Paris Perancis merupakan organisasi internasional untuk
membantu pemerintahan Negara–Negara anggotanya menghadapi tantangan globalisasi
ekonomi.
d. Negara
maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan adalah Negara–Negara maju yang tidak termasuk dalam keanggotaann
OECD, tetapi keunggulan pendidikannya bisa diadaptasi dan/atau diadopsi.
3. Daya
saing di forum internasional memiliki makna bahwa siswa dan lulusan
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional antara lain dapat:
a. Melanjutkan
pendidikan pada satuan pendidikan bertaraf internasional, baik di dalam maupun
di luar negeri.
b. Mengikuti
sertifikasi bertaraf internasional yang diselenggarakan oleh salah satu Negara
OECD dan/atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam
bidang pendidikan.
c. Meraih
medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains,
matematika,
teknologi,
seni, dan olah raga.
d. Bekerja
pada lembaga–lembaga internasional dan/atau Negara–Negara lainnya.
B.
Karakteristik Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional( SBI)
Sekolah/Madrasah
Bertaraf Internasional memiliki karakteristik keunggulan yang ditunjukkan
dengan pengakuan internasional terhadap proses dan hasil atau keluaran
pendidikan yang berkualitas dan teruji dalam berbagai aspek.
Pengakuan internasional
ditandai dengan penggunaan standar pendidikan internasional dan dibuktikan
dengan hasil sertifikasi berpredikat baik dari salah satu Negara anggota OECD
dan/atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang
pendidikan.
C.
Profil
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional
( SBI)
1. Akreditasi:
berakreditasi minimal A dari Badan akreditasi Nasional
(BAN-S/M), dan Berakreditasi tambahan dari Badan akreditasi sekolah pada salah
satu Negara anggota OECD dan/atau Negara maju lainnya yang
mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan.
2. Kurikulum,
menerapkan KTSP, dan menerapkan administrasi akademik berbasis Teknologi Informatika
dan komunikasi (TIK), sehingga mudah diakses oleh siapapun, memenuhi standar
isi, muatan mata pelajaran setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang
sama pada Sekolah unggul dari salah satu OECD dan/atau
Negara maju lainnya yang
mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan,
memenuhi standar kompetensi
Lulusan dan menerapkan standar kelulusan dari Sekolah yang lebih tinggi dari SKL.
3. Proses
pembelajaran, Proses pembelajaran pada semua mata pelajaran
menjadi teladan bagi Sekolah/Madrasah lainnya dan diperkaya dengan model proses
pembelajaran sekolah unggul dari Negara anggota OECD dan/atau Negara maju
lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, menerapkan
pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran, bilingual.
4. Penilaian,
memenuhi Standar Penilaian dan diperkaya dengan penilaian sekolah unggul dari
Negara anggota OECD dan/atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan
tertentu dalam bidang pendidikan.
5. Pendidik,
memenuhi standar pendidik yaitu semua guru mampu memfasilitasi pembelajaraan berbasis TIK, kelompok sains,
matematika, dan inti kejuruan mampu mengampu pembelajaran berbahasa Inggris,
Minimal 10% guru berpendidikan S2/S3 dari Perguruan Tinggi yang Prodinya
berakreditasi A untuk SD/MI, 20 % guru berpendidikan S2/S3 dari Perguruan
Tinggi yang Prodinya berakreditasi A untuk SMP/MTs,
30% guru berpendidikan S2/S3
dari Perguruan Tinggi yang Prodinya berakreditasi A untuk SMA/SMK/MA/MAK.
6. Tenaga
Kependidikan, yaitu memenuhi Standar Tenaga kependidikan, Kepala Sekolah minimal S2 dari Perguruan Tinggi yang Prodinya
berakreditasi A dan telah menempuh pelatihan Kepala Sekolah/Madrasah dari
lembaga pelatihan Kepala Sekolah yang diakui oleh pemerintah, Kepala Sekolah mampu berbahasa Inggris secara aktif, serta
bervisi internasional, mampu membangun jejaringan internasional, memiliki
manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan entrepreneurial yang kuat.
7.
Sarana
dan Prasarana, memenuhi Standar Sarana dan Prasarana, setiap ruang kelas dilengkapi dengan sarana
pembelajaran berbasis TIK, perpustakaan dilengkapi dengan sarana digital yang
member akses ke
sumber pembelajaran berbasis TIK diseluruh dunia, ruang multimedia, fasilitas
olah raga, klinik dan sebagainya.
8.
Pengelolaan,
memenuhi Standar Pengelolaan yaitu meraih sertifikat ISO 9001 versi 2000 atau
sesudahnya dan ISO 14000, merupakan sekolah multi–cultural, menjalin
hubungan “sister school” dengan sekolah di luar negeri, meraih medali
tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi,
seni, dan olah raga.
9. Pembiayaan,
memenuhi Standar Pembiayaan, menerapkan model pembiayaan yang efisien untuk mencapai
berbagai target indikator kunci tambahan.
D.
Penyelenggaraan
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional
(SBI)
1.
Model
Penyelenggaraan
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dapat
diselenggarakan dengan menggunakan model–model penyelenggaraan yang dianggap paling sesuai atau cocok dengan kebutuhan,
kekhasan, keunikan, dan
kemampuan yang dimiliki oleh setiap Sekolah/Madrasah, baik untuk penyelengaaraan
Sekolah/Madrasah yang baru maupun pengembangan Sekolah/Madrasah yang sudah ada sebelumnya.
Model–model tersebut sebagai
berikut:
a. Model
“terpadu–satu sistem
atau satu atap-satu sistem”, yaitu penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Bertaraf
Internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di dalam satu lokasi
dengan menggunakan sistem pengelolaan pendidikan yang sama.
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah ini dapat dipimpin oleh seorang direktur/ Manager yang
mengkoordinasikan tiga Kepala Sekolah/Madrasah yang memimpin setiap satuan
Pendidikan dasar dan menengah.
b. Model “Terpisah–Satu sistem atau Tidak Satu Atap–Satu Sistem”
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional yang diselenggarakan dengan Model
“Terpisah–Satu sistem atau Tidak Satu Atap–Satu Sistem” yaitu
penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah di dalam lokasi yang berbeda atau terpisah dengan
menggunakan sistem
pengelolaan pendidikan yang sama. Sekolah/Madrasah
Bertaraf Internasional yang diselelnggarakaan dengan model ini dapat dipimpin
oleh seorang direktur/Manager yang mengkoordinasikan tiga Kepala
Sekolah/Madrasah yang memimpin setiap satuan Pendidikan dasar dan menengah yang
berada pada lokasi berbeda.
c. Model”Terpisah–Beda
Sistem atau Tidak satu Atap–Beda Sistem” Sekolah/Madrasah Bertaraf
Internasional yang diselenggarakan dengan Model”Terpisah–Beda
Sistem atau Tidak satu Atap–Beda
Sistem ”yaitu penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Bertaraf
Internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di lokasi yang
berbeda. Penyelenggara model ini disarankan hanya fase rintisan
penyelenggaraan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional yang dalam kurun waktu
tertentu harus ditingkatkan secara bertahap ke Model
“Terpisah–Satu sistem atau Tidak Satu Atap – Satu Sistem”.
d.
Model
”entry – exit”
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional yang
diselenggarakan dengan model ”Entry–Exit” yaitu penyelenggaraan Sekolah/Madrasah
Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan cara
mengelola kelas–kelas regular dan kelas–kelas bertaraf internasional.
Peserta didik pada kelas–kelas
bertaraf internasional yang oleh karena berbagai alasan tertentu tidak bisa
melanjutkan di kelas bertaraf internasional bisa pindah ke kelas–kelas regular.
Begitu juga sebaliknya peserta
didik pada kelas–kelas reguler bisa pindah ke kelas-kelas bertaraf internasional, jika dipandang memenuhi
syarat.
BAB III
ULASAN
RSBI muncul dari globalisasi yang ditelan
secara mentah-mentah tanpa dikritisi terlebih dahulu. Lima tahun sudah
diselenggarakan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) jenjang dasar
dan menengah, umum dan kejuruan. Sudah diperoleh sejumlah sekolah bertaraf
internasional (SBI), sudah pula ada yang didrop dari status RSBI ke status
sekolah reguler. Kata Menteri
Pendidikan Nasional, RSBI ini merupakan suatu upaya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Ide sekolah rintisan ini
pun kemudian dibuatkan payung hukumnya, yakni dalam Bab XIV Pasal 50 Ayat 3
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dalam UU disebutkan bahwa
kabupaten atau kota harus mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan untuk menjadi sekolah bertaraf internasional.
Menurut Darwin Vinsensius, ada tiga pendekatan Internasional yang digunakan dalam dunia
pendidikan. Pertama, unilateral, yaitu negara mengirimkan murid berprestasinya
untuk menempuh studi di negara lain. Kedua, bilateral, yaitu untuk mengirimkan
murid berprestasi ke negara lain ada kesepakatan terlebih dahulu di antara dua
negara bersangkutan. Ketiga, multilateral, yaitu seperti negara-negara yang
tergabung dalam OECD (Organization For Economic Cooperation and Development),
yaitu negara-negara terkaya di seluruh dunia antara lain Amerika Serikat,
Australia, serta Perancis. “Awalnya, OECD hanya mengurus tentang ekonomi,
tetapi sekarang sudah menyentuh urusan pendidikan,
Lebih lanjut Darmin
Vinsensius mengatakan, ada tiga ciri-ciri dari sekolah
berstatus RSBI. Pertama, kurikulumnya yang exportation, adaptasion,
integration, dan creation. Padahal seharusnya RSBI itu hanya
integration dan creation.Tetapi
kenyataan yang ada RSBI di Indonesia malah lebih banyak
exportation dan adaptasion-nya. Ciri kedua dilihat dari siswanya, yang dikategorikan menjadi lebih
mobile atau berpindah-pindah negara dalam menempuh studi. Ketiga, dari gurunya, yang harus
bisa menggunakan bahasa Inggris. Ketiga ciri tersebut berlaku umum karena
merupakan hasil penelitian di seluruh dunia. Perbedaan mendasar RSBI dengan sekolah lain
terletak pada konsep pembelajarannya. Di RSBI, selain menuntaskan kurikulum
nasional, harus ditambah dengan membuka kurikulum internasional, seperti penggunaan
fasilitas belajar berbasis teknologi informasi, kelengkapan sarana dan
prasarana seperti ruangan ber AC, dan tentunya bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar. Seluruh fasilitas pendidikan yang serba plus-plus tentu saja harus
ditebus dengan harga mahal. Walau begitu, pemerintah berkeras tak mau
menggunakan kamus mahal dalam pembiayaan RSBI.
Kenyataan yang ada RSBI memunculkan jurang antara yang kaya dan miskin. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan bangsa
Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 45 yang mengamanatkan
mencerdaskan bangsa. Mencerdaskan bangsa bukan untuk segelintir warga yang
berkemampuan financial melainkan untuk sebanyak mungkin warga bangsa. Dengan semakin
banyak RSBI, akan semakin berkurang jumlah sekolah negeri yang biayanya dapat
terjangkau masyarakat miskin. Sekolah gratis pun semakin di awang-awang.
Meskipun selama ini RSBI telah
dilaksanakan dengan biaya yang cukup mahal ternyata juga masih ada kelemahan.
Menurut Satria Darma ada beberapa kelemahan mendasar dalam program SBI yaitu:
Pertama, program ini nampaknya tidak
didahului dengan riset yang mendalam dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan
bahwa SBI = SNP + X, maka sebenarnya konsep SBI ini tidak memiliki bentuk dan
arah yang jelas. Tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan,
diperdalam, dan lain-lain. Mislanya jika konsep ini secara jelas menyatakan mengadopsi atau mengadaptasi
standar pendidikan internasional seperti Cambridge IGCSE atau IB, maka akan
lebih jelas kemana arah dari program ini. Dengan memasukkan TOEFL/TOEIC, ISO
dan UNESCO sebagai “X” juga menunjukkan bahwa Dikdasmen juga tidak begitu paham
dengan apa yang ia maksud dengan “X” tersebut. Atau mungkin ini sebuah strategi
agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur?
Sekolah-sekolah yang mengadopsi atau
berkiblat pada standar internasional seperti Cambridge atau International
Baccalaureate (IB) adalah sekolah-sekolah yang memang dirancang untuk
mempersiapkan siswa-siswa mereka agar dapat melanjutkan ke luar negeri. Dengan
sistem kurikulum tersebut siswa mereka memang dipersiapkan untuk dapat belajar
di luar negeri. Mereka bahkan tidak perlu mengikuti Ujian Nasional karena
mereka memang tidak berencana untuk meneruskan pendidikan mereka di universitas
di Indonesia. Nah, dengan demikian, apakah sebenarnya yang hendak dituju dengan
program SBI ini? Jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas
pembelajaran dan output pendidikan maka mengadopsi IB ataupun mengikutsertakan
siswa dalam ujian Cambridge bukanlah jawabannya.
Ujian Cambridge diperuntukkan bagi siswa
yang ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Meski demikian nilai yang
tinggi dalam ujian Cambridge juga bukan jaminan bahwa siswa dapat diterima di
perguruan tinggi di luar negeri. Nilai ujian Cambridge hanya akan memudahkan
siswa untuk dapat diterima di perti Luar Negeri karena nilai ujian Cambridge diakui oleh
beberapa negara. Permasalahannya adalah berapa banyak dari siswa kita
sebenarnya yang ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri? Berapa
persenkah dari lulusan sekolah publik kita yang benar-benar ingin dan mampu,
baik secara finansial maupun intelektual, untuk melanjutkan studinya ke luar
negeri? Jika Depdiknas tidak memiliki data statistik tentang hal ini mengapa
tiba-tiba timbul kebijakan untuk mengubah sekolah-sekolah kita menjadi SBI yang
berkiblat pada Cambridge?
Bukankah ini suatu pengorbanan yang sangat
sia-sia yang bakal menelantarkan siswa-siswa lain yang tidak akan melanjutkan
pendidikannya ke luar negeri? Untuk apa kita mengerahkan seluruh energi dan
kapasitas kita membawa siswa menuju ke sistem Cambridge, jika sebenarnya tujuan
yang hendak dituju bukanlah kesana? Ini adalah contoh tujuan pendidikan yang
sangat misleading. Jelas sekali bahwa tidak mungkin sekolah harus mengikuti dua
kiblat, yaitu UNAS dan Cambridge, karena akan sangat menyulitkan bagi sekolah
maupun murid untuk mengikuti dua kiblat tersebut. Beberapa sekolah National
Plus yang selama ini memang dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut mengakui
bahwa sangat sulit bagi mereka untuk mengikuti dua kiblat tersebut sekaligus.
Kedua, Dikdasmen membuat rumusan 4 model
pembinaan SBI tersebut yaitu : (1) Model Sekolah Baru (Newly Developed), (2)
Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (Existing School), (3) Model
Terpadu, dan (4) Model Kemitraan. Padahal kalau dilihat sebenarnya hanya ada
dua model yaitu Model (1) Model Sekolah Baru dan Model (2) Model Sekolah yang
Telah Ada. Dua lainnya hanyalah teknis pelaksanaannya saja. Dari dua model
tersebut Dikdasmen sebenarnya hanya melakukan satu model rintisan yaitu Model
(2) Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (Existing School) dan tidak
memiliki atau berusaha untuk membuat model (1) Model Sekolah Baru. Tetapi buku Panduan Penyelenggaraan Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) yang dikeluarkan sebenarnya lebih mengacu pada
Model (1) padahal yang dikembangkan saat ini semua adalah Model (2). Jelas
bahwa sekolah yang ada tidak akan mungkin bisa memenuhi kriteria untuk menjadi
sekolah SBI karena acuan yang dikeluarkan sebenarnya ditujukan bagi pendirian
sekolah baru atau Model (1).
Sebagai contoh, jika
sekolah yang ada sekarang ini diminta untuk memiliki guru berkategori hard
science seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi (dan nantinya diharapkan
kategori soft science-nya juga menyusul) menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar, atau memiliki tanah dengan luas minimal 15.000 m, dan
lain-lain persyaratan seperti dalam buku Panduan, maka jelas itu tidak akan
mungkin dapat dipenuhi oleh sekolah yang ada. Ini
ibarat meminta kereta api untuk berjalan di jalan tol! Sebagai ilustrasi, sedangkan guru bahasa Inggris di sekolah-sekolah ‘favorit’
kita saja hanya sedikit yang memiliki TOEFL > 500, apalagi jika itu
dipersyaratkan bagi guru-guru mata pelajaran hard science. Maka itu jelas tidak mungkin. Ini berarti Dikdasmen tidak mampu untuk
menerjemahkan model yang ditetapkannya sendiri sehingga membuat Dikdasmen
beresiko gagal total dalam mencapai tujuannya.
Ketiga, konsep ini berangkat dari asumsi
yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai
TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam
pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL> 500. Padahal tidak
ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL
yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan
gagasan dalam bahasa Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai TOEFL<500>
500. Singkatnya, menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan pengajaran
hard science bertaraf internasional adalah asumsi yang keliru. TOEFL lebih
cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah
bilingual adalah performance- nya, dan performance ini banyak dipengaruhi
faktor-faktor non-linguistic. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogic.
Keempat, penyusun konsep ini nampaknya juga
tidak paham bahwa tidak semua orang (terutama guru PNS!) bisa ‘dijadikan’ fasih
berbahasa Inggris (apalagi mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris) meskipun
orang tersebut diminta untuk tinggal dan hidup di negara yang menggunakan
bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Sebagai ilustrasi, bahkan masih
banyak guru kita di berbagai daerah yang belum mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan
fasih dalam mengajar! Sebagian dari guru kita di tanah air ini masih
menggunakan bahasa daerahnya dalam mengajar meski tinggal dan hidup di
lingkungan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak mungkin ‘menyulap’ para guru hard science agar dapat
fasih berbahasa Inggris (apalagi memperoleh nilai TOEFL>500 seperti
persyaratan dalam buku Panduan Penyelenggaran Rintisan SBI tersebut) meski
mereka dikursuskan di sekolah bahasa Inggris terbaik.
Kelima, dengan penekanan pada penggunaan
bahasa Inggris sebagai medium of
instruction di kelas oleh guru-guru yang baik kemampuan penguasaan materi,
paedagogi,
apalagi masih struggling in English
jelas akan membuat proses KBM menjadi kacau balau. Program ini jelas merupakan
eksperimen yang beresiko tinggi yang belum pernah diteliti dan dikaji secara
mendalam dampaknya tapi sudah dilakukan di ratusan sekolah yang sebetulnya
merupakan sekolah-sekolah berstandar “A”. Tidak perlu terlalu cerdas untuk
melihat betapa beresikonya program ini. Ratusan sekolah-sekolah berstatus
Mandiri yang diikutkan program ini beresiko besar untuk mengalami kekacauan
dalam proses KBM-nya. Berharap target yang tinggi dari guru yang tidak kompeten
(atau kompetensinya merosot karena harus menggunakan bahasa asing) adalah
kesalahan yang sangat fatal. Resiko kegagalannya sangat besar untuk ditanggung.
Program SBI ini bakal menghancurkan best practices dalam proses KBM yang selama
ini telah dimiliki oleh sekolah-sekolah Mandiri yang dianggap telah mencapai
standar SNP tersebut.
Keenam, kritik paling mendasar barangkali
adalah kesalahan asumsi dari penggagas sekolah ini bahwa Sekolah BERTARAF
internasional itu harus diajarkan dalam bhs asing (Inggris khususnya) dengan
menggunakan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD
. Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman,
Korea, Italia, dan lain-lain tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar
jika ingin menjadikan sekolah mereka BERTARAF internasional. Sekolah kita
pun sebenarnya tidak perlu harus mengajarkan materi hard science dalam bahasa Inggris supaya dapat dianggap bertaraf internasional.
Kurikulumnyalah yang harus bertaraf internasional atau dalam kata lain tidak
dibawah kualitas kurikulum negara lain yang sudah maju. Jadi fokus kita adalah
pada penguatan kurikulumnya.
Penguatan kemampuan berbahasa Inggris
bertaraf internasional bisa dilakukan secara simultan dengan memberi pelatihan
terus menerus kepada guru-guru bahasa Inggris yang mempunyai beban untuk meingkatkan kompetensi siswa
dalam berbahasa Inggris. Selama ini siswa-siswa kita yang melanjutkan
pendidikannya di luar negeri tidak pernah diminta untuk mempunyai persyaratan
berstandar Cambridge, umpamanya. Jika mereka memiliki tingkat penguasaan yang
tinggi dalam bidang studi dan mereka mampu memiliki kompetensi berbahasa
Inggris yang baik maka mereka selalu bisa masuk ke perti di luar negeri.
Bukankah selama ini mereka tidak pernah ditest masuk dengan menggunakan materi
Matematika, Fisika, kimia, Biologi, dan
lain-lain dalam bhs Inggris? Lantas mengapa mereka
harus dilatih sejak awal untuk memahami materi bidang studi tersebut dalam bahasa Inggris (oleh guru
yang tidak memiliki kompetensi memadai untuk itu)?
Cara yang lebih mudah
sebenarnya adalah mengadopsi GCSE sebagai ujian bagi siswa-yang berkeinginan
untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri tanpa harus mengorbankan begitu
banyak sistem yang telah berlaku. Penekanan pada penggunaan piranti media
pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan
seolah tanpa itu maka sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional. Sebagian besar sekolah hebat di Amerika masih menggunakan kapur dan
tidak mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD,
dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka. Program ini nampaknya
lebih mementingkan alat ketimbang proses. Padahal pendidikan adalah lebih ke
masalah proses ketimbang alat.
Ketujuh, kesalahan mendasar lain adalah asumsi
dan anggapan bahwa Sekolah Bertaraf Internasional hanyalah bagi siswa yang
memiliki standar kecerdasan tertentu. Kurikulum yang bertaraf internasional
dianggap tidak bisa diterapkan pada siswa yang memiliki tingkat kecerdasan
rata-rata. Ini juga mengasumsikan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan)
hanyalah bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan ‘rata-rata’. Ini adalah
asumsi yang berbahaya dan secara tidak sadar telah ‘mengkhianati’ SNP itu
sendiri karena menganggapnya sebagai ‘tidak layak’ bagi siswa-siswa cerdas
Indonesia. Lantas untuk apa Standar Nasional Pendidikan jika dianggap belum
mampu untuk memberikan kualitas yang setara dengan standar internasional? Ini
juga paham yang diskriminatif dan eksklusif dalam pendidikan dan menganggap
kecerdasan intelektual yang menonjol merupakan segala-galanya sehingga perlu
mendapat perhatian dan fasilitas lebih daripada siswa yang tidak memilikinya.
Kedelapan, dengan program SBI ini Depdiknas
memberikan persepsi yang keliru kepada para orang tua, siswa, dan masyarakat
bahwa sekolah-sekolah yang ditunjuknya menjadi sekolah rintisan tersebut adalah
sekolah yang ‘akan’ menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dengan berbagai
kelebihannya. Padahal kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai atau bahkan
akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada. Dan ini adalah sama dengan
menanam “bom waktu’. Banyak sekolah yang jelas-jelas hendak memberi persepsi
kepada masyarakat bahwa sekolah mereka telah menjadi Sekolah Bertaraf
Internasional dan bukan sekedar ‘rintisan’ lagi. Suatu usaha pembodohan dan
pengelabuan dari sekolah kepada masyarakat. Padahal Dirjen Mandikdasmen, Prof Suyanto, secara
terang-terangan menyatakan bahwa belum ada program SBI (yang ada baru Rintisan)
Kembali pada pertanyaan filosofis, apa
sebenarnya yang hendak dituju dengan program SBI ini? Jika yang hendak dituju
adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan maka mengadopsi
atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawabannya.
Bahkan sebenarnya menggerakkan semua potensi terbaik pendidikan di Indonesia
untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah sebuah pengkhianatan terhadap tujuan
pendidikan nasional itu sendiri. Di negara-negara maju seperti Singapura,
Australia dan New Zealand, pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar
ataupun internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam
kurikulum sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus
International School dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi sistem
pendidikan lain. Sedangkan semua sekolah harus menggunakan kurikulum dan sistem pendidikan yang
ditetapkan oleh pemerintah karena mereka berpendapat bahwa pendidikan dirancang
untuk mempersiapkan siswa untuk berbakti kepada negara dan berpedoman atau
berkiblat pada sistem yang tidak dirancang untuk kepentingan bangsa dan negara adalah
bertentangan dengan filosofi pendidikan mereka.
Mengingat betapa banyaknya kelemahan yang
ada dari program prestisius ini dan besarnya resiko gagal yang dihadapinya,
sudah selayaknya Depdiknas mengevaluasi diri dengan lebih membuka diri terhadap
masukan dari masyarakat. Lebih baik mundur satu langkah ketimbang harus
mengalami kegagalan total yang sudah nampak di depan mata tersebut. Mungkin
formulasi kebijakan di Depdiknas (dalam hal seperti SBI ini) perlu melalui
proses konsultasi pada publik atau stakeholders berkali-kali dan studi yang
lebih mendalam dengan melibatkan lebih banyak publik, dan tidak sekedar
memenuhi syarat minimal birokrasi. Perlu diingat bahwa masyarakatlah yang
membiayai dan yang akan menjadi end-user dari produk ini.
Lantas bagaimana dengan UU Sisdiknas pasal
50 ayat (3) yang telah ‘terlanjur’ dipersepsikan harus mengadopsi kurikulum
Cambridge dan IB tersebut? Ada dua alternatif untuk itu. Pertama, pasal
tersebut perlu diamandemen dan disesuaikan bunyinya agar tidak menimbulkan
persepsi yang keliru, atau, kedua, merumuskan kembali apa yang disebut dengan
‘satuan pendidikan bertaraf internasional’ tersebut. Apa yang telah dilakukan
oleh Depdiknas dengan program SBI ini harus dihentikan dan dirumuskan ulang.
Jika tidak maka arah pendidikan nasional kita akan semakin melenceng dari tujuan dan amanah bangsa dan
negara kita.
BAB
IV
KESIMPULAN
1. Sekolah/Madrasah
Bertaraf Indonesia merupakan kebutuhan masyarakat yang harus difasilitasi oleh
pemerintah.
2. Pendidikan
sebagai salah satu pranata kehidupan social yang kuat dan berwibawa, serta
memiliki peranan yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan peradaban
bangsa Indonesia.
3. Pendidikan
sangat berkontribusi signifikan dalam melahirkan masyarakat yang terpelajar
dan berakhlak mulia.
4. Pendidikan merupakan pilar utama untuk
membangun masyarakat sejahtera.
5. Pendidikan
merupakan media untuk mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan
berpengetahuan sehingga dapat menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional.
6. Arus
globalisasi dan modernisasi maka bangsa Indonesia tidak boleh mengasingkan diri
dalam percaturan pergaulan percaturan Internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Darmin
Vinsensius. 2010. Siapa Yang Paling
Ngotot Internasionalisasi. http://kabepiilampungcom.wordpress.com/category/rsbi-sbi/. Diakses pada tanggal 23 November 2010.
Depdiknas. (2007). Pedoman Penjamin Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf
Internasional Pada Jenjang Pendidikan
Dasar dan Menengah.
Balitbang. Depdiknas Jakarta.
Depdiknas,
(2009),Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI, Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Sisdiknas, Jakarta
Satria Darma. 2010. SBI QUO
VADIS. http://kabepiilampungcom.wordpress.com/category/rsbi-sbi/. Diakses pada tanggal 23 November 2010.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang – Undang
Dasar 1945 Republik Indonesia yang sudah diamandemen serta penjelasannya serta
Butir – butir Nilai Pancasila , ( 2002), Bintang Indonesi, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar