“Bagaimana Sikap Budaya Terhadap Manusia?”
dalam perspektif (budaya member makna cultural dan makna social terhadap setiap
pemikiran dan perbuatan manusia).
PENDAHULUAN
A. Definisi Budaya
Budaya atau kebudayaan
berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa
Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin
Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan
sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Setiap
masyarakat memiliki serangkaian mitos yang mendefinisikan budayanya. Mitos
merupakan cerita yang berisi elemen simbolis yang mengekspresikan emosi dan
cita-cita budaya. Cerita-cerita berupa konflik antara dua kekuatan besar, dan
berfungsi sebagai pembimbing moral untuk anggota masyakat. Mitos yang beredar di masyarakat biasanya menunjukkan
dua hal yang saling berlawanan. Misalnya kebaikan belawanan dengan setan dan
kejahatan, alami berlawanan dengan teknologi/kimiawi dan lain-lain. Arah yang
berlawanan tersebut biasanya secara bersamaan muncul pada diri manusia dan
masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, dalam pemahaman tentang mitos
masyarakat perlu mengetahui batas-batas baik dan buruk dalam sikap dan perilaku
sehari-hari. Batasan tersebut dijelaskan dalam aturan dan norma-norma yang
berkembang dalam masyarakat. Dalam hal-hal tertentu, mitos berfungsi sebagai mediator
antara kekuatan baik dan kekuatan jahat atau antara dua kekuatan lainnya.
Misalnya banyak mitos yang beredar di masyarakat mengenai binatang yang
mempunyai kemampuan seperti manusia (misalnya kancil yang cerdik menyerupai
manusia). Mitos tersebut dimaksudkan sebagai jembatan antara kemanusiaan dan
alam semesta. Dalam praktek pemasaran, banyak sekali nama-nama binatang (yang
mempunyai mitos tertentu) digunakan sebagai merek produk. Misalnya Toyota
menggunakan nama Kijang untuk merk mobil dan Mitsubishi menggunakan Kuda.
Penggunaan
mitos sebagai cara untuk taktik pemasaran sangat sering terjadi. Di Indonesia
mitos mengenai kekuatan Bima digunakan sebagai merek produk Jamu kuat untuk
pria misalnya. Bahkan dalam kancah perpolitikan mitos mengenai akan datangnya
ratu adil dalam masyarakat Indonesia dijadikan alat untuk memperoleh dukungan
masa. Pemasar harus secara kreatif menggali mitos-mitos yang sangat dipercayai
oleh suatu masyarakat dan mitos-mitos tersebut bisa digunakan sebagai sarana
untuk menyusun strategi pemasaran. Kebudayaan
adalah sebuah lingkungan yang dibangun di atas alam secara spontan. Kebudayaan
ini ini tercipta karena dua factor yakni factor alam dan factor social. Dimana
dunia alam ditemukan dan dikonstruk oleh dunia social (termasuk agama dan
sains). Sedangkan dunia social sepenuhnya dibuat oleh manusia dalam rangka
mempertahankan hidup secara aman dan sejahtera. Selanjutnya kebudayaan social
ini melahirkan beribu-ribu budaya yang terabadikan secara histories oleh bahasa
dan tardisi, yang terbangun secara konvensional. Dengan menggunakan
symbol-simbol dengan arti-arti efektif secara local (kebudayaan local).
Selanjutnya kebudayaan ini mempengaruhi arus tingkah laku manusia, atau membawa
orang kedalam tibgkah laku religius atau tingkah laku lain yang mengandung
kekuatan (keyakinan)
Dari kondisi konkret di dalam masyarakat di atas, Edward B. taylor,
seorang antropolog, mendefinisikan kebudayaang adalah; “suatu keseluruhan
kelompok yang melibatkan bahasa, keprcayaan, seni dan moral, hokum, adat, dan
satu atau beberapa kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat Maksudnya; bahwa pengethauan yang dimiliki oleh
seseorang dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi sebuah teori yang merupakan
kegiatan ilmiah. Proses pembentukan teori berangkat dari images fundamental
tertentu mengenai kenyataan sosial.
Sedangkan Cliford Geertz mendefinisikan kebudayaan;”sebuah pola
pengertian yang diteruskan secara histories diwujudkan dengan simbol-simbol
atau sebuah sistem konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik,
dimana manusia bisa berkomunikasi, mengabadikan dan mengembangkan pengetahuan
mereka dan sikap-sikap kearah kehidupan”.[2]
Subset-subset kebudayaan menjadi
wewenang ilmu social atau ilmu tentang masyarakat yang awalnya tradisional
kemudian berubah menjadi ilmu modern seperti ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu
sejarah ilmu pemerintahan dan lain-lain.. Tujuannya adalah untuk membawa
kebudayaan ke dalam analisis ilmiah. Dari sinilah kemudian muncul konfrontasi
antara sains dan agama. Mengingat semua tingkah laku manusia (kebudayaan) tidak
bisa terhindarkan dari pola kehidupan keberagamaan mereka. Kehidupan religius
muncul lebih dahulu dibandingkan dengan ilmu-ilmu social yang dimunculkan oleh
Marxisme dan juga oleh Comte. Sedangkan Frued berpikiran bahwa kebudayaan
manusia tidak bisa lepas dari kondisi alam di mana manusia itu hidup dengan
aman.artinya alam juga ikut berperan penting dalam mengabadikan
kebudayaan. Jika kondisi alam itu tidak mendukung kontinuitas budaya maka
budaya tidak akan berkembang. Dalam buku ini Holmes berusaha mencari titik temu
antara budaya, agama dan sains. Dengan cara memadukan ketiga ilmu berdasarkan
realitas yang ada. Apakah ada hubungan antara ilmu social dengan agama?[3]
B.
Ritual Kebudayaan
Ritual budaya merupakan kegiatan-kegiatan rutin yang dilakukan oleh
sekelompok masyarakat. Ritual menggambarkan prosedur budaya yang harus
dilakukan oleh sekelompok masyarakat agar bisa memenuhi tuntutan budayanya.
Mowen (1995) mendefinisikan ritual budaya sebagai urutan-urutan tindakan yang
terstandardisasi yang secara periodik diulang, memberikan arti, dan meliputi
penggunaan simbol-simbol budaya. Ritual mempunyai beberapa kegunaan yang secara
umum mempunyai permulaan, pertengahan dan akhir proses ritual. Ritual dapat
bersifat pribadi ataupun bersifat umum. Variasinya mulai dari skala yang besar
seperti mudik lebaran sampai pada skala yang kecil seperti ziarah kubur
misalnya.
Ritual budaya berbeda dengan kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang.
Ritual budaya dilakukan secara serius dan formal, dan juga memerlukan
intensitas yang sangat dalam dari seseorang yang melakukan ritual. Sementara
itu kebiasaan tidak dilakukan secara serius dan tidak mesti dilakukan.
Kebiasaan akan sangat mudah berubah jika ada stimulus lain yang lebih menarik.
Misalnya jika Anda biasa melalui jalur jalan tertentu ketika berangkat kerja
dan Anda sudah biasa menghadapi jalan yang macet, namun ketika ada jalur jalan
lain yang lebih lowong dan lebih cepat membawa Anda ke kantor, mungkin
kebiasaan Anda akan berubah.
Setiap ritual budaya akan membutuhkan benda-benda (artifak) yang digunakan
untuk melaksanakan proses ritual. Benda-benda inilah yang oleh pengusaha
dijadikan sebagai peluang usaha. Setiap upacara ulang tahun misalnya,
benda-benda yang dibutuhkan meliputi beberapa jenis seperti permen balon, kue
dan lain-lain. Dalam upacara perkawinan misalnya banyak sekali artifak yang
diperlukan agar proses ritual perkawinan berjalan dengan baik dan memuaskan
pihak penyelenggara ritual. Benda-benda yang dibutuhkan dalam ritual perkawinan
sangat banyak dan bervariasi mulai dari gedung tempat pesta, bunga, baju
pengantin, rias pengantin gamelan tradisional, makanan, buah-buahan dan
lain-lain.
Begitu banyaknya ritual budaya yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat,
dan juga ritual itu dilaksanakan secara periodik, maka hal ini sangat menarik
bagi pemasar untuk menyediakan produk-produk khusus untuk ritual tertentu. Di
kota-kota besar, banyak sekali gedung-gedung yang disewakan untuk ritual
perkawinan atau ritual yang lainnya. Bahkan perkembangan sekarang, banyak usaha
yang mengkhususkan pada pengelolaan pesta ritual seperti ulang tahun,
perkawinan dan lain-lain yang disebut sebagai wedding organizer.
Bagi pemasang iklan, peristiwa ritual budaya dapat dijadikan tema iklan.
Misalnya saja ritual lebaran, bisa dijadikan tema iklan untuk produk sarung,
peci, dan produk-produk lainnya. Selain itu peristiwa ritual juga bisa
digunakan untuk memposisikan produk sebagai produk khusus untuk peristiwa
ritual tertentu. Misalnya produk berlian bisa diposisikan sebagai produk untuk
hadiah perkawinan anak.
C.
Simbol-Simbol Kebudayaan
Selain dengan ritual, budaya juga direpresentasikan melalui simbol-simbol
tertentu yang mempunyai arti tertentu pula. Simbol yang sama mungkin akan
mempunyai arti yang berbeda pada satu budaya dengan budaya yang lainnya.
Penggunaan simbol sebagai representasi budaya sangat sering dilakukan oleh
sekelompok masyarakat. Apa yang dipakai dan dikonsumsi oleh seseorang akan
mencerminkan budayanya. Oleh karena itu tidak salah jika ada yang mengatakan
bahwa sebenarnya manusia mengkonsumsi simbol dalam kehidupannya sehari-hari.
Dalam proses pembelian, konsumen pertama kali melakukan evaluasi dan
diakhiri keputusan pembelian, sebagian besar pertim-bangannya adalah nilai
simbolik yang bisa diperoleh dari pembelian suatu barang. Tentu saja hal ini
tidak berlaku untuk semua kategori produk, tetapi banyak sekali pembelian yang
dilakukan oleb konsumen dengan mempertimbangkan nilai-nilai simbolis.
Perusahaan sangat sering menggunakan nilai-nilai simbolis untuk
produk-produk yang dihasilkannya dengan memberi merek yang mempunyai pengertian
simbolis. Misalnya Toyota memberi merek Kijang Untuk kendaraan jenis penumpang
keluarga, karena Kijang mempunyai nilai simbolis yaitu kemampuan lari yang
sangat cepat dan lincah. Selain asosiasi dengan binatang,
simbol budaya juga bisa ditunjukkan dengan warna. Warna hitam pada berbagai
budaya mempunyai arti yang berbeda-beda. Warna hitam pada kebanyakan budaya
mempunyai arti formal. Warna biru menunjukkan kesejukan, warna putih
menunjukkan kesucian. Warna merah pada kebanyakan budaya menunjukkan keberanian
dan kegagahan. Oleh karena itu, pemasar dapat menggunakan warna-vvarna ini
sebagai dasar untuk menciptakan produk yang berkaitan dengan
kebutuhan-kebutuhan simbolis.
D.
Transformasi Budaya
Dari paparan wacana kebudayaan di atas dapat diketahui, bahwa ada banyak
peninggalan serta karya sastra umat sebelum kita yang mestinya kita ketahui.
Baik dari timur ataupun barat, misalnya saja sastra jahiliyah yang paling
populer seperti Al-mu’allaqotu’L sab’ah yaitu kumpulan syair terbaik di pasar
Ukkaz dan di tempel di dinding Kabah pada masa tersebut. Ataupun karya-karya
pada masa sesudahnya, seperti Burdahnya Ka’ab bin Zuhair juga syair Abdullah
bin Rowahah, yang digolongkan sebagai sastrawan-sastrawan pembela Islam di
zaman Rasulullah, juga syair-syair pilosofi Abu Tamam dan Abu’L Alâ Al-Ma’arri.[5]
Merupakan fakta yang sangat jelas dan tidak dipungkiri oleh para peneliti,
bahwasanya proses transformasi ataupun penterjemahan, merupakan langkah yang
sangat positif sekali untuk mengetahui peradaban umat lain, khususnya sastra. Sebagaimana
umat Islam pada masa Khilafah Abbasiyah dahulu yang banyak menterjemahkan
berbagai macam disiplin ilmu yang tidak ada pada mereka, seperti Kedokteran,
Fisika, Matematika, Kimia, dan Filsafat. Sehingga mereka pun mengembangkan
ilmu-ilmu tersebut, dengan landasan salah satu hadits Rasulullah Uthlubu’L
‘ilma walau bi’L shîn, yang artinya, tututlah ilmu walaupun ke negeri Cina.
Dan proses tranformasi ini pun sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan
pola pikir ilmuan Islam dalam memahami konteks agama, juga menyebabkan
terbentuknya berbagai macam kelompok, seperti Nuhatu’L bashroh, atau ahli
Mantiq karena mereka cenderung menggunakan istilah-istilah Mantiq. Pokoknya
mereka telah mengambil manfaat dari usaha-usaha mereka dan juga umat lain yang
mempelajari bahasa mereka. Tidak mustahil kita pun bisa demikian. Kenapa
tidak?! Mentransfer karya bangsa lain baik Arab ataupun Barat, dengan
memberikan corak pembaharuan dan bukan saja memindahkan. Mengulangi kembali apa
yang sudah dicapai umat Islam Arab dulu dengan metode dan sistem yang lebih
sempurna, khusunya dalam bidang sastra. Kalaupun ada sebagian golongan yang
mencemaskan, akan identitas peradaban dan sastra kita dan ditakutkan akan
terkikis serta akan masuk gejala-gejala kebudayaan Barat yang serba pulgar.
Sesungguhnya kita dituntut untuk selalu kritis bukan hanya menerima dan
mengambil, agar tidak terpuruk dalam krisis identitas dan lebih mencintai
budaya asing.
Dan pada dasarnya di dalam transformasi sastra ataupun budaya tidak ada
bahaya, karena bahaya itu sebenarnya timbul dari kesalahan kita dalam memilih,
memahami dan beraspirasi. Maka ketika kita dalam tiga hal tadi harus selalu
ingat terhadap ayat yang mengatakan “falyanzhur ayyuhã azkâ tho’âman
falya’tikum bi rizqin minhu wal yatalatthaf” (Qs. Al Kahfi:19).
E.
Individu dan Masyarakat
Teori di dalam ilmu social tidak
pernah mencapai consensus sebagaimana teori atom, teori genetic setelah New
Ton, Einstein, dan Darwin. Pada waktu yang sama teori social kadang-kadang
dapat menjadi megah dan dogmatik, namun juga bisa menerima perkembangan (lebih
terbuka) dengan menyesuaikan kondisi masyarakat, ketika masyarakat berubah
menuju kearah isu-isu religius.[4]
Menurut Aguste Comte[5]; hukum evolosi di dalam masyarakat
itu bertahap. Tahapan pertama dimulai dari tahapan religius dalam
lingkungan masyarakat primitive yang bepresepasi bahwa alam dan kebudayaan itu
dikendalikan oleh Tuhan. Kemudia bergerak pada tahapan metafisik, yang
mempercayai adanya kekuatan abstrak, dan prinsip-prinsip tanpa batas waktu.
Ketika menjadi modern, masyarakat bergerak pada tahapan ilmiah.
Tahapan ilmiah ini disebut juga “fisika social” yakni studi fenomena
social dengan mempertimbangkan fenomena astronomis, fisis, kimiawi dan
psikologis yang semua itu menjadi subjek dari hokum alam yang tetap. Dari sini
muncul pemikiran bahwa ilmu social mengalami perkembangan akibat interaksi
dengan peradaban modern (Eropa), selanjutnya disebut peradaban sekular.
Proses-proses sosial tidak lagi dianggap sebagai produk kegiatan manusia yang
bebas, tetapi sebagai suatu peristiwa alam.
Definisi sosiologi seperti ini
selanjutnya dikritik oleh Don Martindale karena teori social Comte ini
ternyata tidak bisa lepas dari agama. Menurut Don Martindale’ sosiologi adalah’
satu bagian dari evolosi pemikiran yang hebat di dalam peradaban Barat yang
lolos dari agama melalui filosofi sains’. Sebenarnya Comte juga mengakui bahwa
ilmu social juga merupakan sebuah ilmu yang berkembang bebas, dan tahapan
religius dan filosofis sebuah kesalahan. Dia juga senang jika sosiologi juga
merupakan hokum alam yang kebenarannya beralasan. Namun Comte tidak serta merta
demikian, tidak semua argument ilmu social berdasarkan pada ilmu sains,
sehingga agama menurutnya tetap memiliki peran. Hal inilah yang tidak disadari
oleh Martindale. Ia ingin menolak teori Comte dengan mengklaim bahwa sainsnya
bebas nilai (value free) namun ia tidak menyadari bahwa sebenarnya ketika
sains bekerja dengan baik itu karena agama juga bekerja dengan baik pula,
evolosi inilah yang tidak dipahami oleh Martindale. Bagi sosiolog “ilmu social”
telah membuang tambatan-tambatan ideologisnya secara tidak revolusioner tetapi
juga tidak reaksioner, tidak liberal dan tidak pula konservatif, ia adalah
sebuah sains-suatu perusahaan di dalam pengetahuan empiris”. [6] Ilmu sosial Aguste Comte ini
selanjutnya dinamakan ilmu sosial yang bercorak positivistic.[7]
Masyarakat
sebagai suatu organisme yang terdiri dari berbagai macam struktur dan menjalankan
fungsinya masing-masing. sebagaimana
dalam ilmu biologi, ilmu ini memandang masyarakat sebagai suatu organisme, di
mana masing-masing organ tubuh memiliki fungsi yang tinggi berkooperasi di
dalam suatu keseluruhan. Dari ekstrpolasi dari model inilah kita bisa memahami
masyarakat.[8] Menurut Herbert Spencer bahwa objek
ilmu sosial adalah hubungan timbal balik dari unsur-unsur masyarakat seperti
pengaruh norma-norma atas kehidupan keluarga, hubungan antara lembaga politik
dan lembaga keagamaan. Unsur dalam masyarakat memiliki hubungan yang tetap dan
harmonis dan merupakan suatu integrasi. Namun manusia tetap bersifat merdeka
dan setiap individu dengan bebas menggunakan adatnya, namun juga harus tetap
menghormati adat yang lain. Spencer dalam memandang masyarakat menggunakan
teori evolusi;dari evolusi universal berubah menjadi evolusi homogen tidak
menentu menjadi evolusi heterogen menentu dan terspesialisasi. Secara sederhana
menurut Spencer masyarakat dibentuk oleh individu.
Masyarakat
sebagai suatu system kesimbangan; masyarakat adalah bukan merupakan sebuah pekerjaan yang
terpusat bersama, tetapi sebuah pekerjaan individualistic untuk
keuntungan-keuntungan seseorang, beradu melawan yang lainnya dengan hanya
kooperasi sekunder dalam menguraikan self-interest. Masyarakat itu
bagaikan sebuah pasar daripada sebuah organisme individual; di sana tidak ada
pusat control, tapi hanya ada jaringan-jaringan interaksi. Comte menginginkan
adanya “status sosial” dan “dinamika sosial” hal ini bisa diwujudkan dengan
keseimbangan-keseimbangan. Neil Smelsel setuju bahwa “suatu system-system
tindakan (sosial) dikendalikan oleh suatu prinsip keseimbangan”. Stabilitas
dihasilkan dari keseimbangan-keseimbangan (equilibria) arus-arus serangan
balasan; perubahan dihasilkan dari keseimbangan-keseimbangan. “posisi-posisi”;,
“kekuatan-kekuatan”, “kekuasaan-kekuasaan”, “tekanan-tekanan” bidang sosial ini
cocok dianalisis dan diukur, baru kemudian kita bisa mengakses terhadap
gerakan-gerakan sosial. Masyarakat tediri dari individu-individu yang tergabung
dalam unit-unit, bergerak dalam kepercayaan, tarikan-tarikan,
penolakan-penolakan yang beragam dan tersusun dalam kelompok-kelompok sosial.
Individu-individu dikendalikan oleh sebuah system.
Masyarakat
sebagai sebuah system structural-fungsional. Bebeda dengan sosiolog sebelumnya,
sosiolog kontemporer berpendapat bahwa masyarakat bukanlah sebagai system
organic dan juga bukan system mekanik. Paradigma yang ditawarkan, bahwa
masyarakat merupakan sebuah fungsionalisme-strucural, dengan tujuan
untuk melukiskan sebuah system sosial secara asli dengan struktur-struktur dan
fungsi-fungsi komunal, dalam sebuah keseimbangan yang terdeskripsikan secara
ilmiah.[9] Masyarakat merupakan elemen yang
sangat penting didalam struktur-struktur dan fungsi-fungsinya dalam sebuah
jaringan. Teori ini lebih menekankan pada keteraturan/order, mengabaikan
konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep utamanya adalah
fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan
keseimbangan/equilibrium. Masyarakat menurut teori ini merupakan suatu sistem
sosial yang terdiri atas bagian/elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam
keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula
terhadap bagian yang laib.Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam
sistem sosial fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional
maka struktur tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Salah satu tokohnya
adalah Robert K.Merton berpendapat bahwa objek analisa sosiologi adalah fakta
sosial seperti peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial,
organisasi kelompok, pengendalian sosial, dll.
Penganut teori fungsional ini memang
memandang segala pranata sosial yang ada dalam suatu masyarakat tertentu serba
fungsional dalam artian positif dan negatif. Satu hal yang dapat disimpulkan
adalah bahwa masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara
berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan
setiap struktur yang ada fungsional bagi sistem sosial itu. Masyarakat dilihat
dalam kondisi:dinamika dalam keseimbangan.
Masyarakat
sebagai sebuah system sibernetik. Sibernetika merupakan teori yang bebeda dengan teori
sebelumnya. Sibernetik menganggap masyarakat sebagai infomasional yang memiliki
kekuatan untuk meneruskan dan menggunakan informasi, sebagaimana computer yang
mampu mengakses semua informasi yang masuk. Namun manusia lebih dari hanya
simulasi mesin computer. Hal yang paling berperan adalah logika manusia,
mengingat kehidupan manusia selalu dilingkari persoalan-persolan, mulai dari
koopersai, kecurangan, permainan, permusuhan, penindasan. Di sinilah muncul
teori bahwa masyarakat adalah sebuah system yang tidak jelas;ia adalah system pembelajaran
yang adaptif, dan orang merasa sulit untuk memprogram ulang ke dalam
model-model atau computer-komputer yang akan menjadi gerakan lanjut di dalam
interpretasi konstitusionsl atau resmi. Tidak seperti simulasi permainan,
aturan-aturan itu sendiri merupakan sebuah set terbuka. Maka masyarakat dalam
teori ini berjuang sekuat tenaga dengan logikanya untuk memperoleh kekuasaan.
Masyarakat
didalam konflik histories, keempat teori tentang masyarakat di atas tidak yang mencoba
menangani konflik dalam masyarakat. Teori ini dibangun dalam rangka menentang
langsung terhadap teori fungsionalisme struktural.Tokoh utama teori ini adalah
Ralp Dahrendorf. Teori ini bertentangan dengan fungsionalisme struktural yaitu
masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di tandai pertentangan
yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Teori ini menilai bahwa
keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah disebabkan karena adanya
pemaksaan /tekanan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Konsep teori
ini adalah wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta sosial. Dahrendorf
berpendapat bahwa konsep-konsep seperti kepentingan nyata dan kepentingan
laten,kelompok kepentingan dan kelompok semu,posisi dan wewenang merupakan
unsur-unsur dasar untuk dapat menerangkan bentuk-bentuk dari konflik. Sementara
itu Berghe mengemukakan empat fungsi dari konflik yaitu:
1. Sebagai alat untuk memelihara
solidaritas
2. Membantu menciptakan ikatan aliansi
dengan kelompok lain.
3. Mengaktifkan peranan individu yang
semula terisolasi.
4. Fungsi komunikasi, sebelum konflik
kelompok tertentu mungkin tidak mengetahui posisi lawan.Tapi dengan adanya
konflik,posisi dan batas antara kelompok menjadi lebih jelas.
Kesimpulan dari teori konflik adalah
terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat
di samping konflik itu sendiri. Masyarakat
sebagai sebuah teks untuk diinterpretsikan; berbeda dengan beberapa teori sosial di atas yang membawa paradigam ilmu sosial
kedalam fisika dan biologi. Teori ini melihat pada ektrim yang lain yakni pada
teologi; suatu masyarakat adalah suatu teks untuk diinterpretasikan.
Logika yang dipakai sama dengan seorang mufasir yang akan menfasirkan teks
kitab suci dengan ilmu hermeunetika dalam rangka mentrasformasi
kandungan teks yang ada ke dalam masyarakat masa kini. Mengingat posisi teks
ayat suci bagi satu atau beberapa masyarakat merupakan tempat penyimpanan,par
excellence. Peraturan atau dalil agama adalah lambing dari tingkah laku
yang berorientasi peraturan. Bahkan jika tidak ada teks, mereka melakukan
analogi. Dari sini ditemukan bahwa bentuk logika ilmu sosial adalah bukan
mekanis, bukan organic, bukan fungsional dan juga bukan sibernetik. Ia adalah
dramatic dan histories. Masyarakat bagaikan sebuah permainan catur, nilai dari
orang atau masyarakat dicerminkan dari perannya di dalam masyarakat.
F.
Agama sebagai sebuah proyeksi social
Daniel Bell menuliskan bahwa ‘akhir
abad sembilan belas, awal abad dua puluh- mengharapkan agama untuk menghilang
oleh permulaan abad dua puluh satu’. Tesis yang utama di sini adalah bahwa
agama tidak dapat tidak konsekuensial, oleh karena itu ia harus menyediakan
beberapa fungsi krusial di dalam masyarakat. Di sisi lain agama tidak dapat
menjadi apa ia klaim secara terang-terangan, bagi laporan-laporan religius yang
beragam adalah luar biasa dan controversial, bertakhayul dan tidak ilmiah.
Agama adalah sesuatu yang pura-pura. Jadi tugas dari ilmu sosial adalah untuk
menemukan mengapa orang-orang bertingkah laku begitu. Menurut sosiolog mereka
berada dalam proses-proses yang tidak bisa dipahami. Mereka tidak mengkaji
kebenaran agama secara serius. Sedangkan kajian di dalam ilmu sosial adalah
sesuatu yang lainadalah epifenomenal dan kesatuan. Ilmu sosial di sini terlepas
dari masalah teologi atau nonteologi.[10] Namun ini juga tidak menjawab
masalah. Berbeda denagn pemikiran Emile Durkheim; jika agama ditinggalkan
lantas dari mana kohesi-kohesi sosial akan terbentuk. Apakah ilmu pengetahuan
tentang moralitas atau pendidikan sosial mampu menjadi pengganti agama? Jika
tidak maka teori sosiologiini hanya merupakan sebuah tes atau eksperimen. Fungsi
kolektif agama dalam perspektif Durkheim; bahwa agama merupakan “sebuah sesuatu
kolektif yang nyata”. Ia memproduksi dirinya sendiri melalui kebudayaan dan
ritual, melalui sakramen, festival, layanan, upacara dan tarian. Ia selalu
mengandung sebuah etika, yang mengabadikan komitmen-komitmen nilai masyarakat,
mendukung ini dengan otoritas keramat dan suci. Realitas seperti ada di dalam
setiapa agam yang dianut oleh masyarakat. Agama memiliki sebuah alam
konservatif yang kuat, ia menyatu di dalam kepentingan sosial dan ekonomi
masyarakat. Masyarakat yakin bahwa Tuhan merupakan kekuatan di atas individu,
tempat bergantung, yang harus dihormati, yang mampu menyenagkan, misterius dan
keramat. Dari realitas inilah kemudian Durkheim berpendapat bahwa agama
memiliki fungsi sosial; yaitu fungsi solidarits sosial, memberi arti hidup,
perubahan sosial, dan dukungan psikologis.
Dari sini maka sulit untuk dibedakan
antara sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran atau interpretasi agama.
Sesuatu yang murni agama berasal dari Tuhan, absolute dan mengandung nilai
sakralitas. Hasil pemikiran agama berarti berasal dari selain Tuhan (manusia),
bersifat temporal, berubah dan tidak sakral. Keduanya kadang-kadang sulit
untuk dibedakan dalam kehidupan masyarakat. Dari sinilah kemudian Durkehim
berpendapat “saya melihat di dalam Tuhan hanya msyarakat yang terungkap secara
simbolis dan berubah rupa atau roman”. Agama direduksi pada sosiologi. Durkheim
tidak diragukan lagi telah masuk ke dalam akar-akar dari banyak kehidupan
religius, tetapi ia tidak mengikuti bahwa dia telah memegang akar utama atau
dia telah menumbangkan agama-agama klasik di dalam dimensi ini yang telah dia
identifikasi.
Kepaduan sosial adalah bagian dari
berita Tuhan. Tetapi ia bukanlah semua dari itu. Bahkan di mana
praktik-prakteknya adalah diam-diam, tidak secara ekplisit, kekasadaran sosial
adalah bukan satu-satunya asal mula agama bukan pula mesin utamanya.[11] Agam bisa juga karena konfrontasi
dengan alam, misalnya ketika matahari terbenam, ketika ada badai, ada hujan
lebat, disaat seperti ini muncul perasaan tentang numinous, supernatural dan
pokok. Kondisi seperti ini oleh Durkheim dikatakan bahwa agama adalah apa yang
dilakukan individu dengan keterpencilannya. “Ada suatu ruang penting di mana
‘ruang suci’ seseorang bukanlah refleksi dari masyarakat sama sekali, tetapi
jauh dari keramaian masyarakat, ruang bagi privasi dan untuk menyendiri
(meditasi) untuk kontak dengan realita kehidupan dimasyarakat. Kondisi alam,
kehidupan personal, yang telah dilakukan oleh masyarakat merupakan koefesian
sosial. Semuanya itu sebagai teori-laden. Pertemuan kita dengan alam
dimediasi oleh kebudayaan.
Namun teori ini kemudian
ditumbangkan dengan datangnya abad modern yang berkeyakinan bahwa agama itu
adalah wahyu dari Tuhan. Dan tidak termasuk agama apa yang telah menjadi budaya
di masyarakat. Dalam kondisi seperti ini lama kelamaan agama tradisional
kemudian punah digantikan dengan agama universal (Islam, Kristen, Budha). Agama
universal melahirkan kebudayaan untuk diyakini bahkan berlebihan jika
dibandingkan dengan kebudayaan yang ada. Padahal dalam agama universal ini juga
mengandung cerita-cerita tentang umat terdahulu. Misalnya cerita tentang umat
Nabi Musa, Yesus, Muhammad, Budha, Martin Luther, yang tentu saja cerita ini
juga merupakan bentukan budaya. Masyarakat penganut agama universal ini lebih
percaya pada keterangan kyai dan pendeta. Agama universal ini berkembang pesat
mengalahkan agama primitive. Bahkan kemudian mengkritisi dan mencoba
menggulingkan mereka. Durkeim sadar kondisi demikian, namun ia mencoba untuk
tetap menyembunyikan di dalam “effervescence” dan menganggap bahwa ini sebuah
penggelembungan sosial dari mana Tuhan muncul. Tetapi orang juga boleh mendebat
bahwa kretifitas agama ini adalah sebuah kelarutan misterius, namun bisa juga
bahwa antusiasme agama universal ini merupakan wahyu dari Tuhan.
Apa yang kita punya di dalam Tuhan
(wahyu) bukan merupakan fakta ilmiah. Dan tidak bisa bertahan seagai teori
ilmiah, tetapi sebaliknay sebagai teori “blik”. Agama universal ini kemudian
memotong dan menganggap bahwa kepercayaan-kepercayaan bukanlah merupakan
agama, karena tidak mampu menjelaskan tentang mengapa ada dunia, apa arti
hidup, mengapa peristiwa itu terjadi dan lain sebagainya. Sementara masyarakat
memerlukan jawaban atas semua itu. Masyarakat ingin mendapatkan identitas
di dunia dan keberadaannya di masyarakat. Mengingat manusia memiliki
kendali-kendali logis, epistimologis, dan metafisis. Mereka mempunyai dorongan
religius: merekamenginginkan penjelasan-penjelasan. Mereka ingin
bertanggungjawab atas keberadaan manusia di dunia. Manusia harus mengerti dari
mana sumber ajaran atas apa yang mereka lakukan dengan kebersamaan yang mutlak.
Setiap ritual dan prkatik-praktik keramat tidak hanya sebagai tradisi kesetiaan
terhadap kelompok dan pengalaman mereka, akan tetapi memiliki tujuan universal.
Symbol-simbol religius bukan hanya sekedar symbol masyarakat akan tetapi symbol
dunia secara keseluruhan. Penemuan bahwa agama merupakan system sosial
merupakan mungkin bisa salah mungkin bisa benar. Penemuan agama secara sosial
memilimi sedikit bukti. Oleh karena itu kita harus melihat dalam praktik setiap
agama. Karena masing-masing agama (primitive maupun agama universal) memiliki
klaim kebenaran yang berbeda-beda.
Agama primitif, seperti sains
primitive, penuh dengan kesalahan, akan tetapi kepercayaan mereka memiliki
referensi lain dari pada masyarakat. Meskipun salah tapi Arunta secara sejati
memegang teguh kepercayaan mereka. meskipun teori sosial sekarang ingin
membuang akan tetapi mereka memiliki elemen-elemen penting yang pantas
untuk dihargai. Dengan mengadakan observasi dan eksperimen yang lebih modern
dan teori-teori ynag lebih baik kemudian mitos-mitos itu tumbang. Akan tetapi
ternyata teori-teori modern tidak mampu mempetahankan fungsi sosial agama,
tidak lebih nyaring dalam lingkungan. Justru dengan teori modern yang lebih
ilmiah, sekuler dan tekhnoligis tidak lebih baik dalam mengemban kedamian,
tetapi justru memicu pada terjadinya perang nuklir, krisis ekologi dan ilmu
sosial.[12] Ketika sosiolog ingin meninggalkan
agama primitive dan datang dengan agama modern, karena dipengaruhi oleh
pendapat Durkheim yang hanya memperhatikan kepercayaan pemeluknya dan bukan
kepercayaan itu sendiri. Kemudian ia berusaha merasionalkan agama dengan sains.
Dengan begini Comte yakin bahwa agama primitive akan mundur secara progresif.
Mereka tidak sadar bahwa dalam agama sebenarnya ada sesuatu yang abadi yang
tidak bisa berubah dengan berubah perkembangan ilmu.
Durkheim telah menemukan bahwa Tuhan
adalah sebuah ilusi yang dikeramatkan, namun ia tidak mendapatkan apa-apa.
Ketika masyarakat mulai meninggalkan pemujaan terhadap Dewa kemudian berubah
memuja dirinya sendiri. Ketika premis-premis Durkheim salah namun sudah meluas
ia hanya dapat berkata”ini bagian dari ketidakpastian dan agitasi yang
membingungkan” Teori Durkheim merupakan suatu ketidakmungkinan, karena ternyata
sainsnya menemukan bahwa masyarakat memerlukan agama. Ketiak masyarakat
menghadapi soal kematian, kehidupan, kelahiran dan pembentukannya tetang apa
yang senyatanya adan apa yang seharusnya, maka hal ini tidak memerlukan objek
ilmiah. Ternyata tidak ada sains yang dapat mengontrol, memprediksi,
menjelaskan dan mengkritik masyarakat secara mendalam. Di antara
kekuatan-kekuatan kolektif yang menginspirasikan kita mungkin ada napas rahasia
dari ketuhanan, sebuah jiwa yang menginspirasi alam, sama halnya dengan
kebudayaan yang mengelilingi dan melahirkan kita. Oleh karena itu walaupun
ditumbangkan dengan sains modern apapun agama sampai sekarang tetap tumbuh dan
berkembang. Pada akhirnya pertanyaan tentang asal mula agama adalah bukan
pertanyaan ilmiah. [13]
G.
Nilai-nilai di dalam ilmu pengetahuan social
Ketika para sosiolog berpendapat
bahwa ilmu itu bebas nilai maka pernyataan ini pantas mendapatkan dipertanyakan
mengapa mereka berpikiran demikian. Martindle berkata bahwa pernyataan ini
perlu mendapatkan inspeksi lebih jauh, terutama ketika sains ini berusaha ingin
membubarakan agama. Sedangkan pada waktu yang sama sains ingin mencari
sejauhmana relasi antara agama dan ilmu sosial. Dalam hal ini Robert Bierstedr
menuliskan bahwa “sosiologi adalah sebuah disiplin kategoris dan bukan
normative, ia membatasi diri terhadap apa yang ada dan bukan apa yang
seharusnya. Sosiologi tidak merekomendasi pada persoalan kebijakan sosial.
Bahwa sosiologi tida ada hubungannnya dengan mana perilaku manusia yang baik
dan yang buruk. Persoalan baik buruk, benar salah inilah yang membedakan antara
sosiologi dan agama.
Namun pernyataan Robert ini
mencampurkan antara ought dan is nya. Dia mengajukan bagaimana
sosiologi itu menjadi, bukan bagaimana sosiologi itu ada. Tetapi pernyataan
bahwa sosiologi itu bebas nilai lebih kompleks dibandingkan dengan kemunculan
pertamanya. Dengan berbagai factor yang sosiologi bisa momot nilai dan bisa
juga bebas nilai, tergantung pada pembahasan pada manusia itu sendiri apakah
ada hubungan actual atau perlu apa ilmu sosial dengan ideology-ideologi.
Apa yang ada dan dilakukan oleh
masyarakat baik cepat atau lambat memiliki menjadi value-laden. Bagi
sosiolog mengandung ilmu sosial, tetapi dia tidak mampu mengungkap alasan
dibalik latar belakang perilaku masyarakat. Dan hal inilah yang bisa
meruntuhkan teori-teori sosiologi. Durkheim terlalu banyak melupakan dan
merendahkan fenomena religius, padahal sebenarnya teologi yang baik mungkin
akan membantu dalam mendeteksi sosiologi yang buruk. Seroang sosiolog harus
menyadari bahwa pada dasarnya juga berada dalam pemegang kumpulan nilai yang
digambarkan oleh fenomena yang ia pelajari.
Dalam pengertian terbatas tetapi
penting diperhatikan bahwa sosiologi seharusnya deibebakan dari control
pemerintah, institusional, komersial, bahkan juga agama, sekalipun para
sosiolog itu bekerja tidak bisa lepas dari lingkungan yang melingkupinya.
Tetapi sosiologi tidak boleh terikat dengan nilai-nilai yang ada di luar. Dan
masyarakat sendiri juga tidak boleh menghukum secara apriori sebelum menemukan
kesimpulan yang digambarkan oleh sosiolog. Berbeda dengan ilmu alam. Dalam ilmu
alam sebuah teori yang kemudian dinyatakan salah, boros dan lain-lain, maka
ilmuwan segera harus menarik dukungannya. Sedangkan dalam ilmu sosial, sebuah
keputusan mengenai fakta seharusnya dibuat sebuah atmosfir yang tidak
dipaksakan dan terbebas dari nilai-nilainya sendiri. Sosiologi memiliki hak
otonom yang bertanggungjawab, tetapi ia akan tetap memperhatikan hak-hak yang
mendukungnya untuk ditanamkan menjadi sains yang relevan dan bijaksana.[14]
Dalam kaitannya dengan agama, sering
terjadi perbedaan antara ajaran dengan perilaku, yang kemudian itulah yang
memicu keputusan bahwa agama itu budaya, yang kemudian berubah-ubah, maka yang
harus dilakukan oleh sosiolog adalah merevisi estimasi orang mengenai
fungsi-fungsi yang terlihat di dalam agama. Maka tidaklah keliru jika Durkheim
mengatakan bahwa agama adalah proyeksi sosial. Kingsley Davis membuktikan bahwa
kelas-kelas sosial adalah fungsional dan tidak dapat dihindarkan terutama dalam
masyarakat maju. Apa yang bisa terima dari sosiolog tergantung pada
seberapa cocok nilai-nilai tersebut berada dalam kehidupan kita. Karena pada
dasarnya teori sosial itu yang penting adalah bukti.
Namun tetap ada tendensi-tendensi
naturalistic di dalam ilmu sosial. Dalam sebuah keyakinan religius, sosilog
harus bisa menerima secara penuh oleh studi ilmiah, bahwa agama dapat
dijelaskan tanpa residu dalam hal kategori ilmu sosial, dan di luar kategori
agama itu sendiri. J. Milton Yinger mengatakan bahwa; Sains tidak dapat
dihindarkan tetap mengambil sebuah pandangan agama naturalistik.” Tetapi tetap
juga memperhatikan sejauhmana keterbukaan konsep seseorang mengenai
naturalistic. Maka yang terjadi bahwa agama memiliki beberapa macam by
product, inilah kemudian yang dikiritik oleh Durkheim dan Comte bahwa agama
tradisional akan segera diganti. Untuk itu diperlukan sikap yang tidak blik
agar bisa menerima dan mendengarkan kebenaran yang sebaliknya. Pertanyaan
Holmes jika masyarakat kemudian berpindah ke agama universal dan meninggalkan
agama tradisional, berarti tidak bisa menerima kritik?[15]
Tendensi-tendensi therapeutic di
dalam ilmu sosial. Dalam sosiologi seharusnya memperhatikan impuls therapeutic
yang hal ini tidak ada dalam ilmu alam. Dalam sosiologi ingin mempelajari
masyarakat yang kadang-kadang tidak manusiawi dan melampaui yang is
mengenai ang ought. Oleh karena itu Lee Benson dalam pidatonya
menganjurkan bagaimana agar ilmu sosial itu bisa mengubah dunia dan bukan
memahami dunia. Pernyataan ini sejalan dengan Karl Marx. Namun tetap harus
diakui bahwa ilmu sosial pada dasarnya memiliki peran yang signifikan dalam
menyelamatkan masyarakat.
Namun sebenarnya agak paradok,
ketika ilmu sosial menggambarkan “masalah-masalah” tetapi kemudian tidak
memberikan solusi apa yang harus dilakukan. Inilah letak signifikansi agama
agama dalam ilmu sosial. Ketika sosiologi menemukan masalah maka solusinya ada
pada agama, mengingat bahwa masyarakat ketika mengalami persoalan tidak bisa
meninggalkan peran keyakinan. Manusia adalah self- defining.
Semakin mereka belajar, semakin banyak kekuasaan-kekuasaan yang mereka punyai.
Suatu penemuan dalam ilmu sosial jika benar, maka system-sistem masa lampau
mempunyai prioritas pada individu, tak perlu benar dimasa depan. Jadi apakah
kita harus mempertahankan atau membrontak tradisi masa lampau? Kita bisa
belajar dari tradisi dari masa lampau dengan bisa menerima keyakianan dan tetap
tidak bisa mengkritik itu tanpa memiliki pertimbangan otonomi. Otonomi dalam
agama maupun dalam sains.
Disinilah kemudian sosiologi
yakin bahwa tradisi-tradisi agama berperasi pada individu untuk
memproduksi solidarits di dalam masyarakat, setelah itu sosiologi sadar bahwa
ilmu sosial meningkatkan pilihan re;igius dari pada harus menurunkannya. Tetapi
pada waktu yang sama sosiologi tidak mampu memberi kekuatan untuk membantu kita
memilih diantara pilihan-pilihan religius apa yang mampu meningkatkan analisa
ilmu sosial. Mungkin kehidupan religius pada akhirnya tidak sama, tetapi
sosiologi dapat mempelajarinya. Maka sebetulnya dugaan bahwa ilmu sosial itu
bebas nilai itu sebenarnya hanya mitos tapi mitos yang berguna. Banyak sosiologi
yang mengkritik agama dengan salah, padahal pada dasarnya sosiologi itu sendiri
memiliki muatan religius.
Semua ilmu tentang manusia banyak
meminjam paradigma-paradigma ilmu alam, padahal dia sendiri sebetulnya memiliki
paradigma yang unik. Psiokologi memiliki kategori pikiran, kesatuan
psikis. Ilmu sosial mempunyai paradigma mengenai komunitas cultural. Keduanya
menjual diri mereka sendiri dengan mencari-cari model mekanistik, organic,
causal, seimbang, fungsional, sibernetik, padahal paradigma ini lebih sempit
jika dibandingkan paradigma sosiologi itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Mustopo, M. Habib. Ilmu Budaya
Dasar . Surabaya: Usaha Nasional.
2. Sukidin, Basrowi, Agus Wiyaka. 2003. Pengantar Ilmu Budaya . Surabaya: Insan Cendikia.
3. P.J. Zoutmulder. 1951. Cultuur, Oost en West. Amsterdam: P.J.
Van Der Peet.
4. Gazalba, Sidi. 1978. Asas
Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
5. http//www.katananjiwa.com.Sastra; antara transformasi dan pergesekan
(Kredo). Disadur dari Ahmed Falhan Mahasiswa tingkat akhir Fak. Sastra
Arab Univ. Al Azhar Kairo Mesir.
6. Gumilar, Gumgum, S.Sos., M.Si. Program
Studi Ilmu Komunikasi Unikom.
7. Sulaeman, Munandar. Ir. Drs. Ms. 1995. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT. Eresco.
8. Daeng, Hans J. Dr. 2000. Manusia,
Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan
Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar