Selasa, 24 Februari 2015

Makalah Landasan Yuridis Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Bila kita kembali kepada hakekat pendidikan maka pendidikan pada esensinya juga bertujuan untuk membantu manusia menemukan hakekat kemanusiaannya. Proses humanisasi ini adalah proses pembebasan, yaitu pembebasan manusia dari belenggu stuktur sosial, hegemoni kekuasaan, cara pikir yang salah, doktrin tertentu dan sebagainya. Namun dalam kehidupannya manusia membuat rule , aturan atau landasan hukum agar pendidikan itu berjalan sistematis dan memenuhi harapan daripada tujuan pendidikan itu sendiri.
Dalam negara hukum seperti negara kita Indonesia ini, setiap tindakan pemerintahan baik dalam pengaturan maupun dalam pelayanan harus berdasarkan atas hukum (peraturan perundang-undangan), karena dalam negara – negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.
Negara Republik Indonesia mempunyai berbagai peraturan perundang-undangan yang bertingkat, mulai dari UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Ketetapan, keputusan, sampai peraturan daerah. Kesemuanya mengandung hukum yang patut ditaati, dimana UUD 1945 merupakan hukum yang tertinggi, sementara peraturan perundang-undangan yang lain harus tunduk pada UUD 1945.
Meskipun demikian, tidak selalu setiap tindakan pemerintah tersedia peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Dapat terjadi, dalam kondisi tertentu terutama ketika pemerintah harus bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkret dalam masyarakat, terkadang peraturan perundang-undangannya belum tersedia. Dalam kondisi seperti ini, kepada pemerintah diberikan kebebasan bertindak (discresionare power) yaitu melalui freies Ermessen, yang diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Freies Ermessen merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare sate, akan tetapi dalam kerangka negara hukum, freies Ermessen ini tidak dapat digunakan tanpa batas.
Pendidikan sebagai salah satu bidang yang ditangani oleh pemerintah, dalam pelaksanaannya tentunya harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Begitu luas cakupan bidang pendidikan membuat begitu banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Oleh karena itu dalam makalah ini tidak dibahas semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pendidikan. Tulisan ini hanya membatasi pada hal-hal yang kami anggap penting terutama yang membutuhkan penjelasan lebih mendalam serta berbagai acuan untuk mengembangkan pendidikan.N
B.     Permasalahan
Dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendidikan di negara Indonesia, dapat kita temukan permasalahan yang perlu dikupas dalam makalah ini, yaitu :
1.      Pelaksanaan / penerapan dari peraturan perundangan tentang masalah pendidikan di Negara kita.
2.      Kajian Penerapan peraturan perundang-undangan yang mengatur pendidikan di Negara kita tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Landasan Yuridis / Hukum Pendidikan di Indonesia
  Landasan yuridis pendidikan Indonesia adalah  seperangkat konsep peraturan perundang-undangan yang menjadi titik tolak  system pendidikan Indonesia, yang menurut  Undang-Undang  Dasar 1945 meliputi, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Ketetapan MPR, Undang-Undang Peraturan Pemerintah  pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan pelaksanaan lainnya, seperti peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.
Kata landasan dalam hukum berarti melandasi atau mendasari atau titik tolak. Sementara itu kata hukum dapat dipandang sebagai aturan baku yang patut ditaati. Landasan hukum pendidikan dapat diartikan peraturan baku sebagai tempat berpijak atau titik tolak dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pendidikan. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pendidikan antara lain :
a.       Undang-Undang Dasar 1945 terutama pasal 31
b.      Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
c.       Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 
d.      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
e.       PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
f.       PP Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan
g.      PP Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru
h.      Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar dan  Menengah.
i.        Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
j.        Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaaan Permendiknas Nomor 22 dan 23 Tahun 2006.
k.      Permendiknas Nomor 6 Tahun 2007 tentang Perubahan Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas Nomor 22 dan 23 Tahun 2006.
l.        Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
B.     Telaah Yuridis Peraturan perundang-undangan yang mengatur pendidikan
Dari sekian banyak peraturan perundangan yang mengatur pendidikan di atas, akan penulis bahas beberapa peraturan perundangan yang sering banyak dibicarakan dan menjadi polemik atau issu krusial di masyarakat, antara lain adalah :
  1. Konsep Pelaksanaan Pendidikan di Indonesia
Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Indonesia menganut konsep pendidikan sepanjang hayat, yaitu pendidikan yang terus menerus dalam lahir sampai akhir hayat. Sehingga pendidikan berlangsung tidak hanya di sekolah tapi juga di masyarakat dan keluarga, dalam Undang-Undang Sisdiknas disebut pendidikan formal, nonformal, dan informasl sebagaimana disebut dalam pasal 13 ayat (1). Konsep (rumusan) pendidikan menurut UU Sisdiknas juga sesuai dengan fitrah manusia yaitu mengaku adanya keberagamaan atau perbedaan individu sebagai peserta didik dengan berbagai potensi yang dimiliki baik dalam aspek fisik, psikis maupun mental. Pendidikan dirumuskan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi didiknya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (pasal 1 ayat 1)
Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa pendidikan nasional berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman dengan tetap dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. ini berarti teori-teori dan praktik-prakik pendidikan yang diterapkan di Indonesia haruslah berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional Indonesia. Tetapi dalam kenyataannya menunjukkan kita belum mempunyai teori-teori pendidikan yang khas yang sesuai dengan budaya bangsa. Menurut Pidarta (2007 : 43) teori-teori pendidikan beserta praktik-prakinya yang dilakukan sampai saat ini sebagian besar berupa teori-teori yang diimpor dari luar negeri, dimana para pendidik belajar disitulah mereka menerima teori-teori pendidikan, dimana para penguasa pendidikan mengadakan studi banding disitulah meneraka menerima teori-teori itu, kebudian dibawa ke Indonesia, sebagian ditatarkan kepada para pendidik lainnya, tentu sesudah direvisi penelitian-penelitian. Sebagian besar diterapkan begitu saja. Karena teori itu banyak ragamnya, yang diterapkan pun diterapkan sesuai dengan pandangan dan selera pendidik, terutama oleh yang mempunyai wewenang menentukan kebijakan pendidikan.
Persoalan pendidikan dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan (Budiyono dalam Agus Salim, 2007:129). Selama bertahaun-tahun sejak Indonesia merdeka, selalu dikenal nama departemen pendidikan dan kebudayaan. Namun dalam perjalanannya, penggabungan kedua konsep itu dalam satu urusan cenderung hanya sebatas penanaman. Dalam praktiknya kedua konsep tersebut sering kali tidak "nyambung". Budiyono menambahkan, bahwa pada era Orde Baru sektor pendidikan pernah menyederhanakan persoalan pendidikan menjadi empat hal, yaitu pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, peningkatan mutu lulusan, peningkatan efektivitas dan pencapaian efisiensi. Bahkan keempatnya disederhanakan lagi dalam bentuk indikator-indikator yang operasional, spesifik, jelas dan nyata, yang bersifat positivisik. Dalam hal ini kemudian hilanglah konsep perpaduan problem pendidikan sebagai problem budaya, yang lebih bersifat fenomenologis. Ukuran keberhasilan pembangunan pendidikan juga ditunjukkan dari angka-angka yang pasti, dikenal misalnya adanya angka partisipasi sekolah tingkat kelulusan, jumlah gedung sekolah, rasio guru dan murid, angka putus sekolah. Sementara sosial, tumbuh suburnya sikap individualistik serta melemahnya sikap pluralistik budaya kurang mendapatkan perhatian yang seksama.
Dengan demikian tampaknya bahwa teori pendidikan dan praktik pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi undang-undang pendidikan kita. Oleh karena itu, kondisi seperti ini merupakan tantangan bagi para pendidik kita, terutama bagi para ahli pendidikan untuk berupaya menemukan teori-teori pendidikan yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan bangsa Indonesia.
  1. Pendanaan Dalam Pendidikan
Amandemen UUD RI 1945 Pasal 31 ayat (2) menyebutkan bahwa biaya untuk pendidikan dasar menjadi tanggung jawab pemerintah. Lebih lanjut disebutkan pada pasal 31 ayat (4), bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Angka 20% tersebut tanpa memasukkan anggaran gaji pegawai dan biaya pendidikan kedinasan sebagaimana disebutkan dalam pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas tahun 2003. namun demikian dengan berbagai alasan dan pertimbangan sampai saat ini APBN kita belum mencapai 20%. Di daerah alokasi dana pendidikan yang masuk dalam APBD sangat bervariatif, tetapi kebanyakan belum sampai 20% dari APBD. Yang memprihatinkan ada beberapa daerah yang menggratiskan biaya pendidikan namun tidak diberangi dengan penambahan anggaran di APBD dengan cukup. Menurut Sutjipto (2008:2) keadaan seperti ini akan memperlebar disparitas mutu pendidikan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain sehingga menjadi tempat persemaian yang subur dari masalah-masalah sosial di masa depan. Pasal inilah yang sampai sekarang terus diperjuangkan oleh banyak pihak agar pemerintah dan pemerintah daerah segera merealisasikannya.
Lebih lanjut tentang biaya pendidikan diatur dalam PP Nomor 48 tahun 2008 tentang pendanaan Pendidikan. Beberapa aturan pendaan pendidikan menurut PP Nomor 48 Tahun 2008 adalah sebagai berikut :
a.       Biaya pendidikan meliputi biaya satuan pendidikan, biaya penyelenggaraan dan / atau pengelolaan, dan biaya pribadi peserta didik (masing-masing masih diperinci lagi, lihat pasal 3)
b.      Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 2 ayat 1)
c.       Pendanaan biaya pendidikan untuk pendidikan dasar baik formal maupun non formal yang diselenggarakan oleh pemerintah (Selain biaya pribadi peserta didik) menjadi tanggung jawab pemerintah
d.      Pendanaan biaya pendidikan dasar baik formal maupun non formal yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (selain biaya pribadi peserta didik) menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
e.       Tanggung jawab pendanaan sebagaimana yang dimaksud di atas dilaksanakan sampai dengan terpenuhinya SNP (Standar Nasional Pendidikan)
f.       Pendanaan tambahan di atas biaya investasi yang diperlukan untuk pemenuhan rencana pengembangan satuan atau program pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah menjadi bertaraf internasional dan / atau berbasis keunggulan lokal dapat bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, bantuan pihak asing yang tidak mengikat, dan / atau sumber lain yang sah.
g.      Pendanaan biaya lahan satuan pendidikan yang didirikan oleh masyarakat menjadi tanggung jawab penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan
h.      Pendanaan biaya investasi selain lahan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggung jawab biaya pada satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan masyarakat.
i.        Pemerintah, pemerintah daerah, pemangku kepentingan pendidikan, dan pihak asing dapat membantu pendanaan biaya pada satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan masyarakat.
j.        Dana pendidikan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat bersumber dari : bantuan penyelenggaraan pendidikan ybs, pemerintah, pemerintah daerah, peserta didik dan/atau orang tua / wali, pemangku kepentingan, pihak asing, sumber lain yang sah.
k.      Prinsip pengelolaan dana pendidikan : keadilan, efisiensi, transparansi, akuntabilitas publik, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  1. Eksistensi dan Kompetensi Guru / Konselor
1.      Guru
Dalam Undang-undang guru dan dosen Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 memberikan pengertian tentang Guru adalah sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi, peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Selanjutnya dalam Undang-undang tersebut memuat hal-hal sebagai berikut yang berkaitan dengan Kompetensi Guru, diantaranya : Kedudukan, Fungsi dan Tujuan, Prinsip Profesionalitas, Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi. Pentingnya sertifikat dalam profesionalitas guru di tekankan dalam pasal 11 (1) UUGD (undang-undang guru dan dosen) menyebutkan bahwa sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan, Jadi sertifikat diberikan setelah yang bersangkutan diyakini memenuhi syarat kualifikasi pendidikan dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. diperlukan suatu mekanisme penilaian untuk membuktikan bahwa seseorang telah memenuhi syarat tersebut.
Mekanisme itulah yang disebut sertifikasi, yang seharusnya merupakan bentuk evaluasi komprehensif. Jika kualifikasi sudah dapat dibuktikan dengan ijasah/sertifikat, maka penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran itulah yang dikembangkan dalam sertifikasi.dalam hal ini guru mata pelajaran dapat menjalankan pofesinya dengan kompeten. Kompetensi guru dijelaskan dalam pasal 8, dijabarkan pada pasal 10 dengan istilah kompetensi sebagai agen pembelajaran yang mencakup kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Kompetensi kepribadian mencakup kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta dapat menjadi teladan bagi peserta didik. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran, tentu saja pembelajaran yang mendidik. Kompetensi profesional adalah penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial adalah kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,orangtua/wali dan masyarakat sekitar. Kompetensi kepribadian diarahkan sebagai modal dasar guru, khususnya dalam berperilaku keseharian. Sub kompetensi dengan menjadi teladan bagi peserta didik yang merupakan puncak dari sub-sub kompetensi sebelumnya, karena seseorang akan menjadi teladan bagi anak didik, jika memiliki kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa. Bahkan penguasaan materi ajar akan merupakan prasyarat untuk menjadi guru yang berwibawa.
Dari uraian di atas dapat terlihat jelas bahwa syarat menjadi guru menurut UUGD ada dua, yaitu latar belakang pendidikan S1/D4 dengan mata pelajaran yang diajarkan dan penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Sedangkan sertifikat pendidik pada dasarnya merupakan pengakuan terhadap kepemilikan dua syarat tersebut.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 mengamanatkan bahwa dalam rangka peningkatan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan dalam hal ini guru diwajibkan untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan dari pendidikan nasional kita.
Persyaratan yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut meliputi persyaratan kualifikasi akademik guru dan persyaratan kemampuan seorang guru atau kompetensi yang dibuktikan dengan bentuk penguasaan pedagogik, profesi, kepribadian dan sosial.
2.      Konselor
Secara yuridis keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong, tutor pamong belajar, widyaiswara, instruktur sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat )6) m UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dan bila kita runut ke belakang keberadaan konselor secara yuridis juga tercantum PP Nomor 28 Tahun 1990 pasal 27 ayat (2) dengan sebutan guru pembimbing. Akan tetapi dari pasal-pasal tersebut, pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara tenaga pendidik satu dengan yang lainnya itu, ternyata tidak dilanjutkan dengan spesifikasi konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang cermat, karena yang diatur dalam pasal-pasal berikutnya hanyalah konteks tugas dan ekspektasi kinerja dari mayoritas pendidik yang menggunakan pembelajaran sebagai kontek layanan. Hal tersebut dapat dicermati pada pasal 39 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang berbunyi : pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Dengan spesifikasi kontek tugas dan ekspektasi kinerja yang hanya merujuk kelompok pendidik yang menggunakan materi pembelajaran, maka konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan sehingga merupakan sosok layanan ahli yang unik yang berbeda dari sosok layanan ahli keguruan meskipun sama-sama bertugas dalam setting pendidikan, tidak ditemukan pengaturannya dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Keberadaan konselor juga disebut-sebut kembali pada penjelasan pasal 28 beserta penjelasannya PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar nasional Pendidikan
  1. Desentralisasi Pendidikan
Sentralisasi pengelolaan pendidikan nasional selama Indonesia merdeka, ternyata telah menempatkan Indonesia dalam posisi sebagai negara yang jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Hal ini telah mendorong lahirnya semangat baru dan visi yang lebih demokratis dan lebih sesentralistis dalam pengelolaannya, sehingga dapat mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan potensi dirinya, potensi lingkungan terdekatnya, dan potensi yang lebih luas. Dengan semangat demokratisasi, desentralisasi dan globalisasi, maka dalam Undang-Undang Sisdiknas yang disahkan tanggal 11 Juni 2003 terdapat banyak pasal yang menggandengkan kata pemerintah daerah, yang konotasinya adalah berbagai kebijakan dalam pembangunan pendidikan hendaknya selalu mengawinkan kepentingan nasional dan kepentingan lokal daerah sehingga kualitas pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing peserta didik, dilaksanakan secara efisien dan efektif. Mulai dari hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, sampai hak regulasi dalam mengatur sistem pendidikan nasional.
Secara singkat dapat disebutkan, misalnya dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 10 disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Pasal 44 ayat (1) disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Ayat (3) pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga  kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Selanjutnya pada Pasal 49 ayat (1)  disebutkan dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor dari pemerintah kepada 20 persen dari APBD. Ayat (4) dna pendidikan dari pemerintah kepada pemerintah provinsi / kabupaten / kota diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebenarnya masih banyak pasal yang menjelaskan peranan pemerintah dan pemerintah daerah, namun dari beberapa pasal yang dijelaskan di atas, kiranya cukup menggambarkan hak dan kewajiban pemerintah maupun pemerintah daerah dalam sistem pendidikan nasional.
  1. Ujian Nasional
Evaluasi (penilaian) dalam dunia pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu penilaian internal dan penilaian eksternal. Penilaian internal dilakukan oleh guru, untuk menilai efektivitas proses pembelajaran dan untuk menilai dan memperbaiki tingkat pencapaian hasil pembelajaran. Penilaian yang dilakukan oleh guru sering disebut penilaian kelas (classroom assessment). Penilaian eksternal, dilakukan oleh lembaga mandiri, pada umumnya untuk menilai pencapaian hasil pembelajaran dengan menggunakan standar tertentu, untuk memperoleh pengakuan (recognition) dan pertanggungjawaban (accountability) secara lebih luas. Kedua jenis penilaian ini sama pentingnya dalam dunia pendidikan, satu sama lain salaing melengkapi (complementary), tidak bisa saling menggantikan (substitute).
Ujian nasional merupakan salah satu penilaian eksternal yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mengumpulkan data pencapaian prestasi belajar peserta didik, apakah prestasi belajar peserta didik telah mencapai Standar Kompetensi Lulusan (SKL) secara nasional. Tanpa Ujian Nasional, kita tidak mungkin membandingkan pencapaian SKL antara sekolah/madrasah secara obyektif, karena penilaian internasl yang dilakukan oleh masing-masing satuan pendidikan menggunakan standar yang sangat beragam (tidak comparable).
Ujian memegang peranan strategis dalam manajemen mutu pendidikan. Suatu studi yang dilakukan oleh tim Bank Dunia menunjukkan bahwa ujian pada akhir satuan pendidikan merupakan strategi peningkatan mutu pendidikan yang banyak dipilih dan digunakan oleh Negara-negara berkembang yang sumber dayanya relative terbatas. Ujian yang direncanakan dan dilakukan dengan baik akan mampu menyediakan informasi yang mendorong dan memacu terjadinya peningkatan mutu pendidikan secara terus menerus.
Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional adalah dengan mengadakan ujian nasional yang dilaksanakan pada akhir tahun pelajaran yang dalam pelaksanaannya diserahkan kepada Badan Standar Nasional Pendidikan sebagaimana termaktub dalam PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pelaksanaan ujian nasional didasarkan atas beberapa peraturan perundang-undangan. Peraturan yang dimaksud adalah sebagai berikut :
                        1.      UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 59 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jenjang, dan jenis pendidikan.
                        2.      PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
1)            Pasal 63 ayat (3)
Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas :
a.       Penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b.      Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
c.       Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah
2)            Pasal 66 ayat (1)
Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (!) butir c bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional.
3)            Pasal 66 ayat (2)
Ujian nasional dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel.
4)            Pasal 66 ayat (3)
Ujian nasional diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran.
5)            Pasal 67 ayat (1)
Pemerintah menugaskan BSNP untuk menyelenggarakan ujian nasional yang diikuti peserta didik pada setiap satuan pendidikan jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan jalur nonformal kesetaraan.
6)            Pasal 67 ayat (2)
Dalam penyelenggaraan ujian nasional BSNP bekerja sama dengan instansi terkait di lingkungan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, pemerintah Kabupaten / Kota, dan satuan pendidikan.
7)            Pasal 67 ayat (3)
Ketentuan mengenai ujian nasional diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri.
8)            Pasal 68)
Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk :
a.       Pemetaan mutu program dan / atau satuan pendidikan;
b.      Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
c.       Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan / atau satuan pendidikan;
d.      Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.


BAB. III
ANALISIS / KAJIAN
A.    Konsep Pelaksanaan Pendidikan
Menurut pasal 31 ayat (1) menyebutkan : setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karena apabila suatu hal seseorang atau sekelompok masyarakat tidak bisa mendapatkan kesempatan belajar, maka mereka bisa menuntut haknya itu kepada pemerintah. Atas dasar itulah pemerintah menciptakan sekolah-sekolah yang bisa melayani kebutuhan warna negaranya tanpa kecuali apakah warga negara tersebut normal ataupun tidak normal dilihat dari aspek fisik dan mentalnya, baik yang tinggal diperkotakan maupun yang diperkotakan, baik yang miskin maupun yang kaya. Sekolah-sekolah yang dimaksud antara lain SD Kecil, SD Pamong, SMP Terbuka Sistem Belajar Jarak Jauh untuk mengatasi warga negara yang mengalami sekulitan mendapatkan pendidikan karena aspek geografis (termaktub dalam pasal 5 ayat 3), dan sekolah luar biasa untuk memenuhi warga negara yang mempunyai kebutuhan khusus (pasal 5 ayat 2).
Namun demikian dengan amandemen UUD 1945, pasal 31 ayat (2), dan Undang-Undang Sisdiknas pasal (1) bahwa sampai dengan pendidikan dasar, pendidikan tidak hanya merupakan hak tapi sekaligus merupakan kewajiban warga negara. Hal tersebut logis dan dapat dipahami sebab keberhasilan proses pendidikan tidak hanya ditentukan oleh pemerintah tapi juga warga masyarakat. Sekalipun pemerintah telah dengan sungguh-sungguh menangani pendidikan dan menyediakan biaya pendidikan dan cukup tetapi kalau masyarakat tidak ikut serta (terutama dalam hal kesadaran dan motivasi belajar) maka pembangunan di bidang pendidikan tidak dapat berhasil dengan baik. Lebih-lebih di era globalisasi yang menurut kualitas sumber daya manusia yang memiliki daya saing yang tinggi adalah logis apabila warga negara diwajibkan untuk menempuh pendidikan dasar.
Setelah membahas landasan hukum dalam pendidikan yang dijabarkan dari UUD tahun 1945 dan beberapa peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya, maka dampak terhadap konsep dan pelaksanaan pendidikan adalah sebagai berikut :
a.   Sebagai konsekuensi dari beragamnya potensi dan kebutuhan peserta didik maka proses pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi peserta didik sehingga pendidikan dalam pembelajaran dituntut untuk aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM)
b.      Dibutuhkan beragam jenis sekolah, sekolah umum dan kejuruan, sekolah untuk siswa normal dan sekolah untuk siswa berkebutuhan khusus, serta beragam jurusan. Sistem pendidikan menganut double track, bukan singlet track.
c.       Untuk mengembangkan potensi peserta didik seutuhnya diperlukan perhatian yang sama terhadap pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomor pada semua tingkat pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendisain kurikulum sedemikian rupa sehingga struktur kurikulum mencakup mata pelajaran-mata pelajaran yang mencakup ketiga ranah / domain tersebut. Dan dalam proses pembelajaran ketiga aspek tersebut disampaikan secara terintegratif.
d.      Pendidikan harus berakar pada kebudayaan nasional, maka dibutuhkan kurikulum yang mampu pengembangan budaya luhur bangsa.
e.       Pendidikan dasar merupakan hak dan sekaligus kewajiban warga negara, maka kebijakan pemerintah tentang wajib belajar disertai dengan program-program pendukungnya seperti pemerataan kesempatan pendidikan dengan membangun sekolah-sekolah dengan berbagai model adalah kebijakan yang bagus yang berlu didukung oleh semua pihak.

B.     Pendanaan Pendidikan
Walaupun dalam amandemen UUD RI 1945 pasal 31 ayat (4) telah menegaskan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan akan tetapi dengan berbagai alasan dan pertimbangan sampai saat ini APBN kita belum mencapai 20%. Di daerah alokasi dana pendidikan yang masuk dalam APBD sangat bervariatif, tetapi kebanyakan belum sampai 20% dari APBD. Yang memprihatinkan ada beberapa daerah yang menggratiskan biaya pendidikan namun tidak diberangi dengan penambahan anggaran di APBD dengan cukup. Menurut Sutjipto (2008:2) keadaan seperti ini akan memperlebar disparitas mutu pendidikan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain sehingga menjadi tempat persemaian yang subur dari masalah-masalah sosial di masa depan. Pasal inilah yang sampai sekarang terus diperjuangkan oleh banyak pihak agar pemerintah dan pemerintah daerah segera merealisasikannya.
Justru yang terjadi di hampir mayoritas pemerintah daerah berlomba-lomba untuk memperjuangkan wacana pendidikan gratis. Namun dengan masuknya ranah politik dalam dunia pendidikan nampaknya wacana itu menjadi nilai tawar dalam realisasinya antara warga masyarakat dengan penguasa pemerintah daerah. Mestinya kebijakan pendidikan gratis tidak hanya sekedar retorika politik guna melanggengkan kekuasaan, akan tetapi perlu didukung dengan reliasasi anggaran pendidikan sesuai dengan amanat undang – undang dasar yaitu minimal 20% dari APBN/APBD.
C.    Kompetensi Guru / Konselor
Dalam proses belajar dan pembelajaran guru merupakan salah satu faktor utama yang mengkondisikan terciptanya suasana yang kondusif.
Proses transformasi ilmu dan pengetahuan akan berjalan sesuai fungsinya apabila guru menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional. Guru dituntut untuk memiliki kompetensi dan dedikasi dalam menjalankan profesinya. Guru sebagai sebuah profesi pada masa sekarang ini terjadi penguatan dalam kedudukan sosial dan eksternal, bahkan terjadi penguatan kedudukan dalam hal proteksi jabatan dan diperkuat oleh Undang-Undang dan status hukum.
Oleh karena itu secara logis muncul pula harapan dan keinginan agar terjadi penguatan serupa dalam posisi internal profesi guru, dimana peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru bisa menjamin mutu pendidikan.
      Hal lain yang tak kalah penting untuk dikaji adalah pengakuan eksistensi konselor. Meskipun secara yuridis keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong, tutor pamong belajar, widyaiswara, instruktur sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat )6) m UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Juga tercantum PP Nomor 28 Tahun 1990 pasal 27 ayat (2) dengan sebutan guru pembimbing. Akan tetapi dari pasal-pasal tersebut, pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara tenaga pendidik satu dengan yang lainnya itu, ternyata tidak dilanjutkan dengan spesifikasi konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang cermat, karena yang diatur dalam pasal-pasal berikutnya hanyalah konteks tugas dan ekspektasi kinerja dari mayoritas pendidik yang menggunakan pembelajaran sebagai kontek layanan. Hal tersebut dapat dicermati pada pasal 39 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang berbunyi : pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Dengan spesifikasi kontek tugas dan ekspektasi kinerja yang hanya merujuk kelompok pendidik yang menggunakan materi pembelajaran, maka konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan yang merupakan sosok layanan ahli yang unik yang berbeda dari sosok layanan ahli keguruan meskipun sama-sama bertugas dalam setting pendidikan, tidak ditemukan pengaturannya dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Banyak terjadi kejanggalan dan ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah pusat tentang profesi bimbingan dan konseling. Ketidakjelasan semakin dirasakan justru pada saat kita sedang berupaya mereformasi pendidikan kita. Contoh kasus terbaru, ketika digulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga saat ini sama sekali belum memberikan kejelasan tentang bagaimana bimbingan dan konseling seharusnya dilaksanakan. Dalam dokumen KTSP, kita hanya menemukan secuil informasi yang membingungkan tentang bimbingan dan konseling yaitu berkaitan dengan kegiatan Pengembangan Diri.
Begitu juga, dalam kebijakan sertifikasi guru, banyak konselor dan pengawas satuan pendidikan yang kebingungan untuk memahami tentang penilaian perencanaan dan pelaksanaan konseling, karena format penilaian yang disediakan tidak sepenuhnya cocok untuk digunakan dalam penilaian perencanaan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Tentunya masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan di lapangan, baik yang bersifat konseptual-fundamental maupun teknis operasionalnya.
Ketidakjelasan kebijakan tentang profesi bimbingan dan konseling pada tataran pusat ini akhirnya mengimbas pula pada kebijakan pada tataran di bawahnya (messo dan mikro), termasuk pada tataran operasional yang dilaksanakan oleh para konselor di sekolah. Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa Bimbingan dan Konseling di sekolah kurang optimal, maka kita bisa melihat sumber permasalahannya, yang salah-satunya adalah ketidakjelasan dalam kebijakan pemerintah terhadap profesi bimbingan dan konseling.
Jika ke depannya, bimbingan dan konseling masih tetap akan dipertahankan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, kiranya perlu ada komitmen dan good will dari pemerintah untuk secepatnya menata profesi konseling, salah satunya dengan berupaya melibatkan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) selaku wadah yang menaungi para konselor dan para pakar konseling untuk duduk bersama merumuskan bagaimana sebaiknya kebijakan konseling untuk hari ini dan ke depannya.
D.    Desentralisasi Pendidikan
Pemberian aksentuasi kepada pemerintah daerah dalam Undang-Undang Sisdiknas, diharapkan nantinya pengembangan pendidikan di tingkat lokal akan lebih efektif jika dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama kelompok masyarakat. Sebab jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah, berbeda satu sama lain. Itulah sebabnya pasal  50 ayat (4) disebutkan bahwa pemerintah kabupaten / kota berkewajiban mengelola satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
Jika setiap pasal dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut dapat dilaksanakan secara baik dan konsekuen, maka lambat laun kemelut-kemelut yang mengitari dunia pendidikan kita selama ini dapat di atasi dan diantisipasi. Oleh karena itu, untuk merealisasikan semua itu memerukan dukungan dan kerja sama dari semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak. Selain itu, otonomi juga berimplikasi pada pengembangan pendidikan keagamaan di Indonesia. Otonomi pendidikan ini lebih ditekankan pada pembentukan strategi dalam menghadapi tantangan modernitas. Munculnya otonomi daerah sekaligus otonomi pendidikan memberikan kerja keras bagi pemerintah daerah dalam menentukan arah pendidikan ke depan.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal otonomi pendidikan adalah mewujudkan organisasi pendidikan di seluruh kabupaten / kota yang lebih demokratis, transparan, efisien, accountable, serta mendorong partisipasi masyarakat. Dalam konteks otonomisasi pendidikan, pembelajaran yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan pemerintah pada posisi sebagai fasilitator dan bukan pengendali. Sehingga, pemetaan utama pembelajaran adalah guru sebagai pengajar dan murid sebagai yang belajar. Murid atau peserta didik hendaknya diberi hak untuk mendapatkan pengajaran yang sesuai dengan pilihannya dan diperlakukan sesuai dengan potensi dan prestasinya.
Semangat desentralisasi pendidikan yang sementara ini dianggap merupakan konsep yang baik dalam pengelolaan pendidikan perlu didukung dan dimaknai secara benar. Pemerintah daerah sebagai pihak yang menerima pelimpahan wewenang tidak hanya mengedepankan haknya tetapi juga yang lebih penting adalah melaksanakan kewajiban yang melekat pada wewenang yang diberikan dengan kesungguhan hati. Managemen berbasis sekolah sebagai bentuk pelaksanaan otonomi pendidikan di tingkat sekolah juga harus selalu didorong untuk dapat terwujud.
E.     Ujian Nasional
Kebijakan pemerintah tentang ujian nasional ini banyak menimbulkan pro dan kontra, baik dalam tataran konsep teori pendidikan, kajian yuridis maupun dalam implementasinya di lapangan. Dalam kesempatan ini akan penulis ketengahkan pandangan dari segi yuridis tentang penyelenggaraan ujian nasional
Keikutsertaan pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga mandiri dalam melakukan evaluasi sebagaimana tercantum pada pasal 58 ayat (2) dan Pasal 59 Ayat (1) UU Sisdiknas adalah evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, jenis pendidikan dan program pendidikan. Kalaupun ada kewenangan mengevaluasi peserta didik, tentu yang dimaksud bukanlah terhadap hasil belajar dan kelulusannya, melainkan evaluasi terhadap kondisi peserta didik yang dapat mendukung terlaksananya proses pembelajaran. Taruhlah seperti rasio peserta didik terhadap guru, pemetaan sosial-ekonomi, kelompok dan antarwilayah / daerah. Dengan begitu, hak mutlak untuk menilai proses pembelajaran dan menentukan kelulusan peserta didiknya tetap menjadi milik pendidik karena secara pedagogis para pendidiklah yang paling atau tentang peserta didiknya.
Kejanggalan kedua adalah hilangnya independen pada Pasal 73 ayat (3) tentang sifat BSNP. Bunyi lengkapnya "dalam menjalankan tugas dan funginya BSNP bersifat mandiri dan profesional". Pasal inilah yang dijadikan alasan mengapa BSNP tidak sepenuhnya independen, tetapi hanya sebagai pembantu menteri seperti tertera pada Pasal 76 ayat (1).
Kedua pasal di atas sepintas terlihat wajar. Tetapi, menjadi sangat janggal ketika pasal tersebut secara tertib hukum seharusnya menjadi turunan dari ketentuan umum Pasal 1 Butir 22 yang secara tegas menyebutkan "badan Standar Nasional yang selanjutnya disebut BSNP adalah badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan". Karena ketentuan umum merupakan klausul pokok yang turunannya tertuang dalam pasal-pasal, konsekuensinya BSNP seharusnya adalah badan independen.
Kejanggalan ketiga adalah tentang kelulusan Pasal 72 ayat (1) d menyebutkan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah memenuhi empat persyaratan. Pertama, telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran. Kedua, memperoleh nilai minimal untuk pelajaran agama, akhlak mulia, kewarganegaraan dan berkepribadian, estetika, jasmani dan kesehatan. Ketiga dan keempat lulus ujian sekolah dan lulus ujian nasional.
Syarat kelulusan pertama dan kedua sepintas mencoba untuk menghargai penilaian proses. Namun, ketika peserta didik harus dihadapkan pada syarat lulus ujian sekolah dan ujian nasional, maka pada akhirnya proses pembelajaran menjadi tidak lagi berarti. Sebab seperti yang terlihat pada kenyataan sehari-hari, sebagian besar sekolah semua kegiatan pembelajaran tercurah hanya untuk mempelajari cara menyiasati soal-soal ujian semata. Akhirnya, proses pembelajaran menjadi kering dari suasana kemanusiaan.
Penilaian hasil belajar peserta didik dengan sistem Ujian nasional membawa dampak yang sangat besar dalam praktik pendidikan formal, baik dampak yang positif maupun negatif. Oleh karena itu perlu evaluasi dan dikaji secara komprehensif, baik dari segi hukum, sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan.
BAB. IV
PENUTUP
Pendidikan pada hakikatnya adalah proses menemukan identitas seseorang. Proses pendidikan yang benar adalah yang membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, atau penyadaran akan kemampuan seseorang. Meski demikian, pendidikan dapat pula berbentuk sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang. Hal ini akan terjadi bila pendidikan dijadikan alat oleh sistem penguasa yang ada untuk mengungkung kebebasan individu. Sistem penguasa yang dimaksudkan adalah pemerintah, yang melestarikan kekuasaan melalui lembaga-lembaga pendidikan. Ketika suatu sistem kekuasaan memaksakan kehendaknya dan merampas kemerdekaan individu berserta kebudayaan, maka pendidikan telah berubah menjadi alat oppressive bagi perkembangan peserta didik. Seharusnya proses pendidikan adalah proses yang berjalan dalam suasana kedamaian dalam kehidupan manusia tanpa kekerasan. seperti yang dimaksudkan oleh Paulo freire, proses pendidikan secara hirarki diharapkan untuk mencapai koentisasi humanisasi, yakni pembebasan dalam memanusiakan manusia, atau pendidikan seutuhnya. Pendidikan dimaksudkan dalam hal ini dapat berfikir bebas tanpa ada tekanan , yang pada akhirnya menghasilkan pengetahuan ,tidak hanya mengikuti arus . seperti yang sedang dialami indonesia saat ini.
Sebagaimana bisa kita pahami bahwa pendidikan di manapun dan kapanpun merupakan upaya khas manusia, sehingga pendidikan itu pada prinsipnya dilaksanakan dari, oleh dan untuk manusia sebagai anggota masyarakat. Oleh karenanya basis pendidikan seharusnya diorientasikan kepada harkat dan martabat manusia yang bersifat komprehensif dan universal. Kalau semua penyelenggara negara ( legislatif dan eksekutif ) memahami konsep ini secara lebih mendalam maka produk – produk hukum yang berkaitan dengan pendidikan akan tercipta secara baik dan sesuai dengan sasaran dan pengelola pendidikan. Di sisi lain pemerintah ( eksekutif ) sebagai pelaksana dan penegak hukum yang diciptakan oleh legislatif akan melaksanakan dan menerapkannya secara konsekwen tanpa ada penyimpangan.

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas. 2008, Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung : BK UPI.
Made Pidarta. 2004, Managemen Pendidikan Indonesia,  Jakarta : Rineka Cipta
Made Pidarta. 2007, Landasan Kependidikan : Stimulus Ilmu Bercorak Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta
Muhammad Ali. 2007, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Jakarta : Rineka Cipta
Nana Syaodih S. 2009,  Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Jakarta :  Rineka Cipta
Prayitno, 2009, Dasar Teori dan Praksis Pendidikan, Jakarta : Kompas Gramedia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar dan  Menengah.
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.






Tidak ada komentar: