ANALISIS PERMASALAHAN
PENDIDIKAN
ASPEK MANAJEMEN DAN
PEMBERDAYAAN KUALITAS PENDIDIKAN
A.
Pemerataan
Pendidikan
Indonesia adalah negara berkembang
yang masih mengalami berbagai proses pembangunan. Di sektor pendidikan,
Indonesia masih kurang mengembangkan SDM yang dimiliki masyarakat. Buktinya,
dalam sebuah survei mutu pendidikan, Indonesia menempati urutan ketiga dari
bawah di antara 40 negara lain.
Sistem pendidikan di Indonesia
selalu disesuaikan dengan kondisi politik dan birokrasi yang ada. Padahal itu bukanlah
masalah utama dalam meningkatkan mutu pendidikan. Yang lebih penting adalah
bagaimana pelaksanaan di lapangan, termasuk kurangnya pemerataan pendidikan,
terutama di daerah tertinggal. Pemerataan pendidikan di Indonesia merupakan
masalah yang sangat rumit. Ketidakmerataan pendidikan di Indonesia ini terjadi
pada lapisan masyarakat miskin. Faktor yang mempengaruhi ketidakmerataan ini
disebabkan oleh faktor finansial atau keuangan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan, semakin mahal biaya yang dikeluarkan oleh individu. Indonesia merupakan
negara berkembang yang sebagian besar masyarakatnya hidup pada taraf yang tidak
berkecukupan. Masyarakat menganggap bahwa banyak yang lebih penting daripada sekedar
membuang-buang uang mereka untuk bersekolah. Selain itu, biaya pendidikan di Indonesia
yang relatif mahal jika dibandingkan negara lain meskipun biaya di beberapatingkat
pendidikan telah dibebaskan.
Terlihat bahwa faktor biaya
menjadikan pendidikan masyarakat miskin menjadi lebih rendah dibandingkan
masyarakat kota. Akses tempat tinggal pun dapat menjadi factor rendahnya
pendidikan masyarakat miskin. Masyarakat miskin yang biasanya bertempat tinggal
di desa-desa memiliki akses jalan yang sulit dijangkau. Sehingga pendidikan
yang masuk ke dalam masyarakt miskinpun menjadi minim, padahal desa dapat
membantu perekonomian menjadi lebih baik. Disini terlihat dari Sumber Daya Alam
(SDA) yang melimpah namun Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang memiliki
pendidikan, sehingga SDA yang melimpah kurang dimanfaatkan sebaik mungkin.
Tidak hanya ditekankan pendidikan formal saja untuk dapat mengelola SDA, bisa
saja pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan pemerintah untuk warga miskin
agar dapat memanfaatkan SDA sebaik mungkin sehingga dapat memajukan dan
membangun perekonomian.
Fenomena yang ada di Indonesia
cukup ironis. Banyaknya lulusan sekolah tingkat menengah dan perguruan tinggi
setiap tahunnya, ternyata tidak sebanding dengan lowongan pekerjaan yang
disediakan. Hal itu jelas menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Bahkan
angka pengangguran mencapai 9,5% per tahun. Untuk menuju pemerataan pendidikan
yang efektif dan menyeluruh, kita perlu mengetahui beberapa permasalahan
mendasar yang dihadapi sektor pendidikan kita. Permasalahan itu antara lain
mengenai keterbatasan daya tampung, kerusakan sarana prasarana, kurangnya
tenaga pengajar, proses pembelajaran yang konvensional, dan keterbatasan
anggaran. Hal inipun menjadi faktor pengaruh pendidikan masyarakat miskin
menjadi rendah.
Secara umum, para guru di Indonesia
kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang
memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya.Guru
tersentral di wilayah maju, dan tidak berminat untuk mengajar didaerah terluar
Indonesia. Pemerintah kurang memperhatikan permasalahan ini, sehingga pada
daerah maju terjadi penumpukkan tenaga guru dan pada daerah terluar Indonesia
kekurangan tenaga guru. Hal itu medorong kurangnya pemerataan pendidikan di
Indonesia.
B.
Relevansi
Pendidikan Dengan Pembangunan
Rendahnya relevansi pendidikan
dengan pembangunan dapat dilihat dari banyaknya lulusa yang menganggur. Data
BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran
terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5%
dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan
kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu
13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap
tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan
hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya
ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang
dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
Indonesia sebagai Negara berkembang
membutuhkan tenaga kerja yang terampil sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Hal
ini dapat dilakukan dengan menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan kebutuhan
pembangunan. Masalah relevansi pendidikan
adalah masalah kesesuaian tamatan yang dihasilkan pendidikan dengan kebutuhan
masyarakat, baik sebagai tenaga kerja maupun sebagai pribadi dan anggota
masyarakat pada umumnya. Masalah ini sedikit banyak berkenaan dengan:
1. Ketersediaan lapangan kerja dalam masyarakat
2.
Perkembangan
dan perubahan yang cepat dalam jenis dan tugas – tugas pekerjaan
3. Aspirasi
dan tuntutan masyarakat yang terus meningkat dalam upaya mencapai mutu
kehidupan
4. Mutu dan perolehan tamatan yang dihasilkan sekolah yang
secara faktual tidak dapat memenuhi harapan dan kebutuhan dunia kerja.
C. Pembiayaan
Pendidikan
Dalam UU Nomor 20/2003 tentang
sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Bahkan warga negara yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus. Demikian pula warga negara di daerah terpencil
atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan
layanan khusus. Untuk memenuhi hak warga negara, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi.
Untuk mengejar ketertinggalan dunia
pendidikan baik dari segi mutu dan alokasi anggaran pendidikan dibandingkan
dengan negara lain, UUD 1945 mengamanatkan bahwa dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dengan kenaikan jumlah alokasi
anggaran pendidikan diharapkan terjadi pembaharuan sistem pendidikan nasional
yaitu dengan memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan
nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya system pendidikan
sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga
negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Hal paling krusial yang dihadapi
pendidikan kita adalah masalah pembiayaan/keuangan, karena seluruh komponen
pendidikan di sekolah erat kaitannya dengan komponen pembiayaan sekolah.
Meskipun masalah pembiayaan tersebut tidak sepenuhnya berpengaruh langsung
terhadap kualitas pendidikan, namun pembiayaan berkaitan dengan
sarana-prasarana dan sumber belajar. Berapa banyak sekolah-sekolah yang tidak
dapat melakukan kegiatan belajar mengajar secara optimal, hanya masalah
keuangan, baik untuk menggaji guru maupun untuk mengadakan sarana dan prasarana
pembelajaran. Dalam kaitan ini, meskipun tuntutan reformasi adalah pendidikan
yang murah dan berkualitas, namun pendidikan yang berkualitas senantiasa
memerlukan dana yang cukup banyak.
Keempat, terkait dengan efisiensi
dan efiktifitas, sekolah harus mampu memenej keuangan yang ada sehingga dapat
menghindari penggunaan biaya yang tidak perlu. Efektifitas pembiayaan sebagai
salah satu alat ukur efisiensi, program kegiatan tidak hanya dihitung
berdasarkan biaya tetapi juga waktu, dan amat penting menseleksi penggunaan
dana operasional, pemeliharaan, dan biaya lain yang mengarah pada pemborosan.
Sekolah secara mandiri dan berkewenangan
penuh menata anggaran biaya secara efisien, karena jumlah enrollment akan
menguras sumber-sumber daya dan dana yang cukup besar. Adanya konsep manajemen
berbasis sekolah pada hakikatnya menampilkan konsep pengelolaan anggaran
pendidikan dengan tujuan untuk menjawab persoalan bagaimana mendayagunakan
sumber-sumber pembiayaan yang relatif kecil dan terbatas itu secara efektif dan
efisien, bagaimana mengembangkan sumber-sumber baru pembiayaan bagi pembangunan
pendidikan, agar tujuan pendidikan tercapai secara optimal.
Dalam kondisi dana yang sangat
terbatas dan sekolah dihadapkan kepada kebutuhan yang beragam, maka sekolah
harus mampu membuat keputusan dengan berpedoman kepada peningkatan mutu.
Manakala sekolah memiliki rencana untuk mengadakan perbaikan suasana dan
fasilitas lain seperti memperbaiki pagar sekolah atau memperbaiki sarana olah
raga. Tetapi pengaruhnya terhadap peningkatan mutu proses belajar mengajar
lebih kecil dibanding dengan pengadaan alat peraga atau laboratorium, maka
keputusan yang paling efisien adalah mengadakan alat peraga atau melengkapi
laboratorium.
Dalam biaya pendidikan, efisiensi
hanya akan ditentukan oleh ketepatan di dalam mendayagunakan anggaran
pendidikan dengan memberikan prioritas pada faktor-faktor input pendidikan yang
dapat memacu prestasi belajar siswa. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Sekolah (RAPBS) merupakan suatu rancangan pembiayaan pendidikan di sekolah
dalam rangka mengatur dan mengalokasikan dana pendidikan yang ada sumbernya dan
sudah terkalkulasi jumlah dan besarannya baik yang merupakan dana rutin bantuan
dari pemerintah berupa Dana Bantuan Operasional atau dana lain yang berasal
dari sumbangan masyarakat atau orang tua siswa.
Dalam merancang dan menyususn
Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, diantaranya masalah efektivitas pembiayaan sebagai salah satu
alat ukur efisiensi. Efektivitas pembiayaan merupakan faktor penting yang
senantiasa diperhitungkan bersamaan dengan efisiensi, artinya suatu program
kegiatan tidak hanya menghitung waktu yang singkat tetapi tidak memperhatikan
anggaran yang harus dikeluarkan seperti biaya operasional dan dana pemeliharaan
sarana yang mengarah pada pemborosan. Jadi dalam hal ini Kepala Sekolah
bersama-sama guru dan Komite Sekolah dalam menentukan anggaran pembelajaran
harus berdasarkan kebutuhan yang riil dan benar-benar sangat dibutuhkan untuk
keperluan dalam rangka menunjang penyelenggaraan proses pembelajaran yang
bermutu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar