BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan sebagai kegiatan pembelajaran telah dilakukan seusia manusia itu sendiri sebagai pelaku pendidikan. Namun dalam praktik pendidikan yang universal, akan ditemukan keberagaman sebanyak keragaman komunitas manusia. Itulah sebabnya pendidikan hanya ditemukan unsure universalnya saja. Keragaman pendidikan yang terjadi di atas bumi ini disebabkan karena perbedaan cara memberikan makna terhadap pendidikan itu sendiri sebagai gejala social.
Dalam masyarakat yang liberal, pendidikan dipandang sebagai kegiatan investasi sehingga penyelenggaraan pendidikan umumnya sangat mahal, sedangkan dalam masyarakat yang lain pendidikan dipandang sebagai proses civilisasi, yaitu proses untuk menjadikan anak didik sebagai warga masyarakat yang baik. Praktik demikian sesungguhnya tidak dominan sebab tdak jarang dalam masyarakat mengkombinasikan antara kepentingan pendidikan sebagai investasi tetapi juga sebagai proses civilisasi dan humanisasi. Karena apabila ingin dilakukan dikotomi secara rigrid maka sangat sulit memberikan contoh mana pendidikan yang murni sebagai investasi dan mana yang civilisasi. Di Indonesia, pendidikan merupakan proses yang multitujuan yang bertujuan, yaitu untuk penyiapan tenaga kerja, kepentingan politik maupun untuk karakter building.
Dalam proses pertumbuhan menjadi
negara maju, Indonesia telah mengalami berbagai perubahan, termasuk bidang
pendidikannya. Perubahan-perubahan itu merupakan hal yang wajar karena
perubahan selalu dipengaruhi oleh berbagai factor yang bisa berganti selaras
dengan perkembangan serta tuntutan zaman pada saat itu. Tidaklah mengherankan
apabila system pendidikan yang kita anut segera setelah merdeka adalah sistem kontinental karena kontak
kita pada saat itu adalah dengan negara-negara Eropa,
khususnya negeri Belanda. Pengambil alihan sistem kontinental
itu tentu kita lakukan dengan penuh kesadaran bahwa sistem tersebut belum tentu
cocok dan langgeng dengan perkembangan pendidikan yang kita kehendaki.
Setelah kita merdeka dan menerapkan sistem pendidikan kontinental sekitar lima windu, kita dapati bahwa pendidikan dengan sistem Eropa tidak cocok lagi dengan tuntutan perkembangan zaman
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam makalah
ini adalah:
1. Bagaimanakah sejarah pendidikan di
dunia?
2. Bagaimanakah sejarah pendidikan di
Indonesia?
3. Bagaimanakah implementasi sejarah
pendidikandunia dalam pendidikan di Indonesia?
C. C. Tujuan & Manfaat
Berdasarkan uraian di atas, tujuan dan manfaat dari
penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui sejarah pendidikan di
dunia
2. Mengetahui sejarah pendidikan di
Indonesia
3. Mengetahui bagaimana implementasi
sejarah pendidikan dunia dalam pendidikan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH PENDIDIKAN DUNIA
Perjalanan sejarah pendidikan dunia telah lama berlangsung, mulai
dari zaman Hellenisme (150 SM-500), zaman pertengahan (500-1500), zaman
Humanisme atau Renaissance serta zaman Reformasi dan Kontra Reformasi
(1600-an). Namun pendidikan pada zaman ini belum memberikan kontribusinya pada
pendidikan zaman sekarang (Pidarta, 2007: 110). Oleh karena itu, pendidikan
pada zaman ini tidak dijabarkan dalam makalah ini.
1. Zaman Realisme.
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang didukung oleh
penemuan-penemuan ilmiah baru, pendidikan diarahkan pada kehidupan dunia dan
bersumber dari keadaan dunia pula, berbeda dengan pendidikan-pendidikan
sebelumya yang banyak berkiblat pada dunia ide, dunia surga dan akhirat.
Realisme menghendaki pikiran yang praktis (PIdarta, 2007: 111-14). Menurut
aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh tidak hanya melalui penginderaan
semata tetapi juga melalui persepsi penginderaan (Mudyahardjo, 2008: 117).
Tokoh-tokoh pendidikan zaman Realisme ini adalah Francis Bacon dan
Johann Amos Comenius. Sedangkan prinsip-prinsip pendidikan yang dikembangkan
pada zaman ini meliputi:
·
Pendidikan lebih dihargai
daripada pengajaran,
·
Pendidikan harus menekankan
aktivitas sendiri
·
Penanaman pengertian lebih
penting daripada hafalan
·
Pelajaran disesuaikan dengan
perkembangan anak
·
Pelajaran harus diberikan satu
per satu, dari yang paling mudah
·
Pengetahuan diperoleh dari
metode berpikir induktif (mulai dari menemukan fakta-fakta khusus kemudian
dianalisa sehingga menimbulkan simpulan) dan anak-anak harus belajar dari
realita alam
·
Pendidikan bersifat demokratis
dan semua anak harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar (ibid.:
111-14).
2. Zaman Rasionalisme
Aliran ini memberikan
kekuasaan pada manusia untuk berfikir sendiri dan bertindak untuk dirinya,
karena itu latihan sangat diperlukan pengetahuannya sendiri dan bertindak untuk
dirinya. Paham ini muncul karena masyarakat dengan kekuatan akalnya dapat
menumbangkan kekuasaan Raja Perancis yang memiliki kekuasaan absolut.
Tokoh pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John Locke. Teorinya yang terkenal adalah leon Tabularasa, yaitu mendidik seperti menulis di atas kertas putih dan dengan kebebasan dan kekuatan akal yang dimilikinya manusia digunakan unutk membentuk pengetahuannya sendiri. Teori yang membebaskan jiwa manusia ini bisa mengarah kepada hal-hal yang negatif, seperti intelektualisme, individualisme, dan materialisme (ibid.: 114-15).
Tokoh pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John Locke. Teorinya yang terkenal adalah leon Tabularasa, yaitu mendidik seperti menulis di atas kertas putih dan dengan kebebasan dan kekuatan akal yang dimilikinya manusia digunakan unutk membentuk pengetahuannya sendiri. Teori yang membebaskan jiwa manusia ini bisa mengarah kepada hal-hal yang negatif, seperti intelektualisme, individualisme, dan materialisme (ibid.: 114-15).
3. Zaman Naturalismo
Sebagai reaksi terhadap
aliran Rasionalisme, pada abad ke-18 muncullah aliran Naturalisme dengan
tokohnya, J. J. Rousseau. Aliran ini menentang kehidupan yang tidak wajar
sebagai akibat dari Rasionalisme, seperti korupsi, gaya hidup yang dibuat-buat
dan sebagainya. Naturalisme menginginkan keseimbangan antara kekuatan rasio
dengan hati dan alamlah yang menjadi gurr, sehingga pendidikan dilaksanakan
secara alamiah (pendidikan alam) (ibid.: 115-16). Naturalisme menyatakn bahwa
manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhannya, dapat menemukan jalan kebenaran
di dalam dirinya sendiri (Mudyaharjo, 2008: 118).
4. Zaman Developmentalisme
Zaman Developmentalisme berkembang pada abad ke-19. Aliran ini
memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga aliran ini
sering disebut gerakan psikologis dalam pendidikan. Tokoh-tokoh aliran ini
adalah: Pestalozzi, Johan Fredrich Herbart, Friedrich Wilhelm Frobel, dan
Stanley Hall. Konsep pendidikan yang dikembangkan oleh aliran ini meliputi:
·
Mengaktualisasi semua potensi
anakyang masih laten, membentuk watak susila dan kepribadian yang harmonis,
serta meningkatkan derajat social manusia.
·
Pengembangan ini dilakukan
sejalan dengan tingkat-tingkat perkembangan anak (Pidarta, 2007: 116-20) yang
melalui observasi dan eksperimen (Mudyahardjo, 2008: 114)
·
Pendidikan adalah pengembangan
pembawaan (nature) yang disertai asuhan yang baik (nurture).
·
Pengembangan pendidikan
mengutamakan perbaikan pendidikan dasar dan pengembangan pendidikan universal
(Mudyaharjo, 2008: 114).
5. Zaman Nasionalisme
Zaman nasionalisme muncul pada abad ke-19 sebagai upaya membentuk
patriot-patriot bangsa dan mempertahankan bangsa dari kaum imperialis.
Tokoh-tokohnya adalah La Chatolais (Perancis), Fichte (Jerman), dan Jefferson
(Amerika Serikat). Konsep pendidikan yang ingin diusung oleh aliran ini adalah:
·
Menjaga, memperkuat, dan
mempertinggi kedudukan Negara
·
Mengutamakan pendidikan
sekuler, jasmani, dan kejuruan
·
Materi pelajarannya meliputi:
bahasa dan kesusastraan nasional, pendidikan kewarganegaraan, lagu-lagu
kebangsaan, sejarah dan geografi Negara, dan pendidikan jasmani.
Akibat negatif dari pendidikan ini adalah munculnya chaufinisme,
yaitu kegilaan atau kecintaan terhadap tanah air yang berlebih-lebihan di
beberapa Negara, seperti di Jerman, yang akhirnya menimbulkan pecahnya Perang
Dunia I (Pidarta, 2007: 120-21).
6. Zaman Liberalisme
Positivisme, dan Individualisme. Zaman ini lahir pada abad ke-19.
Liberalisme berpendapat bahwa pendidikan adalah alat untuk memperkuat kedudukan
penguasa/pemerintahan yang dipelopori dalam bidang ekonomi oleh Adam Smith dan
siapa yang banyak berpengetahuan dialah yang berkuasa yang kemudian mengarah
pada individualisme. Sedangkan positivisme percaya kebenaran yang dapat diamati
oleh panca indera sehingga kepercayaan terhadap agama semakin melemah. Tokoh
aliran positivisme adalah August Comte (ibid.: 121).
7. Zaman Sosialisme
Aliran sosial dalam pendidikan muncul pada abad ke-20 sebagai reaksi
terhadap dampak liberalisme, positivisme, dan individualisme. Tokoh-tokohnya
adalah Paul Nartrop, George Kerchensteiner, dan John Dewey. Menurut aliran ini,
masyarakat memiliki arti yang lebih penting daripada individu. Ibarat atom,
individu tidak ada artinya bila tidak berwujud benda. Oleh karena itu,
pendidikan harus diabdikan untuk tujuan-tujuan sosial (ibid.: 121-24).
B.
SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA
Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang.
Pendidikan itu telah ada sejak zaman kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman
pengaruh agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan
zaman merdeka (ibid.: 125). Mudyahardjo (2008) dan Nasution (2008) menguraikan
masing-masing zaman tersebut secara lebih terperinci. Berikut ini adalah uraian
dan rincian perjalanan sejarah pendidikan Indonesia:
1.
Zaman Pengaruh Hindu dan Budha (Hinduisme and Budhisme)
datang ke Indonesia
Sekitar abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme merupakan dua agama yang
berbeda, namun di Indonesia keduanya memiliki kecenderungan sinkretisme, yaitu
keyakinan mempersatukan figur Syiwa dengan Budha sebagai satu sumber Yang Maha
Tinggi. Motto pada lambang Negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika , secara
etimologis berasal dari keyakinan tersebut (Mudyahardja, 2008: 215). Tujuan
pendidikan pada zaman ini sama dengan tujuan kedua agama tersebut. Pendidikan
dilaksanakan dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan bergama Hindu dan
Budha (ibid.: 217)
2. Zaman Pengaruh Islam
(Tradisional) Islam mulai masuk ke Indonesia
Pada akhir abad ke-13 dan mencakup sebagian besar Nusantara pada
abad ke-16. Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan dengan
perkembangan penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai agama maupun sebagai
arus kebudayaan (ibid.: 221). Pendidikan Islam pada zaman ini disebut
Pendidikan Islam Tradisional. Tujuan pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan
hidup Islam, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT sesuai dengan ajaran
yang disampaikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. untuk mencapai kebahagiaan di dunia
dan akhirat. (ibid.: 223)
Pendidikan Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan secara terpusat, namun banyak diupayakan secara perorangan melalui para ulamanya di suatu wilayah tertentu dan terkoordinasi oleh para wali di Jawa, terutama Wali Sanga.Sedangkan di luar Jawa, Pendidikan Islam yang dilakukan oleh perseorangan yang menonjol adalah di daerah Minangkabau (ibid.: 228-41).
Pendidikan Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan secara terpusat, namun banyak diupayakan secara perorangan melalui para ulamanya di suatu wilayah tertentu dan terkoordinasi oleh para wali di Jawa, terutama Wali Sanga.Sedangkan di luar Jawa, Pendidikan Islam yang dilakukan oleh perseorangan yang menonjol adalah di daerah Minangkabau (ibid.: 228-41).
3. Zaman Pengaruh Nasrani
(Katholik dan Kristen)
Bangsa Portugis pada abad ke-16 bercita-cita menguasai perdagangan
dan perniagaan Timur-Barat dengan cara menemukan jalan laut menuju dunia Timur
serta menguasai bandar-bandar dan daerah-daerah strategis yang menjadi mata
rantai perdagaan dan perniagaan (Mudyahardjo, 2008: 242). Di samping mencari
kejayaan (glorious) dan kekayaan (gold), bangsa Portugis datang ke Timur
(termasuk Indonesia) bermaksud pula menyebarkan agama yang mereka anut, yakni
Katholik (gospel). Pada akhirnya pedagang Portugis menetap di bagian timur
Indonesia tempat rempah-rempah itu dihasilkan. Namun kekuasaan Portugis melemah
akibat peperangan dengan raja-raja di Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh
Belanda pada tahun 1605 (Nasution, 2008: 4). Dalam setiap operasi perdagangan,
mereka menyertakan para paderi misionaris Paderi yang terkenal di Maluku,
sebagai salah satu pijakan Portugis dalam menjalankan misinya, adalah
Franciscus Xaverius dari orde Jesuit.
Orde ini didirikan oleh Ignatius Loyola (1491-1556) dan memiliki
tujuan yaitu segala sesuatu untuk keagungan yang lebih besar dari Tuhan
(Mudyahardjo, 2008: 243). Yang dicapai dengan tiga cara: memberi khotbah,
memberi pelajaran, dan pengakuan. Orde ini juga mempunyai organisasi pendidikan
yang seragam: sama di mana pun dan bebas untuk semua. Xaverius memandang
pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran agama (Nasution, 2008: 4).
Sedangkan pengaruh Kristen berasal dari orang-orang Belanda yang
datang pertama kali tahun1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan
tujuan untuk mencari rempah-rempah. Untuk menghindari persaingan di antara
mereka, pemerintah Belanda mendirikan suatu kongsi dagang yang disebut VOC
(vreenigds Oost Indische Compagnie) atau Persekutuan Dagang Hindia Belanda
tahun 1602 (Mudyahardjo, 2008: 245).
Sikap VOC terhadap pendidikan adalah membiarkan terselenggaranya Pendidikan Tradisional di Nusantara, mendukung diselenggarakannya sekolah-sekolah yang bertujuan menyebarkan agama Kristen. Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh VOC terutama dipusatkan di bagian timur Indonesia di mana Katholik telah berakar dan di Batavia (Jakarta), pusat administrasi colonial. Tujuannya untuk melenyapkan agama Katholik dengan menyebarkan agama Kristen Protestan, Calvinisme (Nasution, 2008: 4-5).
Sikap VOC terhadap pendidikan adalah membiarkan terselenggaranya Pendidikan Tradisional di Nusantara, mendukung diselenggarakannya sekolah-sekolah yang bertujuan menyebarkan agama Kristen. Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh VOC terutama dipusatkan di bagian timur Indonesia di mana Katholik telah berakar dan di Batavia (Jakarta), pusat administrasi colonial. Tujuannya untuk melenyapkan agama Katholik dengan menyebarkan agama Kristen Protestan, Calvinisme (Nasution, 2008: 4-5).
4. Zaman Kolonial Belanda
VOC pada perkembangannya diperkuat dan dipersenjatai dan dijadikan
benteng oleh Belanda yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di
sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi
basis politik dan territorial. Setelah pecah perang kolonial di berbagai daerah
di tanakh air, akhirnya Indonesia jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan Belanda
(ibid.: 3).
Pada tahun 1816 VOC ambruk dan pemerintahan dikendalikan oleh para
Komisaris Jendral dari Inggris. Mereka harus memulai system pendidikan dari
dasar kembali, karena pendidikan pada zaman VOC berakhir dengan kegagalan
total. Ide-ide liberal aliran Ufklarung atau Enlightement, yang mana mengatakan
bahwa pendidikan adalah alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social, banyak
mempengaruhi mereka (ibid.: 8). Oleh karena itu, kurikulum sekolah mengalami
perubahan radikal dengan masuknya ide-ide liberal tersebut yang bertujuan
mengembangkan kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial. Pada
awalnya kurikulum ini hanya diterapkan untuk anak-anak Belanda selama setengah
abad ke-19. Setelah tahun1848 dikeluarkan peraturan pemerintah yang menunjukkan
bahwa pemerintah lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih besar atas
pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil perdebatan di parlemen Belanda dan
mencerminkan sikap liberal yang lebih menguntungkan rakyat Indonesia (ibid.:
10-13).
Pada tahun 1899 terbit sebuah atrikel oleh Van Deventer berjudul
Hutang Kehormatan dalam majalah De Gids. Ia menganjurkan agar pemerintahnnya
lebih memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Ekspresi ini kemudian dikenal
dengan Politik Etis dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
irigasi, transmigrasi, reformasi, pendewasaan, perwakilan yang mana semua ini
memerlukan peranan penting pendidikan (ibid.: 16). Di samping itu, Van Deventer
juga mengembangkan pengajaran bahasa Belanda. Menurutnya, mereka yang menguasai
Belanda secara kultural lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi yang lainnya
(ibid.: 17).
Sejak dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih
pesat dalam bidang pendidikan selama beberapa dekade. Pendidikan yang
berorientasi Barat ini meskipun masih bersifat terbatas untuk beberapa golongan
saja, antara lain anak-anak Indonesia yanorang tuanya adalah pegawai pemerintah
Belanda, telah menimbulkan elite intelektual baru. Golongan baru inilah yang
kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan. Perjuangan yang
masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa sejak berdirinya
Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda
tahun 1928.
Setelah itu tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei
dengan Indonesisch Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman
Siswa-nya, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yang
semuanya mendidik anak-anak agar bisa mandiri dengan jiwa merdeka (Pidarta,
2008: 125-33).
5. Zaman Kolonial Jepang
Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Jepang tetap
berlanjut sampai cita-cita untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang
menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang
menyerah dan terus mengobarkan semangat 45 di hati mereka.
Meskipun demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang
di Indonesia. Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme pendidikan
dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi
semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan
oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor, dan
dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa Indonesia untuk merealisasi
Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 cita-cita bangsa Indonesia
menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan kepada dunia.
6. Zaman Kemerdekaan
(Awal)
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan bangsa Indonesia tidak
berhenti sampai di sini karena gangguan-gangguan dari para penjajah yang ingin
kembali menguasai Indonesia dating silih berganti sehingga bidang pendidikan
pada saai itu bukanlah prioritas utama karena konsentrasi bangsa Indonesia
adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan perjuangan
yang amat berat.
Tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang yang
mengatur pendidikan. Sistem persekolahan di Indonesia yang telah dipersatukan
oleh penjajah Jepang terus disempurnakan. Namun dalam pelaksanaannya belum
tercapai sesuai dengan yang diharapkan bahkan banyak pendidikan di
daerah-daerah tidak dapat dilaksanakan karena faktor keamanan para pelajarnya.
Di samping itu, banyak pelajar yang ikut serta berjuang mempertahankan
kemerdekaan sehingga tidak dapat bersekolah.
7. Zaman ‘Orde Lama’
Setelah gangguan-gangguan itu mereda, pembangunan untuk mengisi
kemerdekaan mulai digerakkan. Pembangunan dilaksanakan serentak di berbagai
bidang, baik spiritual maupun material. Setelah diadakan konsolidasi yang
intensif, system pendidikan Indonesia terdiri atas: Pendidikan Rendah,
Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Dan pendidikan harus membimbing
para siswanya agar menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Sesuai dengan
dasar keadilan sosial, sekolah harus terbuka untuk tiap-tiap penduduk negara. Di
samping itu, Pendidikan Nasional zaman ‘Orde Lama’ adalah pendidikan yang dapat
membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat menyelesaikan revolusinya baik di
dalam maupun di luar; pendidikan yang secara spiritual membina bangsa yang
ber-Pancasila dan melaksanakan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Kepribadian Indonesia, dan merealisasikan ketiga kerangka tujuan
Revolusi Indonesia sesuai dengan Manipol yaitu membentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia berwilayah dari Sabang sampai Merauke, menyelenggarakan
masyarakat Sosialis Indonesia yang adil dan makmur, lahir-batin, melenyapkan
kolonialisme, mengusahakan dunia baru, tanpa penjajahan, penindasan dan
penghisapan, ke arah perdamaian, persahabatan nasional yang sejati dan abadi
(Mudyahardjo, 2008: 403).
8. Zaman ‘Orde Baru’
Orde Baru dimulai setelah penumpasan G-30S pada tahun 1965 dan
ditandai oleh upaya melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Haluan
penyelenggaraan pendidikan dikoreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh Orde Lama yaitu dengan menetapkan pendidikan agama menjadi mata
pelajaran dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Menurut Orde Baru, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam sekolah dan di luar sekolah dan berlangsung
seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumahtangga, sekolah dan
masyarakat(Ibid.: 422, 433). Pendidikan pada masa memungkinkan adanya
penghayatan dan pengamalam Pancasila secara meluas di masyarakat, tidak hanya
di dalam sekolah sebagai mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan (ibid.:
434).
Di samping itu, dikembangkan kebijakan link and match di bidang
pendidikan. Konsep keterkaitan dan kepadanan ini dijadikan strategi operasional
dalam meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pasar (Pidarta, 2008:
137-38). Inovasi-inovasi pendidikan juga dilakukan untuk mencapai sasaran
pendidikan yang diinginkan. Sistem pendidikannya adalah sentralisasi dengan berpusat
pada pemerintah pusat.
Namun demikian, dalam dunia pendidikan pada masa ini masih memiliki beberapa kesenjangan. Buchori dalam Pidarta (2008: 138-39) mengemukakan beberapa kesenjangan, yaitu (1) kesenjangan okupasional (antara pendidikan dan dunia kerja), (2) kesenjangan akademik (pengetahuan yang diperoleh di sekolah kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari), (3) kesenjangan kultural (pendidikan masih banyak menekankan pada pengetahuan klasik dan humaniora yang tidak bersumber dari kemajuan ilmu dan teknologi), dan (4) kesenjangan temporal (kesenjangan antara wawasan yang dimiliki dengan wawasan dunia terkini).
Namun demikian, dalam dunia pendidikan pada masa ini masih memiliki beberapa kesenjangan. Buchori dalam Pidarta (2008: 138-39) mengemukakan beberapa kesenjangan, yaitu (1) kesenjangan okupasional (antara pendidikan dan dunia kerja), (2) kesenjangan akademik (pengetahuan yang diperoleh di sekolah kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari), (3) kesenjangan kultural (pendidikan masih banyak menekankan pada pengetahuan klasik dan humaniora yang tidak bersumber dari kemajuan ilmu dan teknologi), dan (4) kesenjangan temporal (kesenjangan antara wawasan yang dimiliki dengan wawasan dunia terkini).
Namun demikian keberhasilan pembangunan yang menonjol pada zaman ini
adalah (1) kesadaran beragama dan kenagsaan meningkat dengan pesat, (2)
persatuan dan kesatuan bangsa tetap terkendali, pertumbuhan ekonomi Indonesia
juga meningkat (Pidarta, 2008: 141).
9. Zaman ‘Reformasi’
Selama Orde Baru berlangsung, rezim yang berkuasa sangat leluasa
melakukan hal-hal yang mereka inginkan tanpa ada yang berani melakukan
pertentangan dan perlawanan, rezim ini juga memiliki motor politik yang sangat
kuat yaitu partai Golkar yang merupakan partai terbesar saat itu. Hampir tidak
ada kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu, termasuk kebebasan untuk
berbicara dan menyaampaikan pendapatnya (ibid.: 143).
Begitu Orde Baru jatuh pada tahun 1998 masyarakat merasa bebas
bagaikan burung yang baru lepas dari sangkarnya yang telah membelenggunya
selama bertahun-tahun. Masa Reformasi ini pada awalnya lebih banyak bersifat
mengejar kebebasan tanpa program yang jelas.
Sementara itu, ekonomi Indonesia semakin terpuruk, pengangguran
bertambah banyak, demikian juga halnya dengan penduduk miskin. Korupsi semakin
hebat dan semakin sulit diberantas. Namun demikian, dalam bidang pendidikan ada
perubahan-perubahan dengan munculnya Undang-Undang Pendidikan yang baru dan
mengubah system pendidikan sentralisasi menjadi desentralisasi, di samping itu
kesejahteraan tenaga kependidikan perlahan-lahan meningkat. Hal ini memicu peningkatan
kualitas profesional mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan
desentralisasi pendidikan juga diupayakan, misalnya MBS (Manajemen Berbasis
Sekolah), Life Skills (Lima Ketrampilan Hidup), dan TQM (Total Quality
Management).
C. IMPLIKASI SEJARAH TERHADAP KONSEP PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA.
Masa lampau memperjelas pemahaman kita tentang masa kini. Sistem
pendidikan yang kita miliki sekarang adalah hasil perkembangan pendidikan yang
tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa kita pada masa yang telah lalu
(Nasution, 2008: v).
Pembahasan tentang landasan sejarah di atas memberi implikasi konsep-konsep pendidikan sebagai berikut:
Pembahasan tentang landasan sejarah di atas memberi implikasi konsep-konsep pendidikan sebagai berikut:
1.
Tujuan Pendidikan
Pendidikan diharapkan bertujuan dan mampu mengembangkan berbagai
macam potensi peserta didik serta mengembangkan kepribadian mereka secara lebih
harmonis. Tujuan pendidikan juga diarahkan untuk mengembangkan aspek keagamaan,
kemanusiaan, kemanusiaan, serta kemandirian peserta didik. Di samping itu,
tujuan pendidikan harus diarahkan kepada hal-hal yang praktis dan memiliki
nilai guna yang tinggi yang dapat diaplikasikan dalam dunia kerja nyata.
2.
Proses Pendidikan
Proses pendidikan terutama proses belajar-mengajar dan materi
pelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik,
melaksanakan metode global untuk pelajaran bahasa, mengembangkan kemandirian
dan kerjasama siswa dalam pembelajaran, mengembangkan pembelajaran lintas
disiplin ilmu, demokratisasi dalam pendidikan, serta mengembangkan ilmu dan
teknologi.
3.
Kebudayaan Nasional
Pendidikan harus juga memajukan kebudayaan nasional. Emil Salim
dalam Pidarta(2008: 149) mengatakan bahwa kebudayaan nasional merupakan
puncak-puncak budaya daerah dan menjadi identitas bangsa Indonesia agar tidak
ditelan oleh budaya global.
4.
Inovasi
Inovasi Pendidikan Inovasi-inovasi harus bersumber dari hasil-hasil
penelitian pendidikan di Indonesia, bukan sekedar konsep-konsep dari dunia
Barat sehingga diharapkan pada akhirnya membentuk konsep-konsep pendidikan yang
bercirikan Indonesia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari rangkaian masa dalam sejarah
yang menjadi landasan historis kependidikan di Indonesia, kita dapat
menyimpulkan bahwa masa-masa tersebut memiliki wawasan yang tidak jauh berbeda
satu dengan yang lain. Mereka sama-sama menginginkan pendidikan bertujuan
mengembangkan individu peserta didik, dalam arti memberi kesempatan kepada
mereka untuk mengembangkan potensi mereka secara alami dan seperti ada adanya,
tidak perlu diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Sementara itu,
pendidikan pada dasarnya hanya memberi bantuan dan layanan dengan menyiapkan
segala sesuatunya. Sejarah juga menunjukkan betapa sulitnya perjuangan mengisi
kemerdekaan dibandingkan dengan perjuangan mengusir penjajah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar