BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Bila kita kembali kepada hakekat pendidikan
maka pendidikan pada esensinya juga bertujuan untuk membantu manusia menemukan
hakekat kemanusiaannya. Proses humanisasi ini adalah proses pembebasan, yaitu pembebasan manusia dari belenggu
stuktur sosial, hegemoni
kekuasaan, cara pikir
yang salah, doktrin tertentu dan sebagainya. Namun dalam kehidupannya manusia membuat rule , aturan atau landasan hukum agar
pendidikan itu berjalan sistematis dan memenuhi harapan daripada tujuan pendidikan itu sendiri.
Dalam negara hukum seperti negara kita Indonesia ini, setiap tindakan pemerintahan baik dalam pengaturan maupun
dalam pelayanan harus berdasarkan atas hukum (peraturan perundang-undangan),
karena dalam negara – negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas
legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan
oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat
pemerintah tidak memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah
keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.
Negara Republik Indonesia mempunyai berbagai
peraturan perundang-undangan yang bertingkat, mulai dari UUD 1945,
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Ketetapan, keputusan, sampai peraturan
daerah. Kesemuanya mengandung hukum yang patut ditaati, dimana UUD 1945
merupakan hukum yang tertinggi, sementara peraturan perundang-undangan yang
lain harus tunduk pada
UUD 1945.
Meskipun demikian, tidak selalu setiap
tindakan pemerintah tersedia peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Dapat terjadi, dalam kondisi tertentu terutama ketika pemerintah harus
bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkret dalam masyarakat, terkadang peraturan
perundang-undangannya belum tersedia. Dalam kondisi seperti ini, kepada
pemerintah diberikan kebebasan bertindak (discresionare power) yaitu
melalui freies Ermessen, yang diartikan sebagai salah satu sarana yang
memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk
melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Freies
Ermessen merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare sate, akan
tetapi dalam kerangka negara hukum, freies Ermessen ini tidak dapat digunakan
tanpa batas.
Pendidikan sebagai salah satu bidang yang
ditangani oleh pemerintah, dalam pelaksanaannya tentunya harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Begitu luas cakupan bidang pendidikan membuat begitu banyaknya peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya. Oleh karena itu dalam makalah ini tidak dibahas semua
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pendidikan. Tulisan ini hanya
membatasi pada hal-hal yang kami anggap penting terutama yang membutuhkan
penjelasan lebih mendalam serta berbagai acuan untuk mengembangkan pendidikan.N
B. Permasalahan
Dari banyaknya peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pendidikan di negara
Indonesia,
dapat kita temukan permasalahan yang perlu dikupas dalam makalah ini, yaitu :
1. Pelaksanaan
/ penerapan dari peraturan perundangan tentang masalah pendidikan di Negara
kita.
2. Kajian Penerapan
peraturan perundang-undangan yang mengatur pendidikan di Negara kita tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan Yuridis / Hukum Pendidikan di Indonesia
Landasan yuridis
pendidikan Indonesia adalah seperangkat konsep peraturan
perundang-undangan yang menjadi titik tolak system pendidikan Indonesia,
yang menurut Undang-Undang Dasar 1945 meliputi, Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia, Ketetapan MPR, Undang-Undang Peraturan Pemerintah
pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan
pelaksanaan lainnya, seperti peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan
lain-lain.
Kata landasan dalam hukum berarti melandasi
atau mendasari atau titik tolak. Sementara itu kata hukum dapat dipandang
sebagai aturan baku yang patut ditaati. Landasan hukum pendidikan dapat
diartikan peraturan baku sebagai tempat berpijak atau titik tolak dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan pendidikan. Beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur pendidikan antara lain :
a.
Undang-Undang Dasar 1945 terutama pasal 31
b.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah
c.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
d.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen
e.
PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
f.
PP Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan
g.
PP Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru
h.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
i.
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
j.
Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaaan
Permendiknas Nomor 22 dan 23 Tahun 2006.
k.
Permendiknas Nomor 6 Tahun 2007 tentang Perubahan
Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas Nomor 22 dan 23
Tahun 2006.
l.
Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah.
B. Telaah Yuridis Peraturan perundang-undangan yang mengatur pendidikan
Dari sekian banyak peraturan perundangan yang
mengatur pendidikan di atas, akan penulis bahas beberapa peraturan perundangan
yang sering banyak dibicarakan dan menjadi polemik atau issu krusial di
masyarakat, antara lain adalah :
- Konsep Pelaksanaan Pendidikan di Indonesia
Menurut UU Nomor 20 Tahun
2003 Sistem Pendidikan Indonesia menganut konsep pendidikan sepanjang hayat,
yaitu pendidikan yang terus menerus dalam lahir sampai akhir hayat. Sehingga
pendidikan berlangsung tidak hanya di sekolah tapi juga di masyarakat dan
keluarga, dalam Undang-Undang Sisdiknas disebut pendidikan formal, nonformal,
dan informasl sebagaimana disebut dalam pasal 13 ayat (1). Konsep (rumusan)
pendidikan menurut UU Sisdiknas juga sesuai dengan fitrah manusia yaitu mengaku
adanya keberagamaan atau perbedaan individu sebagai peserta didik dengan
berbagai potensi yang dimiliki baik dalam aspek fisik, psikis maupun mental.
Pendidikan dirumuskan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi didiknya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (pasal 1 ayat 1)
Pasal 1 ayat (2) menyebutkan
bahwa pendidikan nasional berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman dengan tetap dalam
kerangka Pancasila dan UUD 1945. ini berarti teori-teori dan praktik-prakik
pendidikan yang diterapkan di Indonesia haruslah berakar pada nilai-nilai agama
dan kebudayaan nasional Indonesia. Tetapi dalam kenyataannya menunjukkan kita
belum mempunyai teori-teori pendidikan yang khas yang sesuai dengan budaya
bangsa. Menurut Pidarta (2007 : 43) teori-teori pendidikan beserta
praktik-prakinya yang dilakukan sampai saat ini sebagian besar berupa
teori-teori yang diimpor dari luar negeri, dimana para pendidik belajar
disitulah mereka menerima teori-teori pendidikan, dimana para penguasa pendidikan
mengadakan studi banding disitulah meneraka menerima teori-teori itu, kebudian
dibawa ke Indonesia, sebagian ditatarkan kepada para pendidik lainnya, tentu
sesudah direvisi penelitian-penelitian. Sebagian besar diterapkan begitu saja.
Karena teori itu banyak ragamnya, yang diterapkan pun diterapkan sesuai dengan
pandangan dan selera pendidik, terutama oleh yang mempunyai wewenang menentukan
kebijakan pendidikan.
Persoalan pendidikan dan
kebudayaan tidak dapat dipisahkan (Budiyono dalam Agus Salim, 2007:129). Selama
bertahaun-tahun sejak Indonesia merdeka, selalu dikenal nama departemen
pendidikan dan kebudayaan. Namun dalam perjalanannya, penggabungan kedua konsep
itu dalam satu urusan cenderung hanya sebatas penanaman. Dalam praktiknya kedua
konsep tersebut sering kali tidak "nyambung". Budiyono menambahkan,
bahwa pada era Orde Baru sektor pendidikan pernah menyederhanakan persoalan
pendidikan menjadi empat hal, yaitu pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan, peningkatan mutu lulusan, peningkatan efektivitas dan pencapaian
efisiensi. Bahkan keempatnya disederhanakan lagi dalam bentuk
indikator-indikator yang operasional, spesifik, jelas dan nyata, yang bersifat
positivisik. Dalam hal ini kemudian hilanglah konsep perpaduan problem
pendidikan sebagai problem budaya, yang lebih bersifat fenomenologis. Ukuran
keberhasilan pembangunan pendidikan juga ditunjukkan dari angka-angka yang
pasti, dikenal misalnya adanya angka partisipasi sekolah tingkat kelulusan,
jumlah gedung sekolah, rasio guru dan murid, angka putus sekolah. Sementara
sosial, tumbuh suburnya sikap individualistik serta melemahnya sikap
pluralistik budaya kurang mendapatkan perhatian yang seksama.
Dengan demikian tampaknya
bahwa teori pendidikan dan praktik pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya
memenuhi undang-undang pendidikan kita. Oleh karena itu, kondisi seperti ini
merupakan tantangan bagi para pendidik kita, terutama bagi para ahli pendidikan
untuk berupaya menemukan teori-teori pendidikan yang berakar pada nilai-nilai
agama dan kebudayaan bangsa Indonesia.
- Pendanaan Dalam Pendidikan
Amandemen UUD RI 1945 Pasal 31 ayat (2) menyebutkan
bahwa biaya untuk pendidikan dasar menjadi tanggung jawab pemerintah. Lebih
lanjut disebutkan pada pasal 31 ayat (4), bahwa negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Angka 20% tersebut tanpa memasukkan
anggaran gaji pegawai dan biaya pendidikan kedinasan sebagaimana disebutkan
dalam pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas tahun 2003. namun demikian dengan berbagai
alasan dan pertimbangan sampai saat ini APBN kita belum mencapai 20%. Di daerah
alokasi dana pendidikan yang masuk dalam APBD sangat bervariatif, tetapi
kebanyakan belum sampai 20% dari APBD. Yang memprihatinkan ada beberapa daerah
yang menggratiskan biaya pendidikan namun tidak diberangi dengan penambahan
anggaran di APBD dengan cukup. Menurut Sutjipto (2008:2) keadaan seperti ini
akan memperlebar disparitas mutu pendidikan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain
sehingga menjadi tempat persemaian yang subur dari masalah-masalah sosial di
masa depan. Pasal inilah yang sampai sekarang terus diperjuangkan oleh banyak pihak agar
pemerintah dan pemerintah daerah segera merealisasikannya.
Lebih lanjut tentang biaya
pendidikan diatur dalam PP Nomor 48 tahun 2008 tentang pendanaan Pendidikan.
Beberapa aturan pendaan pendidikan menurut PP Nomor 48 Tahun 2008 adalah
sebagai berikut :
a.
Biaya pendidikan meliputi biaya satuan pendidikan,
biaya penyelenggaraan dan / atau pengelolaan, dan biaya pribadi peserta didik
(masing-masing masih diperinci lagi, lihat pasal 3)
b.
Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 2 ayat 1)
c.
Pendanaan biaya pendidikan untuk pendidikan dasar baik
formal maupun non formal yang diselenggarakan oleh pemerintah (Selain biaya
pribadi peserta didik) menjadi tanggung jawab pemerintah
d.
Pendanaan biaya pendidikan dasar baik formal maupun non
formal yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (selain biaya pribadi
peserta didik) menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
e.
Tanggung jawab pendanaan sebagaimana yang dimaksud di
atas dilaksanakan sampai dengan terpenuhinya SNP (Standar Nasional Pendidikan)
f.
Pendanaan tambahan di atas biaya investasi yang
diperlukan untuk pemenuhan rencana pengembangan satuan atau program pendidikan
yang diselenggarakan Pemerintah menjadi bertaraf internasional dan / atau
berbasis keunggulan lokal dapat bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat, bantuan pihak asing yang tidak mengikat, dan / atau sumber lain
yang sah.
g.
Pendanaan biaya lahan satuan pendidikan yang didirikan
oleh masyarakat menjadi tanggung jawab penyelenggara satuan pendidikan yang
bersangkutan
h.
Pendanaan biaya investasi selain lahan satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggung jawab biaya
pada satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan masyarakat.
i.
Pemerintah, pemerintah daerah, pemangku kepentingan
pendidikan, dan pihak asing dapat membantu pendanaan biaya pada satuan
pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan masyarakat.
j.
Dana pendidikan satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh masyarakat dapat bersumber dari : bantuan penyelenggaraan pendidikan ybs,
pemerintah, pemerintah daerah, peserta didik dan/atau orang tua / wali,
pemangku kepentingan, pihak asing, sumber lain yang sah.
k.
Prinsip pengelolaan dana pendidikan : keadilan,
efisiensi, transparansi, akuntabilitas publik, dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
- Eksistensi dan Kompetensi Guru / Konselor
1.
Guru
Dalam Undang-undang guru dan dosen Dalam Undang-undang No. 14
Tahun 2005 memberikan pengertian tentang Guru adalah sebagai pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai dan mengevaluasi, peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Selanjutnya dalam Undang-undang
tersebut memuat hal-hal sebagai berikut yang berkaitan dengan Kompetensi Guru,
diantaranya : Kedudukan, Fungsi dan Tujuan, Prinsip Profesionalitas,
Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi. Pentingnya sertifikat dalam
profesionalitas guru di tekankan dalam pasal 11 (1) UUGD (undang-undang guru
dan dosen) menyebutkan bahwa sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang
telah memenuhi persyaratan, Jadi sertifikat diberikan setelah yang bersangkutan
diyakini memenuhi syarat kualifikasi pendidikan dan kompetensi sebagai agen
pembelajaran. diperlukan suatu mekanisme penilaian untuk membuktikan bahwa
seseorang telah memenuhi syarat tersebut.
Mekanisme itulah yang disebut sertifikasi,
yang seharusnya merupakan bentuk evaluasi komprehensif. Jika kualifikasi sudah
dapat dibuktikan dengan ijasah/sertifikat, maka penguasaan kompetensi sebagai
agen pembelajaran itulah yang dikembangkan dalam sertifikasi.dalam hal ini guru
mata pelajaran dapat menjalankan pofesinya dengan kompeten. Kompetensi guru dijelaskan
dalam pasal 8, dijabarkan pada pasal 10 dengan istilah kompetensi sebagai agen
pembelajaran yang mencakup kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik,
kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Kompetensi kepribadian mencakup
kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta dapat
menjadi teladan bagi peserta didik. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola
pembelajaran, tentu saja pembelajaran yang mendidik. Kompetensi profesional
adalah penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi
sosial adalah kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan
efisien dengan peserta didik, sesama guru,orangtua/wali dan masyarakat sekitar. Kompetensi kepribadian
diarahkan sebagai modal dasar guru, khususnya dalam berperilaku keseharian. Sub kompetensi dengan
menjadi teladan bagi peserta didik yang merupakan puncak dari sub-sub kompetensi
sebelumnya, karena seseorang akan menjadi teladan bagi anak didik, jika
memiliki kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa. Bahkan
penguasaan materi ajar akan merupakan prasyarat untuk menjadi guru yang berwibawa.
Dari uraian di atas
dapat terlihat jelas bahwa syarat menjadi guru menurut UUGD ada dua, yaitu
latar belakang pendidikan S1/D4 dengan mata pelajaran yang diajarkan dan
penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Sedangkan sertifikat pendidik
pada dasarnya merupakan pengakuan terhadap kepemilikan dua syarat tersebut.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 mengamanatkan bahwa dalam rangka peningkatan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan dalam hal ini guru diwajibkan untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan dari pendidikan nasional kita.
Persyaratan yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut meliputi persyaratan kualifikasi akademik guru dan persyaratan kemampuan seorang guru atau kompetensi yang dibuktikan dengan bentuk penguasaan pedagogik, profesi, kepribadian dan sosial.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 mengamanatkan bahwa dalam rangka peningkatan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan dalam hal ini guru diwajibkan untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan dari pendidikan nasional kita.
Persyaratan yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut meliputi persyaratan kualifikasi akademik guru dan persyaratan kemampuan seorang guru atau kompetensi yang dibuktikan dengan bentuk penguasaan pedagogik, profesi, kepribadian dan sosial.
2. Konselor
Secara yuridis
keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah
satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong,
tutor pamong belajar, widyaiswara, instruktur sebagaimana disebutkan dalam
pasal 1 ayat )6) m UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dan bila kita runut ke
belakang keberadaan konselor secara yuridis juga tercantum PP Nomor 28 Tahun
1990 pasal 27 ayat (2) dengan sebutan guru pembimbing. Akan tetapi dari
pasal-pasal tersebut, pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara
tenaga pendidik satu dengan yang lainnya itu, ternyata tidak dilanjutkan dengan
spesifikasi konteks
tugas dan ekspektasi kinerja yang cermat, karena yang diatur dalam pasal-pasal
berikutnya hanyalah konteks tugas dan ekspektasi kinerja dari mayoritas pendidik yang
menggunakan pembelajaran sebagai kontek layanan. Hal tersebut dapat dicermati
pada pasal 39 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang berbunyi : pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan,
serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi
pendidik pada perguruan tinggi.
Dengan spesifikasi kontek tugas dan
ekspektasi kinerja yang hanya merujuk kelompok pendidik yang menggunakan materi
pembelajaran, maka konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan
materi pembelajaran sebagai konteks layanan sehingga merupakan sosok layanan
ahli yang unik yang berbeda dari sosok layanan ahli keguruan meskipun sama-sama
bertugas dalam setting pendidikan, tidak ditemukan pengaturannya dalam UU Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Keberadaan konselor juga disebut-sebut
kembali pada penjelasan pasal 28 beserta penjelasannya PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar nasional Pendidikan
- Desentralisasi Pendidikan
Sentralisasi pengelolaan
pendidikan nasional selama Indonesia merdeka, ternyata telah menempatkan
Indonesia dalam posisi sebagai negara yang jauh tertinggal dibanding dengan
negara-negara lain di dunia. Hal ini telah mendorong lahirnya semangat baru dan
visi yang lebih demokratis dan lebih sesentralistis dalam pengelolaannya, sehingga
dapat mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan potensi dirinya,
potensi lingkungan terdekatnya, dan potensi yang lebih luas. Dengan semangat
demokratisasi, desentralisasi dan globalisasi, maka dalam Undang-Undang
Sisdiknas yang disahkan tanggal 11 Juni 2003 terdapat banyak pasal yang menggandengkan
kata pemerintah daerah, yang konotasinya adalah berbagai kebijakan dalam
pembangunan pendidikan hendaknya selalu mengawinkan kepentingan nasional dan
kepentingan lokal daerah sehingga kualitas pendidikan yang diharapkan dapat
meningkatkan daya saing peserta didik, dilaksanakan secara efisien dan efektif.
Mulai dari hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin
terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, sampai hak regulasi dalam
mengatur sistem pendidikan nasional.
Secara singkat dapat
disebutkan, misalnya dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 10 disebutkan bahwa
pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengawasi penyelenggaraan
pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 34
ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut
biaya. Pasal 44 ayat (1) disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina
dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Ayat (3) pemerintah dan
pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat. Selanjutnya pada Pasal 49 ayat (1) disebutkan dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari
APBN pada sektor dari pemerintah kepada 20 persen dari APBD. Ayat (4) dna
pendidikan dari pemerintah kepada pemerintah provinsi / kabupaten / kota
diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Sebenarnya masih banyak
pasal yang menjelaskan peranan pemerintah dan pemerintah daerah, namun dari
beberapa pasal yang dijelaskan di atas, kiranya cukup menggambarkan hak dan
kewajiban pemerintah maupun pemerintah daerah dalam sistem pendidikan nasional.
- Ujian Nasional
Evaluasi (penilaian) dalam
dunia pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu penilaian
internal dan penilaian eksternal. Penilaian internal dilakukan oleh guru, untuk
menilai efektivitas proses pembelajaran dan untuk menilai dan memperbaiki
tingkat pencapaian hasil pembelajaran. Penilaian yang dilakukan oleh guru
sering disebut penilaian kelas (classroom assessment). Penilaian eksternal,
dilakukan oleh lembaga mandiri, pada umumnya untuk menilai pencapaian hasil
pembelajaran dengan menggunakan standar tertentu, untuk memperoleh pengakuan (recognition)
dan pertanggungjawaban (accountability) secara lebih luas. Kedua jenis
penilaian ini sama pentingnya dalam dunia pendidikan, satu sama lain salaing
melengkapi (complementary), tidak bisa saling menggantikan (substitute).
Ujian nasional merupakan
salah satu penilaian eksternal yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk
mengumpulkan data pencapaian prestasi belajar peserta didik, apakah prestasi
belajar peserta didik telah mencapai Standar Kompetensi Lulusan (SKL) secara
nasional. Tanpa Ujian Nasional, kita tidak mungkin membandingkan pencapaian SKL
antara sekolah/madrasah secara obyektif, karena penilaian internasl yang
dilakukan oleh masing-masing satuan pendidikan menggunakan standar yang sangat
beragam (tidak comparable).
Ujian memegang peranan
strategis dalam manajemen mutu pendidikan. Suatu studi yang dilakukan oleh tim
Bank Dunia menunjukkan bahwa ujian pada akhir satuan pendidikan merupakan
strategi peningkatan mutu pendidikan yang banyak dipilih dan digunakan oleh
Negara-negara berkembang yang sumber dayanya
relative terbatas. Ujian yang direncanakan dan dilakukan dengan baik akan mampu
menyediakan informasi yang mendorong dan memacu terjadinya peningkatan mutu
pendidikan secara terus menerus.
Salah satu upaya pemerintah
untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional adalah dengan mengadakan ujian nasional yang dilaksanakan
pada akhir tahun pelajaran yang dalam pelaksanaannya diserahkan kepada Badan
Standar Nasional Pendidikan sebagaimana termaktub dalam PP Nomor 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan. Pelaksanaan ujian nasional didasarkan atas
beberapa peraturan perundang-undangan. Peraturan yang dimaksud adalah sebagai
berikut :
1.
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 59 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi
terhadap pengelola, satuan jenjang, dan jenis pendidikan.
2.
PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
1)
Pasal 63 ayat (3)
Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri
atas :
a.
Penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b.
Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
c.
Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah
2)
Pasal 66 ayat (1)
Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (!)
butir c bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional
pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional.
3)
Pasal 66 ayat (2)
Ujian nasional dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel.
4)
Pasal 66 ayat (3)
Ujian nasional diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan
sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran.
5)
Pasal 67 ayat (1)
Pemerintah menugaskan BSNP untuk menyelenggarakan ujian nasional yang diikuti peserta
didik pada setiap satuan pendidikan jalur formal pendidikan dasar dan menengah
dan jalur nonformal kesetaraan.
6)
Pasal 67 ayat (2)
Dalam penyelenggaraan ujian nasional BSNP bekerja sama dengan instansi
terkait di lingkungan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, pemerintah Kabupaten /
Kota, dan satuan pendidikan.
7)
Pasal 67 ayat (3)
Ketentuan mengenai ujian nasional diatur lebih lanjut dengan peraturan
Menteri.
8)
Pasal 68)
Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk :
a.
Pemetaan mutu program dan / atau satuan pendidikan;
b.
Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
c.
Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan /
atau satuan pendidikan;
d.
Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan
pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
BAB. III
ANALISIS / KAJIAN
A.
Konsep Pelaksanaan Pendidikan
Menurut pasal 31 ayat (1) menyebutkan :
setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karena apabila suatu
hal seseorang atau sekelompok masyarakat tidak bisa mendapatkan kesempatan
belajar, maka mereka bisa menuntut haknya itu kepada pemerintah. Atas dasar
itulah pemerintah menciptakan sekolah-sekolah yang bisa melayani kebutuhan
warna negaranya tanpa kecuali apakah warga negara tersebut normal ataupun tidak
normal dilihat dari aspek fisik dan mentalnya, baik yang tinggal diperkotakan
maupun yang diperkotakan, baik yang miskin maupun yang kaya. Sekolah-sekolah
yang dimaksud antara lain SD Kecil, SD Pamong, SMP Terbuka Sistem Belajar Jarak
Jauh untuk mengatasi warga negara yang mengalami sekulitan mendapatkan
pendidikan karena aspek geografis (termaktub dalam pasal 5 ayat 3), dan sekolah
luar biasa untuk memenuhi warga negara yang mempunyai kebutuhan khusus (pasal 5
ayat 2).
Namun demikian dengan amandemen UUD 1945,
pasal 31 ayat (2), dan Undang-Undang Sisdiknas pasal (1) bahwa sampai dengan
pendidikan dasar, pendidikan tidak hanya merupakan hak tapi sekaligus merupakan
kewajiban warga negara. Hal tersebut logis dan dapat dipahami sebab
keberhasilan proses pendidikan tidak hanya ditentukan oleh pemerintah tapi juga
warga masyarakat. Sekalipun pemerintah telah dengan sungguh-sungguh menangani
pendidikan dan menyediakan biaya pendidikan dan cukup tetapi kalau masyarakat
tidak ikut serta (terutama dalam hal kesadaran dan motivasi belajar) maka
pembangunan di bidang pendidikan tidak dapat berhasil dengan baik. Lebih-lebih
di era globalisasi yang menurut kualitas sumber daya manusia yang memiliki daya
saing yang tinggi adalah logis apabila warga negara diwajibkan untuk menempuh
pendidikan dasar.
Setelah membahas landasan hukum dalam
pendidikan yang dijabarkan dari UUD tahun 1945 dan beberapa peraturan
perundang-undangan yang ada di bawahnya, maka dampak terhadap konsep dan
pelaksanaan pendidikan adalah sebagai berikut :
a. Sebagai
konsekuensi dari beragamnya potensi dan kebutuhan peserta didik maka proses
pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi peserta didik sehingga pendidikan
dalam pembelajaran dituntut untuk aktif, inovatif, kreatif, efektif dan
menyenangkan (PAKEM)
b.
Dibutuhkan beragam jenis sekolah, sekolah umum dan
kejuruan, sekolah untuk siswa normal dan sekolah untuk siswa berkebutuhan
khusus, serta beragam jurusan. Sistem pendidikan menganut double track, bukan
singlet track.
c.
Untuk mengembangkan potensi peserta didik seutuhnya
diperlukan perhatian yang sama terhadap pengembangan aspek kognitif, afektif,
dan psikomor pada semua tingkat pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
mendisain kurikulum sedemikian rupa sehingga struktur kurikulum mencakup mata
pelajaran-mata pelajaran yang mencakup ketiga ranah / domain tersebut. Dan
dalam proses pembelajaran ketiga aspek tersebut disampaikan secara
terintegratif.
d.
Pendidikan harus berakar pada kebudayaan nasional, maka
dibutuhkan kurikulum yang mampu pengembangan budaya luhur bangsa.
e.
Pendidikan dasar merupakan hak dan sekaligus kewajiban
warga negara, maka kebijakan pemerintah tentang wajib belajar disertai dengan
program-program pendukungnya seperti pemerataan kesempatan pendidikan dengan
membangun sekolah-sekolah dengan berbagai model adalah kebijakan yang bagus
yang berlu didukung oleh semua pihak.
B. Pendanaan Pendidikan
Walaupun dalam amandemen UUD RI 1945 pasal 31 ayat (4) telah menegaskan bahwa negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan akan
tetapi dengan berbagai alasan dan
pertimbangan sampai saat ini APBN kita belum mencapai 20%. Di daerah alokasi
dana pendidikan yang masuk dalam APBD sangat bervariatif, tetapi kebanyakan belum
sampai 20% dari APBD. Yang memprihatinkan ada beberapa daerah yang
menggratiskan biaya pendidikan namun tidak diberangi dengan penambahan anggaran
di APBD dengan cukup. Menurut Sutjipto (2008:2) keadaan seperti ini akan
memperlebar disparitas mutu pendidikan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain sehingga
menjadi tempat persemaian yang subur dari masalah-masalah sosial di masa depan.
Pasal inilah yang sampai sekarang terus diperjuangkan oleh banyak pihak agar pemerintah dan
pemerintah daerah segera merealisasikannya.
Justru yang terjadi di hampir mayoritas pemerintah
daerah berlomba-lomba untuk memperjuangkan wacana pendidikan gratis. Namun
dengan masuknya ranah politik dalam dunia pendidikan nampaknya wacana itu
menjadi nilai tawar dalam realisasinya antara warga masyarakat dengan penguasa
pemerintah daerah. Mestinya kebijakan
pendidikan gratis tidak hanya sekedar retorika politik guna melanggengkan kekuasaan,
akan tetapi perlu didukung dengan reliasasi anggaran pendidikan sesuai dengan amanat
undang – undang dasar yaitu minimal 20% dari APBN/APBD.
C. Kompetensi Guru / Konselor
Dalam proses belajar dan
pembelajaran guru merupakan salah satu faktor utama yang mengkondisikan
terciptanya suasana yang kondusif.
Proses transformasi ilmu dan pengetahuan akan berjalan sesuai fungsinya apabila guru menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional. Guru dituntut untuk memiliki kompetensi dan dedikasi dalam menjalankan profesinya. Guru sebagai sebuah profesi pada masa sekarang ini terjadi penguatan dalam kedudukan sosial dan eksternal, bahkan terjadi penguatan kedudukan dalam hal proteksi jabatan dan diperkuat oleh Undang-Undang dan status hukum.
Proses transformasi ilmu dan pengetahuan akan berjalan sesuai fungsinya apabila guru menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional. Guru dituntut untuk memiliki kompetensi dan dedikasi dalam menjalankan profesinya. Guru sebagai sebuah profesi pada masa sekarang ini terjadi penguatan dalam kedudukan sosial dan eksternal, bahkan terjadi penguatan kedudukan dalam hal proteksi jabatan dan diperkuat oleh Undang-Undang dan status hukum.
Oleh karena itu secara
logis muncul pula harapan dan keinginan agar terjadi penguatan serupa dalam posisi
internal profesi guru, dimana peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru bisa
menjamin mutu pendidikan.
Hal lain yang tak
kalah penting untuk dikaji adalah pengakuan eksistensi konselor. Meskipun secara yuridis keberadaan konselor dalam sistem pendidikan
nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan
kualifikasi guru, dosen, pamong, tutor pamong belajar, widyaiswara, instruktur
sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat )6) m UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Juga
tercantum PP Nomor 28 Tahun 1990 pasal 27 ayat (2) dengan sebutan guru
pembimbing. Akan tetapi dari pasal-pasal tersebut, pengakuan secara eksplisit
dan kesejajaran posisi antara tenaga pendidik satu dengan yang lainnya itu,
ternyata tidak dilanjutkan dengan spesifikasi konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang cermat, karena
yang diatur dalam pasal-pasal berikutnya hanyalah konteks tugas dan ekspektasi
kinerja dari mayoritas
pendidik yang menggunakan pembelajaran sebagai kontek layanan. Hal tersebut
dapat dicermati pada pasal 39 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang
berbunyi : pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Dengan spesifikasi kontek tugas dan
ekspektasi kinerja yang hanya merujuk kelompok pendidik yang menggunakan materi
pembelajaran, maka konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan
materi pembelajaran sebagai konteks layanan yang merupakan sosok layanan ahli yang unik yang berbeda dari
sosok layanan ahli keguruan meskipun sama-sama bertugas dalam setting
pendidikan, tidak ditemukan pengaturannya dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Banyak terjadi kejanggalan dan ketidakjelasan
kebijakan dari pemerintah pusat tentang profesi bimbingan dan konseling.
Ketidakjelasan semakin dirasakan justru pada saat kita sedang berupaya
mereformasi pendidikan kita. Contoh kasus terbaru, ketika digulirkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga saat ini sama sekali belum memberikan
kejelasan tentang bagaimana bimbingan dan konseling seharusnya dilaksanakan.
Dalam dokumen KTSP, kita hanya menemukan secuil informasi yang membingungkan
tentang bimbingan dan konseling yaitu berkaitan dengan kegiatan Pengembangan
Diri.
Begitu juga, dalam kebijakan sertifikasi
guru, banyak konselor dan pengawas satuan pendidikan yang kebingungan untuk
memahami tentang penilaian perencanaan dan pelaksanaan konseling, karena format
penilaian yang disediakan tidak sepenuhnya cocok untuk digunakan dalam
penilaian perencanaan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Tentunya masih
banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan di lapangan, baik yang
bersifat konseptual-fundamental maupun teknis operasionalnya.
Ketidakjelasan kebijakan tentang profesi
bimbingan dan konseling pada tataran pusat ini akhirnya mengimbas pula pada kebijakan
pada tataran di bawahnya (messo dan mikro), termasuk pada tataran operasional
yang dilaksanakan oleh para konselor di sekolah. Jadi, kalau ada pertanyaan
mengapa Bimbingan dan Konseling di sekolah kurang optimal, maka kita bisa
melihat sumber permasalahannya, yang salah-satunya adalah ketidakjelasan dalam
kebijakan pemerintah terhadap profesi bimbingan dan konseling.
Jika ke depannya, bimbingan dan konseling
masih tetap akan dipertahankan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional,
kiranya perlu ada komitmen dan good will dari pemerintah untuk secepatnya
menata profesi konseling, salah satunya dengan berupaya melibatkan Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) selaku wadah yang menaungi para
konselor dan para pakar konseling untuk duduk bersama merumuskan bagaimana
sebaiknya kebijakan konseling untuk hari ini dan ke depannya.
D. Desentralisasi Pendidikan
Pemberian aksentuasi kepada pemerintah daerah
dalam Undang-Undang Sisdiknas, diharapkan nantinya pengembangan pendidikan di
tingkat lokal akan lebih efektif jika dikembangkan oleh pemerintah daerah
bersama kelompok masyarakat. Sebab jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh
masing-masing daerah, berbeda satu sama lain. Itulah sebabnya pasal 50 ayat (4) disebutkan bahwa pemerintah
kabupaten / kota berkewajiban mengelola satuan pendidikan yang berbasis
keunggulan lokal.
Jika setiap pasal dalam Undang-Undang
Sisdiknas tersebut dapat dilaksanakan secara baik dan konsekuen, maka lambat
laun kemelut-kemelut yang mengitari dunia pendidikan kita selama ini dapat di
atasi dan diantisipasi. Oleh karena itu, untuk merealisasikan semua itu
memerukan dukungan dan kerja sama dari semua pihak, baik yang terlibat langsung
maupun tidak. Selain itu, otonomi juga berimplikasi pada pengembangan
pendidikan keagamaan di Indonesia. Otonomi pendidikan ini lebih ditekankan pada
pembentukan strategi dalam menghadapi tantangan modernitas. Munculnya otonomi
daerah sekaligus otonomi pendidikan memberikan kerja keras bagi pemerintah
daerah dalam menentukan arah pendidikan ke depan.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal
otonomi pendidikan adalah mewujudkan organisasi pendidikan di seluruh kabupaten
/ kota yang lebih demokratis, transparan, efisien, accountable, serta mendorong
partisipasi masyarakat. Dalam konteks otonomisasi pendidikan, pembelajaran yang
berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan pemerintah
pada posisi sebagai fasilitator dan bukan pengendali. Sehingga, pemetaan utama
pembelajaran adalah guru sebagai pengajar dan murid sebagai yang belajar. Murid
atau peserta didik hendaknya diberi hak untuk mendapatkan pengajaran yang
sesuai dengan pilihannya dan diperlakukan sesuai dengan potensi dan
prestasinya.
Semangat desentralisasi pendidikan yang
sementara ini dianggap merupakan konsep yang baik dalam pengelolaan pendidikan
perlu didukung dan dimaknai secara benar. Pemerintah daerah sebagai pihak yang
menerima pelimpahan wewenang tidak hanya mengedepankan haknya tetapi juga yang
lebih penting adalah melaksanakan kewajiban yang melekat pada wewenang yang
diberikan dengan kesungguhan hati. Managemen berbasis sekolah sebagai bentuk
pelaksanaan otonomi pendidikan di tingkat
sekolah juga harus
selalu didorong untuk dapat terwujud.
E. Ujian Nasional
Kebijakan pemerintah tentang ujian nasional ini
banyak menimbulkan pro dan kontra, baik dalam tataran konsep teori pendidikan,
kajian yuridis maupun dalam implementasinya di lapangan. Dalam kesempatan ini
akan penulis ketengahkan pandangan dari segi yuridis tentang penyelenggaraan ujian nasional
Keikutsertaan pemerintah, pemerintah daerah,
dan lembaga mandiri dalam melakukan evaluasi sebagaimana tercantum pada pasal
58 ayat (2) dan Pasal 59 Ayat (1) UU Sisdiknas adalah evaluasi terhadap
pengelola, satuan, jalur, jenjang, jenis pendidikan dan program pendidikan.
Kalaupun ada kewenangan mengevaluasi peserta didik, tentu yang dimaksud
bukanlah terhadap hasil belajar dan kelulusannya, melainkan evaluasi terhadap
kondisi peserta didik yang dapat mendukung terlaksananya proses pembelajaran.
Taruhlah seperti rasio peserta didik terhadap guru, pemetaan sosial-ekonomi,
kelompok dan antarwilayah / daerah. Dengan begitu, hak mutlak untuk menilai
proses pembelajaran dan menentukan kelulusan peserta didiknya tetap menjadi
milik pendidik karena secara pedagogis para pendidiklah yang paling atau
tentang peserta didiknya.
Kejanggalan kedua adalah hilangnya independen
pada Pasal 73 ayat (3) tentang sifat BSNP. Bunyi lengkapnya "dalam
menjalankan tugas dan funginya BSNP bersifat mandiri dan profesional".
Pasal inilah yang dijadikan alasan mengapa BSNP tidak sepenuhnya independen,
tetapi hanya sebagai pembantu menteri seperti tertera pada Pasal 76 ayat (1).
Kedua pasal di atas sepintas terlihat wajar.
Tetapi, menjadi sangat janggal ketika pasal tersebut secara tertib hukum
seharusnya menjadi turunan dari ketentuan umum Pasal 1 Butir 22 yang secara
tegas menyebutkan "badan Standar Nasional yang selanjutnya disebut BSNP
adalah badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau
pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan". Karena
ketentuan umum merupakan klausul
pokok yang turunannya tertuang dalam pasal-pasal, konsekuensinya BSNP
seharusnya adalah badan independen.
Kejanggalan ketiga adalah tentang kelulusan
Pasal 72 ayat (1) d menyebutkan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari
satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah memenuhi empat
persyaratan. Pertama, telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran. Kedua,
memperoleh nilai minimal untuk pelajaran agama, akhlak mulia, kewarganegaraan
dan berkepribadian, estetika, jasmani dan kesehatan. Ketiga dan keempat lulus
ujian sekolah dan lulus ujian nasional.
Syarat kelulusan pertama dan kedua sepintas
mencoba untuk menghargai penilaian proses. Namun, ketika peserta didik harus
dihadapkan pada syarat lulus ujian sekolah dan ujian nasional, maka pada
akhirnya proses pembelajaran menjadi tidak lagi berarti. Sebab seperti yang
terlihat pada kenyataan sehari-hari, sebagian besar sekolah semua kegiatan pembelajaran tercurah hanya
untuk mempelajari cara menyiasati soal-soal ujian semata. Akhirnya, proses
pembelajaran menjadi kering dari suasana kemanusiaan.
Penilaian hasil belajar peserta didik dengan
sistem Ujian nasional membawa dampak yang sangat besar dalam praktik pendidikan
formal, baik dampak yang positif maupun negatif. Oleh karena itu perlu evaluasi
dan dikaji secara komprehensif, baik dari segi hukum, sosial, ekonomi, budaya
dan pendidikan.
BAB. IV
PENUTUP
Pendidikan pada hakikatnya adalah proses menemukan
identitas seseorang. Proses pendidikan yang benar adalah yang membebaskan
seseorang dari berbagai kungkungan, atau penyadaran akan kemampuan seseorang.
Meski demikian, pendidikan dapat pula berbentuk sesuatu yang mengikat kebebasan
seseorang. Hal ini akan terjadi bila pendidikan dijadikan alat oleh sistem
penguasa yang ada untuk mengungkung kebebasan individu. Sistem
penguasa yang dimaksudkan adalah pemerintah, yang melestarikan kekuasaan
melalui lembaga-lembaga pendidikan. Ketika suatu sistem kekuasaan memaksakan
kehendaknya dan merampas kemerdekaan individu berserta kebudayaan, maka
pendidikan telah berubah menjadi alat oppressive bagi perkembangan
peserta didik. Seharusnya proses pendidikan
adalah proses yang berjalan dalam suasana kedamaian dalam kehidupan manusia
tanpa kekerasan. seperti yang dimaksudkan oleh Paulo freire, proses pendidikan
secara hirarki diharapkan untuk mencapai koentisasi humanisasi, yakni
pembebasan dalam memanusiakan manusia, atau pendidikan seutuhnya. Pendidikan
dimaksudkan dalam hal ini dapat berfikir bebas tanpa ada tekanan , yang pada
akhirnya menghasilkan pengetahuan ,tidak hanya mengikuti arus . seperti yang
sedang dialami indonesia saat ini.
Sebagaimana bisa kita
pahami bahwa pendidikan di manapun dan kapanpun merupakan upaya khas manusia,
sehingga pendidikan itu pada prinsipnya dilaksanakan dari, oleh dan untuk
manusia sebagai anggota masyarakat. Oleh karenanya basis pendidikan seharusnya
diorientasikan kepada harkat dan martabat manusia yang bersifat komprehensif
dan universal. Kalau semua penyelenggara negara ( legislatif dan eksekutif )
memahami konsep ini secara lebih mendalam maka produk – produk hukum yang
berkaitan dengan pendidikan akan tercipta secara baik dan sesuai dengan sasaran
dan pengelola pendidikan. Di sisi lain pemerintah ( eksekutif ) sebagai
pelaksana dan penegak hukum yang diciptakan oleh legislatif akan melaksanakan
dan menerapkannya secara konsekwen tanpa ada penyimpangan.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas. 2008, Penataan
Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan Konseling dalam Jalur
Pendidikan Formal.
Bandung : BK UPI.
Made Pidarta. 2004, Managemen
Pendidikan
Indonesia, Jakarta
: Rineka Cipta
Made Pidarta. 2007, Landasan Kependidikan : Stimulus
Ilmu Bercorak Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta
Muhammad Ali. 2007, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Jakarta : Rineka Cipta
Nana
Syaodih S. 2009,
Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Jakarta :
Rineka Cipta
Prayitno, 2009, Dasar Teori dan Praksis Pendidikan,
Jakarta : Kompas Gramedia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008
tentang Pendanaan Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar
Isi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar