Selasa, 24 Februari 2015

Analisis Kritis Permasalahan Penddikan Aspek Manajemen Dan Pemberdayaan Kualitas Pendidikan


ANALISIS PERMASALAHAN PENDIDIKAN
ASPEK MANAJEMEN DAN PEMBERDAYAAN KUALITAS PENDIDIKAN
A.  Pemerataan Pendidikan
Indonesia adalah negara berkembang yang masih mengalami berbagai proses pembangunan. Di sektor pendidikan, Indonesia masih kurang mengembangkan SDM yang dimiliki masyarakat. Buktinya, dalam sebuah survei mutu pendidikan, Indonesia menempati urutan ketiga dari bawah di antara 40 negara lain.
Sistem pendidikan di Indonesia selalu disesuaikan dengan kondisi politik dan birokrasi yang ada. Padahal itu bukanlah masalah utama dalam meningkatkan mutu pendidikan. Yang lebih penting adalah bagaimana pelaksanaan di lapangan, termasuk kurangnya pemerataan pendidikan, terutama di daerah tertinggal. Pemerataan pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang sangat rumit. Ketidakmerataan pendidikan di Indonesia ini terjadi pada lapisan masyarakat miskin. Faktor yang mempengaruhi ketidakmerataan ini disebabkan oleh faktor finansial atau keuangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mahal biaya yang dikeluarkan oleh individu. Indonesia merupakan negara berkembang yang sebagian besar masyarakatnya hidup pada taraf yang tidak berkecukupan. Masyarakat menganggap bahwa banyak yang lebih penting daripada sekedar membuang-buang uang mereka untuk bersekolah. Selain itu, biaya pendidikan di Indonesia yang relatif mahal jika dibandingkan negara lain meskipun biaya di beberapatingkat pendidikan telah dibebaskan.
Terlihat bahwa faktor biaya menjadikan pendidikan masyarakat miskin menjadi lebih rendah dibandingkan masyarakat kota. Akses tempat tinggal pun dapat menjadi factor rendahnya pendidikan masyarakat miskin. Masyarakat miskin yang biasanya bertempat tinggal di desa-desa memiliki akses jalan yang sulit dijangkau. Sehingga pendidikan yang masuk ke dalam masyarakt miskinpun menjadi minim, padahal desa dapat membantu perekonomian menjadi lebih baik. Disini terlihat dari Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah namun Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang memiliki pendidikan, sehingga SDA yang melimpah kurang dimanfaatkan sebaik mungkin. Tidak hanya ditekankan pendidikan formal saja untuk dapat mengelola SDA, bisa saja pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan pemerintah untuk warga miskin agar dapat memanfaatkan SDA sebaik mungkin sehingga dapat memajukan dan membangun perekonomian.
Fenomena yang ada di Indonesia cukup ironis. Banyaknya lulusan sekolah tingkat menengah dan perguruan tinggi setiap tahunnya, ternyata tidak sebanding dengan lowongan pekerjaan yang disediakan. Hal itu jelas menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Bahkan angka pengangguran mencapai 9,5% per tahun. Untuk menuju pemerataan pendidikan yang efektif dan menyeluruh, kita perlu mengetahui beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi sektor pendidikan kita. Permasalahan itu antara lain mengenai keterbatasan daya tampung, kerusakan sarana prasarana, kurangnya tenaga pengajar, proses pembelajaran yang konvensional, dan keterbatasan anggaran. Hal inipun menjadi faktor pengaruh pendidikan masyarakat miskin menjadi rendah.
Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya.Guru tersentral di wilayah maju, dan tidak berminat untuk mengajar didaerah terluar Indonesia. Pemerintah kurang memperhatikan permasalahan ini, sehingga pada daerah maju terjadi penumpukkan tenaga guru dan pada daerah terluar Indonesia kekurangan tenaga guru. Hal itu medorong kurangnya pemerataan pendidikan di Indonesia.
B.  Relevansi Pendidikan Dengan Pembangunan
Rendahnya relevansi pendidikan dengan pembangunan dapat dilihat dari banyaknya lulusa yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
Indonesia sebagai Negara berkembang membutuhkan tenaga kerja yang terampil sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Hal ini dapat dilakukan dengan menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan kebutuhan pembangunan. Masalah relevansi pendidikan adalah masalah kesesuaian tamatan yang dihasilkan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat, baik sebagai tenaga kerja maupun sebagai pribadi dan anggota masyarakat pada umumnya. Masalah ini sedikit banyak berkenaan dengan:
1.    Ketersediaan lapangan kerja dalam masyarakat
2.    Perkembangan dan perubahan yang cepat dalam jenis dan tugas – tugas pekerjaan
3. Aspirasi dan tuntutan masyarakat yang terus meningkat dalam upaya mencapai mutu kehidupan
4. Mutu dan perolehan tamatan yang dihasilkan sekolah yang secara faktual tidak dapat memenuhi harapan dan kebutuhan dunia kerja.
C.  Pembiayaan Pendidikan
Dalam UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Bahkan warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Demikian pula warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Untuk memenuhi hak warga negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan baik dari segi mutu dan alokasi anggaran pendidikan dibandingkan dengan negara lain, UUD 1945 mengamanatkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dengan kenaikan jumlah alokasi anggaran pendidikan diharapkan terjadi pembaharuan sistem pendidikan nasional yaitu dengan memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya system pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Hal paling krusial yang dihadapi pendidikan kita adalah masalah pembiayaan/keuangan, karena seluruh komponen pendidikan di sekolah erat kaitannya dengan komponen pembiayaan sekolah. Meskipun masalah pembiayaan tersebut tidak sepenuhnya berpengaruh langsung terhadap kualitas pendidikan, namun pembiayaan berkaitan dengan sarana-prasarana dan sumber belajar. Berapa banyak sekolah-sekolah yang tidak dapat melakukan kegiatan belajar mengajar secara optimal, hanya masalah keuangan, baik untuk menggaji guru maupun untuk mengadakan sarana dan prasarana pembelajaran. Dalam kaitan ini, meskipun tuntutan reformasi adalah pendidikan yang murah dan berkualitas, namun pendidikan yang berkualitas senantiasa memerlukan dana yang cukup banyak. 
Keempat, terkait dengan efisiensi dan efiktifitas, sekolah harus mampu memenej keuangan yang ada sehingga dapat menghindari penggunaan biaya yang tidak perlu. Efektifitas pembiayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi, program kegiatan tidak hanya dihitung berdasarkan biaya tetapi juga waktu, dan amat penting menseleksi penggunaan dana operasional, pemeliharaan, dan biaya lain yang mengarah pada pemborosan.
Sekolah secara mandiri dan berkewenangan penuh menata anggaran biaya secara efisien, karena jumlah enrollment akan menguras sumber-sumber daya dan dana yang cukup besar. Adanya konsep manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya menampilkan konsep pengelolaan anggaran pendidikan dengan tujuan untuk menjawab persoalan bagaimana mendayagunakan sumber-sumber pembiayaan yang relatif kecil dan terbatas itu secara efektif dan efisien, bagaimana mengembangkan sumber-sumber baru pembiayaan bagi pembangunan pendidikan, agar tujuan pendidikan tercapai secara optimal.
Dalam kondisi dana yang sangat terbatas dan sekolah dihadapkan kepada kebutuhan yang beragam, maka sekolah harus mampu membuat keputusan dengan berpedoman kepada peningkatan mutu. Manakala sekolah memiliki rencana untuk mengadakan perbaikan suasana dan fasilitas lain seperti memperbaiki pagar sekolah atau memperbaiki sarana olah raga. Tetapi pengaruhnya terhadap peningkatan mutu proses belajar mengajar lebih kecil dibanding dengan pengadaan alat peraga atau laboratorium, maka keputusan yang paling efisien adalah mengadakan alat peraga atau melengkapi laboratorium.
Dalam biaya pendidikan, efisiensi hanya akan ditentukan oleh ketepatan di dalam mendayagunakan anggaran pendidikan dengan memberikan prioritas pada faktor-faktor input pendidikan yang dapat memacu prestasi belajar siswa. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) merupakan suatu rancangan pembiayaan pendidikan di sekolah dalam rangka mengatur dan mengalokasikan dana pendidikan yang ada sumbernya dan sudah terkalkulasi jumlah dan besarannya baik yang merupakan dana rutin bantuan dari pemerintah berupa Dana Bantuan Operasional atau dana lain yang berasal dari sumbangan masyarakat atau orang tua siswa. 
Dalam merancang dan menyususn Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya masalah efektivitas pembiayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi. Efektivitas pembiayaan merupakan faktor penting yang senantiasa diperhitungkan bersamaan dengan efisiensi, artinya suatu program kegiatan tidak hanya menghitung waktu yang singkat tetapi tidak memperhatikan anggaran yang harus dikeluarkan seperti biaya operasional dan dana pemeliharaan sarana yang mengarah pada pemborosan. Jadi dalam hal ini Kepala Sekolah bersama-sama guru dan Komite Sekolah dalam menentukan anggaran pembelajaran harus berdasarkan kebutuhan yang riil dan benar-benar sangat dibutuhkan untuk keperluan dalam rangka menunjang penyelenggaraan proses pembelajaran yang bermutu.

Tidak ada komentar: