Selasa, 24 Februari 2015

Makalah Sikap Manusia Terhadap Budaya dan Makna Sosial terhadap Setiap Pemikiran Dan Perbuatan Manusia


 
“Bagaimana Sikap Budaya Terhadap Manusia?” dalam perspektif (budaya member makna cultural dan makna social terhadap setiap pemikiran dan perbuatan manusia).

PENDAHULUAN
A.    Definisi Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Setiap masyarakat memiliki serangkaian mitos yang mendefinisikan budayanya. Mitos merupakan cerita yang berisi elemen simbolis yang mengekspresikan emosi dan cita-cita budaya. Cerita-cerita berupa konflik antara dua kekuatan besar, dan berfungsi sebagai pembimbing moral untuk anggota masyakat. Mitos yang beredar di masyarakat biasanya menunjukkan dua hal yang saling berlawanan. Misalnya kebaikan belawanan dengan setan dan kejahatan, alami berlawanan dengan teknologi/kimiawi dan lain-lain. Arah yang berlawanan tersebut biasanya secara bersamaan muncul pada diri manusia dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, dalam pemahaman tentang mitos masyarakat perlu mengetahui batas-batas baik dan buruk dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Batasan tersebut dijelaskan dalam aturan dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. Dalam hal-hal tertentu, mitos berfungsi sebagai mediator antara kekuatan baik dan kekuatan jahat atau antara dua kekuatan lainnya. Misalnya banyak mitos yang beredar di masyarakat mengenai binatang yang mempunyai kemampuan seperti manusia (misalnya kancil yang cerdik menyerupai manusia). Mitos tersebut dimaksudkan sebagai jembatan antara kemanusiaan dan alam semesta. Dalam praktek pemasaran, banyak sekali nama-nama binatang (yang mempunyai mitos tertentu) digunakan sebagai merek produk. Misalnya Toyota menggunakan nama Kijang untuk merk mobil dan Mitsubishi menggunakan Kuda.
Penggunaan mitos sebagai cara untuk taktik pemasaran sangat sering terjadi. Di Indonesia mitos mengenai kekuatan Bima digunakan sebagai merek produk Jamu kuat untuk pria misalnya. Bahkan dalam kancah perpolitikan mitos mengenai akan datangnya ratu adil dalam masyarakat Indonesia dijadikan alat untuk memperoleh dukungan masa. Pemasar harus secara kreatif menggali mitos-mitos yang sangat dipercayai oleh suatu masyarakat dan mitos-mitos tersebut bisa digunakan sebagai sarana untuk menyusun strategi pemasaran. Kebudayaan adalah sebuah lingkungan yang dibangun di atas alam secara spontan. Kebudayaan ini ini tercipta karena dua factor yakni factor alam dan factor social. Dimana dunia alam ditemukan dan dikonstruk oleh dunia social (termasuk agama dan sains). Sedangkan dunia social sepenuhnya dibuat oleh manusia dalam rangka mempertahankan hidup secara aman dan sejahtera. Selanjutnya kebudayaan social ini melahirkan beribu-ribu budaya yang terabadikan secara histories oleh bahasa dan tardisi, yang terbangun secara konvensional. Dengan menggunakan symbol-simbol dengan arti-arti efektif secara local (kebudayaan local). Selanjutnya kebudayaan ini mempengaruhi arus tingkah laku manusia, atau membawa orang kedalam tibgkah laku religius atau tingkah laku lain yang mengandung kekuatan (keyakinan)
Dari kondisi konkret di dalam masyarakat di atas, Edward B. taylor, seorang antropolog, mendefinisikan kebudayaang adalah; “suatu keseluruhan kelompok yang melibatkan bahasa, keprcayaan, seni dan moral, hokum, adat, dan satu atau beberapa kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat  Maksudnya; bahwa pengethauan yang dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi sebuah teori yang merupakan kegiatan ilmiah. Proses pembentukan teori berangkat dari images fundamental tertentu mengenai kenyataan sosial.
Sedangkan Cliford Geertz mendefinisikan kebudayaan;”sebuah pola pengertian yang diteruskan secara histories diwujudkan dengan simbol-simbol atau sebuah sistem konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, dimana manusia bisa berkomunikasi, mengabadikan dan mengembangkan pengetahuan mereka dan sikap-sikap kearah kehidupan”.[2]
Subset-subset kebudayaan menjadi wewenang ilmu social atau ilmu tentang masyarakat yang awalnya tradisional kemudian berubah menjadi ilmu modern seperti ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu sejarah ilmu pemerintahan dan lain-lain.. Tujuannya adalah untuk membawa kebudayaan ke dalam analisis ilmiah. Dari sinilah kemudian muncul konfrontasi antara sains dan agama. Mengingat semua tingkah laku manusia (kebudayaan) tidak bisa terhindarkan dari pola kehidupan keberagamaan mereka. Kehidupan religius muncul lebih dahulu dibandingkan dengan ilmu-ilmu social yang dimunculkan oleh Marxisme dan juga oleh Comte. Sedangkan Frued berpikiran bahwa kebudayaan manusia tidak bisa lepas dari kondisi alam di mana manusia itu hidup dengan aman.artinya alam juga ikut berperan penting dalam mengabadikan kebudayaan.  Jika kondisi alam itu tidak mendukung kontinuitas budaya maka budaya tidak akan berkembang. Dalam buku ini Holmes berusaha mencari titik temu antara budaya, agama dan sains. Dengan cara memadukan ketiga ilmu berdasarkan realitas yang ada. Apakah ada hubungan antara ilmu social dengan  agama?[3]

     B.     Ritual Kebudayaan
Ritual budaya merupakan kegiatan-kegiatan rutin yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Ritual menggambarkan prosedur budaya yang harus dilakukan oleh sekelompok masyarakat agar bisa memenuhi tuntutan budayanya. Mowen (1995) mendefinisikan ritual budaya sebagai urutan-urutan tindakan yang terstandardisasi yang secara periodik diulang, memberikan arti, dan meliputi penggunaan simbol-simbol budaya. Ritual mempunyai beberapa kegunaan yang secara umum mempunyai permulaan, pertengahan dan akhir proses ritual. Ritual dapat bersifat pribadi ataupun bersifat umum. Variasinya mulai dari skala yang besar seperti mudik lebaran sampai pada skala yang kecil seperti ziarah kubur misalnya.
Ritual budaya berbeda dengan kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang. Ritual budaya dilakukan secara serius dan formal, dan juga memerlukan intensitas yang sangat dalam dari seseorang yang melakukan ritual. Sementara itu kebiasaan tidak dilakukan secara serius dan tidak mesti dilakukan. Kebiasaan akan sangat mudah berubah jika ada stimulus lain yang lebih menarik. Misalnya jika Anda biasa melalui jalur jalan tertentu ketika berangkat kerja dan Anda sudah biasa menghadapi jalan yang macet, namun ketika ada jalur jalan lain yang lebih lowong dan lebih cepat membawa Anda ke kantor, mungkin kebiasaan Anda akan berubah.
Setiap ritual budaya akan membutuhkan benda-benda (artifak) yang digunakan untuk melaksanakan proses ritual. Benda-benda inilah yang oleh pengusaha dijadikan sebagai peluang usaha. Setiap upacara ulang tahun misalnya, benda-benda yang dibutuhkan meliputi beberapa jenis seperti permen balon, kue dan lain-lain. Dalam upacara perkawinan misalnya banyak sekali artifak yang diperlukan agar proses ritual perkawinan berjalan dengan baik dan memuaskan pihak penyelenggara ritual. Benda-benda yang dibutuhkan dalam ritual perkawinan sangat banyak dan bervariasi mulai dari gedung tempat pesta, bunga, baju pengantin, rias pengantin gamelan tradisional, makanan, buah-buahan dan lain-lain.
Begitu banyaknya ritual budaya yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat, dan juga ritual itu dilaksanakan secara periodik, maka hal ini sangat menarik bagi pemasar untuk menyediakan produk-produk khusus untuk ritual tertentu. Di kota-kota besar, banyak sekali gedung-gedung yang disewakan untuk ritual perkawinan atau ritual yang lainnya. Bahkan perkembangan sekarang, banyak usaha yang mengkhususkan pada pengelolaan pesta ritual seperti ulang tahun, perkawinan dan lain-lain yang disebut sebagai wedding organizer.
Bagi pemasang iklan, peristiwa ritual budaya dapat dijadikan tema iklan. Misalnya saja ritual lebaran, bisa dijadikan tema iklan untuk produk sarung, peci, dan produk-produk lainnya. Selain itu peristiwa ritual juga bisa digunakan untuk memposisikan produk sebagai produk khusus untuk peristiwa ritual tertentu. Misalnya produk berlian bisa diposisikan sebagai produk untuk hadiah perkawinan anak.

      C.    Simbol-Simbol Kebudayaan
Selain dengan ritual, budaya juga direpresentasikan melalui simbol-simbol tertentu yang mempunyai arti tertentu pula. Simbol yang sama mungkin akan mempunyai arti yang berbeda pada satu budaya dengan budaya yang lainnya. Penggunaan simbol sebagai representasi budaya sangat sering dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Apa yang dipakai dan dikonsumsi oleh seseorang akan mencerminkan budayanya. Oleh karena itu tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya manusia mengkonsumsi simbol dalam kehidupannya sehari-hari.
Dalam proses pembelian, konsumen pertama kali melakukan evaluasi dan diakhiri keputusan pembelian, sebagian besar pertim-bangannya adalah nilai simbolik yang bisa diperoleh dari pembelian suatu barang. Tentu saja hal ini tidak berlaku untuk semua kategori produk, tetapi banyak sekali pembelian yang dilakukan oleb konsumen dengan mempertimbangkan nilai-nilai simbolis.
Perusahaan sangat sering menggunakan nilai-nilai simbolis untuk produk-produk yang dihasilkannya dengan memberi merek yang mempunyai pengertian simbolis. Misalnya Toyota memberi merek Kijang Untuk kendaraan jenis penumpang keluarga, karena Kijang mempunyai nilai simbolis yaitu kemampuan lari yang sangat cepat dan lincah. Selain asosiasi dengan binatang, simbol budaya juga bisa ditunjukkan dengan warna. Warna hitam pada berbagai budaya mempunyai arti yang berbeda-beda. Warna hitam pada kebanyakan budaya mempunyai arti formal. Warna biru menunjukkan kesejukan, warna putih menunjukkan kesucian. Warna merah pada kebanyakan budaya menunjukkan keberanian dan kegagahan. Oleh karena itu, pemasar dapat menggunakan warna-vvarna ini sebagai dasar untuk menciptakan produk yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan simbolis.

      D.    Transformasi Budaya
Dari paparan wacana kebudayaan di atas dapat diketahui, bahwa ada banyak peninggalan serta karya sastra umat sebelum kita yang mestinya kita ketahui. Baik dari timur ataupun barat, misalnya saja sastra jahiliyah yang paling populer seperti Al-mu’allaqotu’L sab’ah yaitu kumpulan syair terbaik di pasar Ukkaz dan di tempel di dinding Kabah pada masa tersebut. Ataupun karya-karya pada masa sesudahnya, seperti Burdahnya Ka’ab bin Zuhair juga syair Abdullah bin Rowahah, yang digolongkan sebagai sastrawan-sastrawan pembela Islam di zaman Rasulullah, juga syair-syair pilosofi Abu Tamam dan Abu’L Alâ Al-Ma’arri.[5]
Merupakan fakta yang sangat jelas dan tidak dipungkiri oleh para peneliti, bahwasanya proses transformasi ataupun penterjemahan, merupakan langkah yang sangat positif sekali untuk mengetahui peradaban umat lain, khususnya sastra. Sebagaimana umat Islam pada masa Khilafah Abbasiyah dahulu yang banyak menterjemahkan berbagai macam disiplin ilmu yang tidak ada pada mereka, seperti Kedokteran, Fisika, Matematika, Kimia, dan Filsafat. Sehingga mereka pun mengembangkan ilmu-ilmu tersebut, dengan landasan salah satu hadits Rasulullah Uthlubu’L ‘ilma walau bi’L shîn, yang artinya, tututlah ilmu walaupun ke negeri Cina.
Dan proses tranformasi ini pun sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pola pikir ilmuan Islam dalam memahami konteks agama, juga menyebabkan terbentuknya berbagai macam kelompok, seperti Nuhatu’L bashroh, atau ahli Mantiq karena mereka cenderung menggunakan istilah-istilah Mantiq. Pokoknya mereka telah mengambil manfaat dari usaha-usaha mereka dan juga umat lain yang mempelajari bahasa mereka. Tidak mustahil kita pun bisa demikian. Kenapa tidak?! Mentransfer karya bangsa lain baik Arab ataupun Barat, dengan memberikan corak pembaharuan dan bukan saja memindahkan. Mengulangi kembali apa yang sudah dicapai umat Islam Arab dulu dengan metode dan sistem yang lebih sempurna, khusunya dalam bidang sastra. Kalaupun ada sebagian golongan yang mencemaskan, akan identitas peradaban dan sastra kita dan ditakutkan akan terkikis serta akan masuk gejala-gejala kebudayaan Barat yang serba pulgar. Sesungguhnya kita dituntut untuk selalu kritis bukan hanya menerima dan mengambil, agar tidak terpuruk dalam krisis identitas dan lebih mencintai budaya asing.
Dan pada dasarnya di dalam transformasi sastra ataupun budaya tidak ada bahaya, karena bahaya itu sebenarnya timbul dari kesalahan kita dalam memilih, memahami dan beraspirasi. Maka ketika kita dalam tiga hal tadi harus selalu ingat terhadap ayat yang mengatakan “falyanzhur ayyuhã azkâ tho’âman falya’tikum bi rizqin minhu wal yatalatthaf” (Qs. Al Kahfi:19).

      E.     Individu dan Masyarakat
Teori di dalam ilmu social tidak pernah mencapai consensus sebagaimana teori atom, teori genetic setelah New Ton, Einstein, dan Darwin. Pada waktu yang sama teori social kadang-kadang dapat menjadi megah dan dogmatik, namun juga bisa menerima perkembangan (lebih terbuka) dengan menyesuaikan kondisi masyarakat, ketika masyarakat berubah menuju kearah isu-isu religius.[4]
Menurut Aguste Comte[5]; hukum evolosi di dalam masyarakat itu bertahap. Tahapan pertama dimulai dari tahapan religius dalam lingkungan masyarakat primitive yang bepresepasi bahwa alam dan kebudayaan itu dikendalikan oleh Tuhan. Kemudia bergerak pada tahapan metafisik, yang mempercayai adanya kekuatan abstrak, dan prinsip-prinsip tanpa batas waktu. Ketika menjadi modern, masyarakat bergerak pada tahapan ilmiah.  Tahapan ilmiah ini disebut juga “fisika social” yakni studi fenomena social dengan mempertimbangkan fenomena astronomis, fisis, kimiawi dan psikologis yang semua itu menjadi subjek dari hokum alam yang tetap. Dari sini muncul pemikiran bahwa ilmu social mengalami perkembangan akibat interaksi dengan peradaban modern (Eropa), selanjutnya disebut peradaban sekular. Proses-proses sosial tidak lagi dianggap sebagai produk kegiatan manusia yang bebas, tetapi sebagai suatu peristiwa alam.
Definisi sosiologi seperti ini selanjutnya dikritik oleh Don Martindale karena teori  social Comte ini ternyata tidak bisa lepas dari agama. Menurut Don Martindale’ sosiologi adalah’ satu bagian dari evolosi pemikiran yang hebat di dalam peradaban Barat yang lolos dari agama melalui filosofi sains’. Sebenarnya Comte juga mengakui bahwa ilmu social juga merupakan sebuah ilmu yang berkembang bebas, dan tahapan religius dan filosofis sebuah kesalahan. Dia juga senang jika sosiologi juga merupakan hokum alam yang kebenarannya beralasan. Namun Comte tidak serta merta demikian, tidak semua argument ilmu social berdasarkan pada ilmu sains, sehingga agama menurutnya tetap memiliki peran. Hal inilah yang tidak disadari oleh Martindale. Ia ingin menolak teori Comte dengan mengklaim bahwa sainsnya bebas nilai (value free) namun ia tidak menyadari bahwa sebenarnya ketika sains  bekerja dengan baik itu karena agama juga bekerja dengan baik pula, evolosi inilah yang tidak dipahami oleh Martindale. Bagi sosiolog “ilmu social” telah membuang tambatan-tambatan ideologisnya secara tidak revolusioner tetapi juga tidak reaksioner, tidak liberal dan tidak pula konservatif, ia adalah sebuah sains-suatu perusahaan di dalam pengetahuan empiris”. [6] Ilmu sosial Aguste Comte ini selanjutnya dinamakan ilmu sosial yang bercorak positivistic.[7]
Masyarakat sebagai suatu organisme yang terdiri dari berbagai macam struktur dan menjalankan fungsinya masing-masing. sebagaimana dalam ilmu biologi, ilmu ini memandang masyarakat sebagai suatu organisme, di mana masing-masing organ tubuh memiliki fungsi yang tinggi berkooperasi di dalam suatu keseluruhan. Dari ekstrpolasi dari model inilah kita bisa memahami masyarakat.[8] Menurut Herbert Spencer bahwa objek ilmu sosial adalah hubungan timbal balik dari unsur-unsur masyarakat seperti pengaruh norma-norma atas kehidupan keluarga, hubungan antara lembaga politik dan lembaga keagamaan. Unsur dalam masyarakat memiliki hubungan yang tetap dan harmonis dan merupakan suatu integrasi. Namun manusia tetap bersifat merdeka dan setiap individu dengan bebas menggunakan adatnya, namun juga harus tetap menghormati adat yang lain. Spencer dalam memandang masyarakat menggunakan teori evolusi;dari evolusi universal berubah menjadi evolusi homogen tidak menentu menjadi evolusi heterogen menentu dan terspesialisasi. Secara sederhana menurut Spencer masyarakat dibentuk oleh individu.
Masyarakat sebagai suatu system kesimbangan; masyarakat adalah bukan merupakan sebuah pekerjaan yang terpusat bersama, tetapi sebuah pekerjaan individualistic untuk keuntungan-keuntungan seseorang, beradu melawan yang lainnya dengan hanya kooperasi sekunder dalam menguraikan self-interest. Masyarakat itu bagaikan sebuah pasar daripada sebuah organisme individual; di sana tidak ada pusat control, tapi hanya ada jaringan-jaringan interaksi. Comte menginginkan adanya “status sosial” dan “dinamika sosial” hal ini bisa diwujudkan dengan keseimbangan-keseimbangan. Neil Smelsel setuju bahwa “suatu system-system tindakan (sosial) dikendalikan oleh suatu prinsip keseimbangan”. Stabilitas dihasilkan dari keseimbangan-keseimbangan (equilibria) arus-arus serangan balasan; perubahan dihasilkan dari keseimbangan-keseimbangan. “posisi-posisi”;, “kekuatan-kekuatan”, “kekuasaan-kekuasaan”, “tekanan-tekanan” bidang sosial ini cocok dianalisis dan diukur, baru kemudian kita bisa mengakses terhadap gerakan-gerakan sosial. Masyarakat tediri dari individu-individu yang tergabung dalam unit-unit,  bergerak dalam kepercayaan, tarikan-tarikan, penolakan-penolakan yang beragam dan tersusun dalam kelompok-kelompok sosial. Individu-individu dikendalikan oleh sebuah system.
Masyarakat sebagai sebuah system structural-fungsional. Bebeda dengan sosiolog sebelumnya, sosiolog kontemporer berpendapat bahwa masyarakat bukanlah sebagai system organic dan juga bukan system mekanik. Paradigma yang ditawarkan, bahwa masyarakat merupakan sebuah fungsionalisme-strucural, dengan tujuan untuk melukiskan sebuah system sosial secara asli dengan struktur-struktur dan fungsi-fungsi komunal, dalam sebuah keseimbangan yang terdeskripsikan secara ilmiah.[9] Masyarakat merupakan elemen yang sangat penting didalam struktur-struktur dan fungsi-fungsinya dalam sebuah jaringan. Teori ini lebih menekankan pada keteraturan/order, mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep utamanya adalah  fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan/equilibrium. Masyarakat menurut teori ini merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian/elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang laib.Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Salah satu tokohnya adalah Robert K.Merton berpendapat bahwa objek analisa sosiologi adalah fakta sosial seperti peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dll.
Penganut teori fungsional ini memang memandang segala pranata sosial yang ada dalam suatu masyarakat tertentu serba fungsional dalam artian positif dan negatif. Satu hal yang dapat disimpulkan adalah bahwa masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada fungsional bagi sistem sosial itu. Masyarakat dilihat dalam kondisi:dinamika dalam keseimbangan.
Masyarakat sebagai sebuah system sibernetik. Sibernetika merupakan teori yang bebeda dengan teori sebelumnya. Sibernetik menganggap masyarakat sebagai infomasional yang memiliki kekuatan untuk meneruskan dan menggunakan informasi, sebagaimana computer yang mampu mengakses semua informasi yang masuk. Namun manusia lebih dari hanya simulasi mesin computer. Hal yang paling berperan adalah logika manusia, mengingat kehidupan manusia selalu dilingkari persoalan-persolan, mulai dari koopersai, kecurangan, permainan, permusuhan, penindasan. Di sinilah muncul teori bahwa masyarakat adalah sebuah system yang tidak jelas;ia adalah system pembelajaran yang adaptif, dan orang merasa sulit untuk memprogram ulang ke dalam model-model atau computer-komputer yang akan menjadi gerakan lanjut di dalam interpretasi konstitusionsl atau resmi. Tidak seperti simulasi permainan, aturan-aturan itu sendiri merupakan sebuah set terbuka. Maka masyarakat dalam teori ini berjuang sekuat tenaga dengan logikanya untuk memperoleh kekuasaan.
Masyarakat didalam konflik histories, keempat teori tentang masyarakat di atas tidak yang mencoba menangani konflik dalam masyarakat. Teori ini dibangun dalam rangka menentang langsung terhadap teori fungsionalisme struktural.Tokoh utama teori ini adalah Ralp Dahrendorf. Teori ini bertentangan dengan fungsionalisme struktural yaitu masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di tandai pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Teori ini menilai bahwa keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah disebabkan karena adanya pemaksaan /tekanan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Konsep teori ini adalah wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta sosial. Dahrendorf berpendapat bahwa konsep-konsep seperti kepentingan nyata dan kepentingan laten,kelompok kepentingan dan kelompok semu,posisi dan wewenang merupakan unsur-unsur dasar untuk dapat menerangkan bentuk-bentuk dari konflik. Sementara itu Berghe mengemukakan empat fungsi dari konflik yaitu:
1.      Sebagai alat untuk memelihara solidaritas
2.      Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain.
3.      Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.
4.      Fungsi komunikasi, sebelum konflik kelompok tertentu mungkin tidak mengetahui posisi lawan.Tapi dengan adanya konflik,posisi dan batas antara kelompok menjadi lebih jelas.
Kesimpulan dari teori konflik adalah terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat di samping konflik itu sendiri. Masyarakat sebagai sebuah teks untuk diinterpretsikan; berbeda dengan beberapa teori sosial di atas yang membawa  paradigam ilmu sosial kedalam fisika dan biologi. Teori ini melihat pada ektrim yang lain yakni pada teologi; suatu masyarakat adalah suatu teks untuk diinterpretasikan. Logika yang dipakai sama dengan seorang mufasir yang akan menfasirkan teks kitab suci dengan ilmu hermeunetika dalam rangka mentrasformasi kandungan teks yang ada ke dalam masyarakat masa kini. Mengingat posisi teks ayat suci bagi satu atau beberapa masyarakat merupakan tempat penyimpanan,par excellence. Peraturan atau dalil agama adalah lambing dari tingkah laku yang berorientasi peraturan. Bahkan jika tidak ada teks, mereka melakukan analogi. Dari sini ditemukan bahwa bentuk logika ilmu sosial adalah bukan mekanis, bukan organic, bukan fungsional dan juga bukan sibernetik. Ia adalah dramatic dan histories. Masyarakat bagaikan sebuah permainan catur, nilai dari orang atau masyarakat dicerminkan dari perannya di dalam masyarakat.
      F.     Agama sebagai sebuah proyeksi social
Daniel Bell menuliskan bahwa ‘akhir abad sembilan belas, awal abad dua puluh- mengharapkan agama untuk menghilang oleh permulaan abad dua puluh satu’. Tesis yang utama di sini adalah bahwa agama tidak dapat tidak konsekuensial, oleh karena itu ia harus menyediakan beberapa fungsi krusial di dalam masyarakat. Di sisi lain agama tidak dapat menjadi apa ia klaim secara terang-terangan, bagi laporan-laporan religius yang beragam adalah luar biasa dan controversial, bertakhayul dan tidak ilmiah. Agama adalah sesuatu yang pura-pura. Jadi tugas dari ilmu sosial adalah untuk menemukan mengapa orang-orang bertingkah laku begitu. Menurut sosiolog mereka berada dalam proses-proses yang tidak bisa dipahami. Mereka tidak mengkaji kebenaran agama secara serius. Sedangkan kajian di dalam ilmu sosial adalah sesuatu yang lainadalah epifenomenal dan kesatuan. Ilmu sosial di sini terlepas dari masalah teologi atau nonteologi.[10] Namun ini juga tidak menjawab masalah. Berbeda denagn pemikiran Emile Durkheim; jika agama ditinggalkan lantas dari mana kohesi-kohesi sosial akan terbentuk. Apakah ilmu pengetahuan tentang moralitas atau pendidikan sosial mampu menjadi pengganti agama? Jika tidak maka teori sosiologiini hanya merupakan sebuah tes atau eksperimen. Fungsi kolektif agama dalam perspektif Durkheim; bahwa agama merupakan “sebuah sesuatu kolektif yang nyata”. Ia memproduksi dirinya sendiri melalui kebudayaan dan ritual, melalui sakramen, festival, layanan, upacara dan tarian. Ia selalu mengandung sebuah etika, yang mengabadikan komitmen-komitmen nilai masyarakat, mendukung ini dengan otoritas keramat dan suci. Realitas seperti ada di dalam setiapa agam yang dianut oleh masyarakat. Agama memiliki sebuah alam konservatif yang kuat, ia menyatu di dalam kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat. Masyarakat yakin bahwa Tuhan merupakan kekuatan di atas individu, tempat bergantung, yang harus dihormati, yang mampu menyenagkan, misterius dan keramat. Dari realitas inilah kemudian Durkheim berpendapat bahwa agama memiliki fungsi sosial; yaitu fungsi solidarits sosial, memberi arti hidup, perubahan sosial, dan dukungan psikologis.
Dari sini maka sulit untuk dibedakan antara sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran atau interpretasi agama. Sesuatu yang murni agama berasal dari Tuhan, absolute dan mengandung nilai sakralitas. Hasil pemikiran agama berarti berasal dari selain Tuhan (manusia), bersifat temporal, berubah dan tidak sakral. Keduanya  kadang-kadang sulit untuk dibedakan dalam kehidupan masyarakat. Dari sinilah kemudian Durkehim berpendapat “saya melihat di dalam Tuhan hanya msyarakat yang terungkap secara simbolis dan berubah rupa atau roman”. Agama direduksi pada sosiologi. Durkheim tidak diragukan lagi telah masuk ke dalam akar-akar dari banyak kehidupan religius, tetapi ia tidak mengikuti bahwa dia telah memegang akar utama atau dia telah menumbangkan agama-agama klasik di dalam dimensi ini yang telah dia identifikasi.
Kepaduan sosial adalah bagian dari berita Tuhan. Tetapi ia bukanlah semua dari itu. Bahkan di mana praktik-prakteknya adalah diam-diam, tidak secara ekplisit, kekasadaran sosial adalah bukan satu-satunya asal mula agama bukan pula mesin utamanya.[11] Agam bisa juga karena konfrontasi dengan alam, misalnya ketika matahari terbenam, ketika ada badai, ada hujan lebat, disaat seperti ini muncul perasaan tentang numinous, supernatural dan pokok. Kondisi seperti ini oleh Durkheim dikatakan bahwa agama adalah apa yang dilakukan individu dengan keterpencilannya. “Ada suatu ruang penting di mana ‘ruang suci’ seseorang bukanlah refleksi dari masyarakat sama sekali, tetapi jauh dari keramaian masyarakat, ruang bagi privasi dan untuk menyendiri (meditasi) untuk kontak dengan realita kehidupan dimasyarakat. Kondisi alam, kehidupan personal, yang telah dilakukan oleh masyarakat merupakan koefesian sosial. Semuanya itu sebagai teori-laden. Pertemuan kita dengan alam dimediasi oleh kebudayaan.
Namun teori ini kemudian ditumbangkan dengan datangnya abad modern yang berkeyakinan bahwa agama itu adalah wahyu dari Tuhan. Dan tidak termasuk agama apa yang telah menjadi budaya di masyarakat. Dalam kondisi seperti ini lama kelamaan agama tradisional kemudian punah digantikan dengan agama universal (Islam, Kristen, Budha). Agama universal melahirkan kebudayaan untuk diyakini bahkan berlebihan jika dibandingkan dengan kebudayaan yang ada. Padahal dalam agama universal ini juga mengandung cerita-cerita tentang umat terdahulu. Misalnya cerita tentang umat Nabi Musa, Yesus, Muhammad, Budha, Martin Luther, yang tentu saja cerita ini juga merupakan bentukan budaya. Masyarakat penganut agama universal ini lebih percaya pada keterangan kyai dan pendeta. Agama universal ini berkembang pesat mengalahkan agama primitive. Bahkan kemudian mengkritisi dan mencoba menggulingkan mereka. Durkeim sadar kondisi demikian, namun ia mencoba untuk tetap menyembunyikan di dalam “effervescence” dan menganggap bahwa ini sebuah penggelembungan sosial dari mana Tuhan muncul. Tetapi orang juga boleh mendebat bahwa kretifitas agama ini adalah sebuah kelarutan misterius, namun bisa juga bahwa antusiasme agama universal ini merupakan wahyu dari Tuhan.
Apa yang kita punya di dalam Tuhan (wahyu) bukan merupakan fakta ilmiah. Dan tidak bisa bertahan seagai teori ilmiah, tetapi sebaliknay sebagai teori “blik”. Agama universal ini kemudian memotong dan menganggap bahwa kepercayaan-kepercayaan bukanlah  merupakan agama, karena tidak mampu menjelaskan tentang mengapa ada dunia, apa arti hidup, mengapa peristiwa itu terjadi dan lain sebagainya. Sementara masyarakat memerlukan jawaban atas semua itu. Masyarakat ingin mendapatkan identitas  di dunia dan keberadaannya di masyarakat. Mengingat manusia memiliki kendali-kendali logis, epistimologis, dan metafisis. Mereka mempunyai dorongan religius: merekamenginginkan penjelasan-penjelasan.  Mereka ingin bertanggungjawab atas keberadaan manusia di dunia. Manusia harus mengerti dari mana sumber ajaran atas apa yang mereka lakukan dengan kebersamaan yang mutlak. Setiap ritual dan prkatik-praktik keramat tidak hanya sebagai tradisi kesetiaan terhadap kelompok dan pengalaman mereka, akan tetapi memiliki tujuan universal. Symbol-simbol religius bukan hanya sekedar symbol masyarakat akan tetapi symbol dunia secara keseluruhan. Penemuan bahwa agama merupakan system sosial merupakan mungkin bisa salah mungkin bisa benar. Penemuan agama secara sosial memilimi sedikit bukti. Oleh karena itu kita harus melihat dalam praktik setiap agama. Karena masing-masing agama (primitive maupun agama universal) memiliki klaim kebenaran yang berbeda-beda.
Agama primitif, seperti sains primitive, penuh dengan kesalahan, akan tetapi kepercayaan mereka memiliki referensi lain dari pada masyarakat. Meskipun salah tapi Arunta secara sejati memegang teguh kepercayaan mereka. meskipun teori sosial sekarang ingin membuang akan tetapi mereka memiliki  elemen-elemen penting yang pantas untuk dihargai. Dengan mengadakan observasi dan eksperimen yang lebih modern dan teori-teori ynag lebih baik kemudian mitos-mitos itu tumbang. Akan tetapi ternyata teori-teori modern tidak mampu mempetahankan fungsi sosial agama, tidak lebih nyaring dalam lingkungan. Justru dengan teori modern yang lebih ilmiah, sekuler dan tekhnoligis tidak lebih baik dalam mengemban kedamian, tetapi justru memicu pada terjadinya perang nuklir, krisis ekologi dan ilmu sosial.[12] Ketika sosiolog ingin meninggalkan agama primitive  dan datang dengan agama modern, karena dipengaruhi oleh pendapat Durkheim yang hanya memperhatikan kepercayaan pemeluknya dan bukan kepercayaan itu sendiri. Kemudian ia berusaha merasionalkan agama dengan sains. Dengan begini Comte yakin bahwa agama primitive akan mundur secara progresif. Mereka tidak sadar bahwa dalam agama sebenarnya ada sesuatu yang abadi yang tidak bisa berubah dengan berubah perkembangan ilmu.
Durkheim telah menemukan bahwa Tuhan adalah sebuah ilusi yang dikeramatkan, namun ia tidak mendapatkan apa-apa. Ketika masyarakat mulai meninggalkan pemujaan terhadap Dewa kemudian berubah memuja dirinya sendiri. Ketika premis-premis Durkheim salah namun sudah meluas ia hanya dapat berkata”ini bagian dari ketidakpastian dan agitasi yang membingungkan” Teori Durkheim merupakan suatu ketidakmungkinan, karena ternyata sainsnya menemukan bahwa masyarakat memerlukan agama. Ketiak masyarakat menghadapi soal kematian, kehidupan, kelahiran dan pembentukannya tetang apa yang senyatanya adan apa yang seharusnya, maka hal ini tidak memerlukan objek ilmiah. Ternyata tidak ada sains yang dapat mengontrol, memprediksi, menjelaskan dan mengkritik masyarakat secara mendalam. Di antara kekuatan-kekuatan kolektif yang menginspirasikan kita mungkin ada napas rahasia dari ketuhanan, sebuah jiwa yang menginspirasi alam, sama halnya dengan kebudayaan yang mengelilingi dan melahirkan kita. Oleh karena itu walaupun ditumbangkan dengan sains modern apapun agama sampai sekarang tetap tumbuh dan berkembang. Pada akhirnya pertanyaan tentang asal mula agama adalah bukan pertanyaan ilmiah. [13]

      G.    Nilai-nilai di dalam ilmu pengetahuan social
Ketika para sosiolog berpendapat bahwa ilmu itu bebas nilai maka pernyataan ini pantas mendapatkan dipertanyakan mengapa mereka berpikiran demikian. Martindle berkata bahwa pernyataan ini perlu mendapatkan inspeksi lebih jauh, terutama ketika sains ini berusaha ingin membubarakan agama. Sedangkan pada waktu yang sama sains ingin mencari sejauhmana relasi antara agama dan ilmu sosial. Dalam hal ini Robert Bierstedr menuliskan bahwa “sosiologi adalah sebuah disiplin kategoris dan bukan normative, ia membatasi diri terhadap apa yang ada dan bukan apa yang seharusnya. Sosiologi tidak merekomendasi pada persoalan kebijakan sosial. Bahwa sosiologi tida ada hubungannnya dengan mana perilaku manusia yang baik dan yang buruk. Persoalan baik buruk, benar salah inilah yang membedakan antara sosiologi dan agama.
Namun pernyataan Robert ini mencampurkan antara ought dan is nya. Dia mengajukan bagaimana sosiologi itu menjadi, bukan bagaimana sosiologi itu ada. Tetapi pernyataan bahwa sosiologi itu bebas nilai lebih kompleks dibandingkan dengan kemunculan pertamanya. Dengan berbagai factor yang sosiologi bisa momot nilai dan bisa juga bebas nilai, tergantung pada pembahasan pada manusia itu sendiri apakah ada hubungan actual atau perlu  apa ilmu sosial dengan ideology-ideologi.
Apa yang ada dan dilakukan oleh masyarakat baik cepat atau lambat memiliki menjadi value-laden. Bagi sosiolog mengandung ilmu sosial, tetapi dia tidak mampu mengungkap alasan dibalik latar belakang perilaku masyarakat. Dan hal inilah yang bisa meruntuhkan teori-teori sosiologi. Durkheim terlalu banyak melupakan dan merendahkan fenomena religius, padahal sebenarnya teologi yang baik mungkin akan membantu dalam mendeteksi sosiologi yang buruk. Seroang sosiolog harus menyadari bahwa pada dasarnya juga berada dalam pemegang kumpulan nilai yang digambarkan oleh fenomena yang ia pelajari.
Dalam pengertian terbatas tetapi penting diperhatikan bahwa sosiologi seharusnya deibebakan dari control pemerintah, institusional, komersial, bahkan juga agama, sekalipun para sosiolog itu bekerja tidak bisa lepas dari lingkungan yang melingkupinya. Tetapi sosiologi tidak boleh terikat dengan nilai-nilai yang ada di luar. Dan masyarakat sendiri juga tidak boleh menghukum secara apriori sebelum menemukan kesimpulan yang digambarkan oleh sosiolog. Berbeda dengan ilmu alam. Dalam ilmu alam sebuah teori yang kemudian dinyatakan salah, boros dan lain-lain, maka ilmuwan segera harus menarik dukungannya. Sedangkan dalam ilmu sosial, sebuah keputusan mengenai fakta seharusnya dibuat sebuah atmosfir yang tidak dipaksakan dan terbebas dari nilai-nilainya sendiri. Sosiologi memiliki hak otonom yang bertanggungjawab, tetapi ia akan tetap memperhatikan hak-hak yang mendukungnya untuk ditanamkan menjadi sains yang relevan dan bijaksana.[14]
Dalam kaitannya dengan agama, sering terjadi perbedaan antara ajaran dengan perilaku, yang kemudian itulah yang memicu keputusan bahwa agama itu budaya, yang kemudian berubah-ubah, maka yang harus dilakukan oleh sosiolog adalah merevisi estimasi orang mengenai fungsi-fungsi yang terlihat di dalam agama. Maka tidaklah keliru jika Durkheim mengatakan bahwa agama adalah proyeksi sosial. Kingsley Davis membuktikan bahwa kelas-kelas sosial adalah fungsional dan tidak dapat dihindarkan terutama dalam masyarakat maju. Apa yang  bisa terima dari sosiolog tergantung pada seberapa cocok nilai-nilai tersebut berada dalam kehidupan kita. Karena pada dasarnya teori sosial itu yang penting adalah bukti.
Namun tetap ada tendensi-tendensi naturalistic di dalam ilmu sosial. Dalam sebuah keyakinan religius, sosilog harus bisa menerima secara penuh oleh studi ilmiah, bahwa agama dapat dijelaskan tanpa residu dalam hal kategori ilmu sosial, dan di luar kategori agama itu sendiri. J. Milton Yinger mengatakan bahwa; Sains tidak dapat dihindarkan tetap mengambil sebuah pandangan agama naturalistik.” Tetapi tetap juga memperhatikan sejauhmana keterbukaan konsep seseorang mengenai naturalistic. Maka yang terjadi bahwa agama memiliki beberapa macam  by product, inilah kemudian yang dikiritik oleh Durkheim dan Comte bahwa agama tradisional akan segera diganti. Untuk itu diperlukan sikap yang tidak blik agar bisa menerima dan mendengarkan kebenaran yang sebaliknya. Pertanyaan Holmes jika masyarakat kemudian berpindah ke agama universal dan meninggalkan agama tradisional, berarti tidak bisa menerima kritik?[15]
Tendensi-tendensi therapeutic di dalam ilmu sosial. Dalam sosiologi seharusnya memperhatikan impuls therapeutic yang hal ini tidak ada dalam ilmu alam. Dalam sosiologi ingin mempelajari masyarakat yang kadang-kadang tidak manusiawi dan melampaui yang is mengenai ang ought. Oleh karena itu Lee Benson dalam pidatonya menganjurkan bagaimana agar ilmu sosial itu bisa mengubah dunia dan bukan memahami dunia. Pernyataan ini sejalan dengan Karl Marx. Namun tetap harus diakui bahwa ilmu sosial pada dasarnya memiliki peran yang signifikan dalam menyelamatkan masyarakat.
Namun sebenarnya agak paradok, ketika ilmu sosial  menggambarkan “masalah-masalah” tetapi kemudian tidak memberikan solusi apa yang harus dilakukan. Inilah letak signifikansi agama agama dalam ilmu sosial. Ketika sosiologi menemukan masalah maka solusinya ada pada agama, mengingat bahwa masyarakat ketika mengalami persoalan tidak bisa meninggalkan peran keyakinan. Manusia adalah self- defining. Semakin mereka belajar, semakin banyak kekuasaan-kekuasaan yang mereka punyai. Suatu penemuan dalam ilmu sosial jika benar, maka system-sistem masa lampau mempunyai prioritas pada individu, tak perlu benar dimasa depan. Jadi apakah kita harus mempertahankan atau membrontak tradisi masa lampau? Kita bisa belajar dari tradisi dari masa lampau dengan bisa menerima keyakianan dan tetap tidak bisa mengkritik itu tanpa memiliki pertimbangan otonomi. Otonomi dalam agama maupun dalam sains.
Disinilah kemudian sosiologi  yakin bahwa tradisi-tradisi agama  berperasi pada individu untuk memproduksi solidarits di dalam masyarakat, setelah itu sosiologi sadar bahwa ilmu sosial meningkatkan pilihan re;igius dari pada harus menurunkannya. Tetapi pada waktu yang sama sosiologi tidak mampu memberi kekuatan untuk membantu kita memilih diantara pilihan-pilihan religius apa yang mampu meningkatkan analisa ilmu sosial. Mungkin kehidupan religius pada akhirnya tidak sama, tetapi sosiologi dapat mempelajarinya. Maka sebetulnya dugaan bahwa ilmu sosial itu bebas nilai itu sebenarnya hanya mitos tapi mitos yang berguna. Banyak sosiologi yang mengkritik agama dengan salah, padahal pada dasarnya sosiologi itu sendiri memiliki muatan religius.
Semua ilmu tentang manusia banyak meminjam paradigma-paradigma ilmu alam, padahal dia sendiri sebetulnya memiliki paradigma yang unik. Psiokologi memiliki kategori pikiran, kesatuan psikis. Ilmu sosial mempunyai paradigma mengenai komunitas cultural. Keduanya menjual diri mereka sendiri dengan mencari-cari model mekanistik, organic, causal, seimbang, fungsional, sibernetik, padahal paradigma ini lebih sempit jika dibandingkan paradigma sosiologi itu sendiri.



DAFTAR PUSTAKA

1.      Mustopo, M. Habib. Ilmu Budaya Dasar . Surabaya: Usaha Nasional.
2.      Sukidin, Basrowi, Agus Wiyaka. 2003. Pengantar Ilmu Budaya . Surabaya: Insan Cendikia.
3.      P.J. Zoutmulder. 1951. Cultuur, Oost en West. Amsterdam: P.J. Van Der Peet.
4.      Gazalba, Sidi. 1978. Asas Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
5.      http//www.katananjiwa.com.Sastra; antara transformasi dan pergesekan (Kredo). Disadur dari  Ahmed Falhan Mahasiswa tingkat akhir Fak. Sastra Arab Univ. Al Azhar Kairo Mesir.
6.      Gumilar, Gumgum, S.Sos., M.Si. Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom.
7.      Sulaeman, Munandar. Ir. Drs. Ms. 1995. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT. Eresco.
8.      Daeng, Hans J. Dr. 2000. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Tidak ada komentar: