PERBANDINGAN BUDAYA
MEMBACA
ANTARA INDONESIA DAN JEPANG
Muh
Ikhsanul Yakin
Ihsanulyakin@gmail.com
ABSTRAK
Sumber
daya manusia merupakan ukuran maju atau tidaknya suatu bangsa. Tanpa sumber daya
yang berkualitas, suatu bangsa tidak akan dapat bersaing dengan bangsa lain
dalam era globalisasi. Budaya membaca menjadi pondasi dasar bagi pendidikan
suatu bangsa. adalah sebuah kegagalan dari sebuah sistem pendidikan jika tidak
berhasil mencuptakan sebuah generasi yang memiliki budaya membaca. Jepang
sebagai negara dengan tingkat baca tertinggi di dunia, berhasil membuktikan
bahwa budaya membaca mampu mendorong kemajuan perekonomian dan ilmu. Tingginya budaya
membaca, maka akan membuat seseorang lebih memahami, menguasai dan menghargai
ilmu pengetahuan sehingga dapat meningkatkan daya saing bangsa. Seperti kita
ketahui bangsa yang hebat terdiri dari individu-individu yang luar biasa. Salah
satu cara membuat individu luar biasa adalah dengan memulai dari peningkatan
pengetahuan dan ilmu, dan cara sederhana meningkatkan ilmu pengetahuan adalah
dengan membaca.
Kata Kunci : budaya membaca, Jepang, Indonesia
Pendahuluan
Potensi bangsa Indonesia sangat besar apabila ditinjau dari jumlah
penduduknya yang terdiri dari berbagai suku, yang memiliki beraneka ragam
budaya yang perlu dikembangkan dan dilestarikan keberadaannya. Namun demikian,
potensi yang begitu besar secara kuantitas itu perlu diimbangi dengan kualitas
yang dimiliki. United Nations Development Program pada tahun 2000melaporkan
bahwa Human Development Index Indonesia berada pada peringkat 109 dari 174
negara1 dan kondisi ini lebih parah lagi pada tahun 2003, Human Development
Index Indonesia berada pada peringkat 112 dari 175 negara. Hal ini berarti
kualitas sumber daya manusia masih rendah dan mengalami proses penurunan dari
tahun ke tahun. Salah satu faktor penyebab rendahnya Indeks Pembangunan Manusia
di Indonesia adalah rendahnya kualitas pendidikan, yang juga berpengaruh
langsung pada sektor ekonomi dan kesehatan. Keadaan tersebut lebih diperburuk
dengan masih dominannya budaya tutur (lisan) daripada budaya baca. Budaya ini
menjadi kendala utama dalam meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat yang
seharusnya mampu mengembangkan diri dalam menambah ilmu pengetahuannya secara
mandiri melalui membaca (Tilaar, 2002). Pemerintah pada saat sekarang ini
memberikan perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan.
Minat membaca berbanding lurus dengan tingkat kemajuan pendidikan
suatu bangsa. Kegiatan membaca merupakan hal yang sangat penting bagi
kemajuan suatu bangsa. Parameter kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari
kondisi pendidikannya. Pendidikan selalu berkaitan dengan kegiatan belajar
(Harjasujana, 1997). Belajar selalu identik dengan kegiatan
membaca karena dengan membaca akan bertambahnya pengetahuan, sikap dan
keterampilan seseorang. Pendidikan tanpa membaca bagaikan raga
tanpa ruh. Fenomena pengangguran intelektual tidak akan terjadi
apabila masyarakat memiliki semangat membaca yang membara.
Budaya Membaca di
Indonesia
Pada tahun 2011, UNESCO merilis hasil survei budaya membaca terhadap penduduk di
negara-negara ASEAN. Faktanya
sungguh membuat kita miris. Budaya membaca Indonesia berada pada peringkat
paling rendah dengan nilai 0,001. Artinya,
dari sekitar seribu penduduk Indonesia, hanya satu yang masih memiliki budaya
membaca tinggi. Indonesia masih terdapat fenomena pengganguran intelektual
karena minat membaca masyarakatnya masih dikatakan rendah. Berdasarkan survei
yang dilakukan oleh International Education Achievement (IEA)
pada awal tahun 2000 menunjukkan bahwa kualitas membaca anak-anak Indonesia
menduduki urutan ke 29 dari 31 negara yang diteliti di Asia, Afrika, Eropa dan
Amerika.Dengan demikian tidaklah mengherankan bila Indeks kualitas sumber daya
manusia (Human Development Index/HDI) di Indonesia juga rendah.
Hal ini sesuai dengan survei yang dilakukan oleh UNDP pada
tahun 2005 bahwa HDI Indonesia menempati peringkat 117 dari 175 negara (Library
Perbanas).
Indonesia sebagai negara
berkembang, belum memiliki budaya membaca seperti halnya Jepang. Menurut
laporan dari Badan Pusat Statistik berkenaan dengan perilaku sosial budaya di
dalam masyarakat diketahui persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang
membaca surat kabar atau majalah sebesar 18.94% pada tahun 2009 atau turun dari
angka sebelumnya sebesar 23.46% pada tahun 2006. Tentu saja ini merupakan
berita yang menyedihkan bagi Negara berkembang yang ingin maju. Indonesia
temasuk salah satu Negara yang paling sedikit peminat membacanya.
Faktor
Rendahnya Minat Membaca di Indonesia
Rendahnya budaya
membaca di Indonesia sangat mempengaruhi
kualitas bangsa Indonesia, sebab dengan rendahnya budaya membaca, tidak bisa
mengetahui dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi di dunia,
di mana pada ahirnya akan berdampak pada
ketertinggalan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk dapat mengejar kemajuan
yang telah dicapai oleh Jepang, perlu kita kaji apa yang menjadikan mereka
lebih maju. Ternyata meraka lebih unggul di sumber daya manusianya. Budaya
membaca mereka telah mendarah daging dan sudah menjadi kebutuhan mutlak dalam
kehidupan sehari harinya. Untuk mengikuti jejak mereka dalam menumbuhkan budaya
membaca sejak dini perlu kita tiru dan kita terapakan pada masyarakat kita,
terutama pada tunas-tunas bangsa yang kelak akan mewarisi negeri ini.
Rendahnya budaya membaca di
Indonesia disebabkan karena beberapa faktor. Diantaranya yaitu :
1. Warisan
Budaya Bercerita
Budaya baca memang belum pernah diwariskan nenek moyang.
Kita hanya terbiasa mendengar berbagai dongeng, kisah, adat-istiadat secara
verbal atau lisan yang diceritakan oleh orang tua, nenek, dan tokoh
masyarakat. Sehingga tidak ada pembelajaran secara tertulis
yang dapat menimbulkan kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca dipengaruhi oleh
faktor determinisme genetic, yakni warisan
orangtua. Seseorang yang gemar membaca dibesarkan dari
lingkungan yang cinta membaca. Lingkungan terdekatnya inilah yang
akan mempengaruhi seseorang untuk mendekatkan diri pada bacaan, jadi seseorang
tidak suka membaca karena memang sejak kecil dibesarkan oleh orangtua yang
tidak pernah mendekatkan dirinya pada bacaan (Hernowo, 2002).
2. Sistem
pembelajaran di Indonesia
Sistem pembelajaran di Indonesia telah membuat siswa
cenderung pasif dan hanya mendengarkan guru mengajar di kelas daripada
mencari informasi atau pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan di sekolah
dengan membaca buku sebanyak-banyaknya.
3. Teknologi
dan berbagai tempat hiburan
Munculnya permainan (game) yang makin canggih
dan variatif serta tayangan televisi yang semakin menarik, telah mengalihkan
perhatian anak dari buku. Tempat hiburan yang makin banyak didirikan juga
membuat anak-anak lebih banyak meluangkan waktu ke tempat hiburan daripada
membaca buku.
4. Minimnya
sarana untuk memperoleh bacaan
Masih minimnya sarana untuk memperoleh bacaan juga
menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya budaya membaca masyarakat
Indonesia. Andaipun harus membeli, harga buku yang ada di pasaran
relatif mahal. Hal ini menyebabkan orang tua tidak membelikan
buku bacaan tambahan selain mengutamakan buku-buku yang diwajibkan oleh
sekolah. Apalagi kondisi ekonomi masyarakat yang kurang mampu,
jangankan terpikir untuk membeli buku bacaan, untuk memiliki ongkos pergi ke
sekolah pun terkadang menjadi hambatan bagi mereka.
5. Sifat
malas yang merajalela
Di Amerika Serikat dan Jepang, setiap individu
memiliki waktu baca khusus dalam sehari. Rata-rata kebiasaan mereka
menghabiskan waktu untuk membaca mencapai delapan jam sehari. Sementara
di negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap
harinya. Mereka cenderung memilih untuk bersantai main game,
bermalas-malasan menonton televisi atau pergi jalan-jalan ke mall atau tempat
hiburan lainnya.
Budaya
Membaca di Jepang
Negara maju
seperti Jepang kegiatan membaca menjadi sebuah budaya positif, membaca adalah
suatu kebiasaan yang telah menjadi kebutuhan bagi masyarakatnya. Dimulai sejak
lebih dari seabad yang lalu saat restorasi Meiji, para pemimpin saat itu mulai
menerjemahkan buku-buku asing dari seluruh dunia terutama Amerika dan Eropa.
Tidak peduli di manapun mereka berada, mulai dari anak-anak, remaja hingga
orang dewasa akan terlihat sedang membaca buku di dalam kereta, stasiun maupun
airport. Hal ini tentu menjadi identitas masyarakat jepang di mata dunia selain
sebagai masyarakat pekerja keras.
Meski sebagian
besar waktunya dihabiskan untuk bekerja, tetapi orang Jepang pantang untuk
tidak melakukan apa-apa ketika ada waktu longgar. Ketika ada waktu longgar,
negara yang pernah hancur lebur pada Perang Dunia kedua itu memanfaatkannya
untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat, seperti membaca. Budaya membaca sudah
mendarah daging bagi masyarakat Jepang. Para orangtua sudah mengajarkan membaca
kepada anak-anaknya sejak dini. Hasilnya, membaca bukan lagi kegiatan yang
dipaksakan tetapi sudah menjadi hobi (Harjasujana,
2000).
Orang-orang Jepang
memang terkenal sebagai masyarakat yang “kutu buku” dalam cerita-cerita yang
berkembang di dunia internasional yang mana dibuktikan dengan fakta bahwa tiap
tahun lebih dari 1 miliar buku dicetak di Jepang. Menurut Yoshiko Shimbun,
kebiasaan membaca di Jepang diawali dari sekolah. Para guru mewajibkan
siswa-siswanya untuk membaca selama 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar
mengajar di sekolah. Kebijakan ini telah berlangsung selama 30 tahun. Para ahli
pendidikan Jepang mengakui bahwa pola kebiasaan yang diterapkan ini terlalu
bersifat behavioristik, di mana terdapat reward (penghargaan) dan punishment
(hukuman) dalam pelaksanaan aturan tersebut. Namun, pembiasaan yang dilakukan
dari tingkat sekolah dasar dinilai cukup efektif, karena dilakukan pada
anak-anak sejak usia dini.
Awalnya, seperti
yang disebutkan harian tersebut, pelaksanaan regulasi tersebut memang sulit
dilakukan, mengingat para murid memiliki latar belakang keluarga dan lingkungan
yang berbeda. Namun, karena pola pendidikan di Jepang didesain sedemikian
sehingga berkesinambungan dengan pola pendidikan di rumah, sehingga dalam
pelaksanaannya, orangtua juga proaktif mengembangkan kebiasaan baca di sekolah.
Budaya membaca yang tinggi pada
masyarakat Jepang jika dibandingkan dengan negara lain tidak tumbuh begitu
saja, tapi by design salah satu contohnya kurikulum sekolah di Jepang di buat
sedemikian rupa sehingga pada usia dini anak TK sudah diajar membaca, dengan
memaksa untuk menyukai buku, dengan membuat permainan lebih banyak pada
bagaimana mengenal huruf, hingga mengundang mahasiswa internasional untuk
berinteraksi dengan mengenalkan mereka huruf. Disamping usaha sekolah,
orang tua sangat berperan bagaimana meningkatkan minat anak membaca, salah
satunya dengan memberikan hadiah berupa buku bacaan atau komik, dan menjadikan
perpustakaan daerah sebagai tujuan wisata di akhir pekan. Perpustakaan
daerah yang dikelola pemerintah sangat menarik minat para pengunjung, karena
tidak hanya mengoleksi buku bacaan, tapi juga koleksi kaset rekaman
film, piringan hitam musik hingga lukisan yang tentu saja semuanya dapat
di pinjam oleh pengunjung.
Tachiyomi
di Jepang
Di
Jepang, ada kebiasaan yang berkembang luas di masyarakat, yaitu Tachiyomi yang
merupakan kabiasaan masyarakat Jepang baik anak muda maupun usia lanjut untuk
memanfaatkan waktu luang mereka untuk membaca, biasanya membaca sambil
berdiri di depan toko buku. Buku yang dibaca bermacam-macam mulai dari majalah,
komik (manga) buku pelajaran atau buku yang lainnya. Dengan tingginya pola baca
masyarakat jepang, maka toko buku, toko buku cafe hingga convenience store
menyediakan khusus buku atau komik populer bagi pembaca yg hanya ingin membaca,
membaca buku/komik tersebut sebelum memutuskan membacanya atau hanya sekedar
membaca gratis.
Perbedaan budaya tersebut yang
membedakan Jepang dan Indonesia, budaya membaca
orang-orang jepang tidak dipungkiri mampu membawa Jepang menjadi negara yang
jauh lebih maju dibanding Indonesia. Tingkat kemajuan membaca masyarakat
Indonesia sangat rendah dibanding dengan Negara-negara lainnya,ini dapat
dilihat dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia
lebih memilih menggunakan waktu luangnya untuk pergi berbelanja ke mall, dan
lain sebagainya dibanding dengan mengisi
waktu luang mereka untuk membaca buku di perpustakaan,sedangkan masyarakat
Jepang menggunakan waktu luang mereka untuk membaca buku. Masyarakat Jepang tidak
hanya membaca buku diperpustakaan tetapi juga mereka terbiasa membaca buku di
kendaraan umum,kebiasaan yang sungguh jauh berbeda dengan masyarakat Indonesia.
Penutup
Peradaban suatu bangsa ditentukan
oleh kecerdasan dan pengetahuannya, sedangkan kecerdasan dan pengetahuan di
hasilkan oleh seberapa ilmu pengetahuan yang di dapat, sedangkan ilmu
pengetahuan di dapat dari informasi yang diperoleh dari lisan maupun tulisan.
Semakin banyak penduduk suatu wilayah yang haus akan ilmu pengetahuan semakin
tinggi peradabannya.
Budaya suatu bangsa biasanya
berjalan seiring dengan budaya literasi, faktor kebudayaan dan peradaban
dipengaruhi oleh membaca yang dihasilkan dari temuan-temuan para kaum cerdik
pandai yang terekam dalam tulisan yang menjadikan warisan literasi informasi
yang sangat berguna bagi proses kehidupan social yang dinamis.
Rendahnya budaya membaca masyarakat
kita sangat mempengaruhi kualitas bangsa Indonesia, sebab dengan rendahnya budaya
membaca, tidak bisa mengetahui dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
informasi di dunia, di mana pada akhirnya akan berdampak pada ketertinggalan
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk dapat mengejar kemajuan yang telah
dicapai oleh negara-negara tetangga, perlu menumbuh kan budaya membaca
sejak dini.
Daftar Pustaka
Tilaar,
H. A. R. 2002. Membenahi Pendidikan
Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Adler,
M. J. dan Van Doren, C. Penyadur : Budi Prayitno. 1989. Cara Membaca Buku dan
Memahaminya. Jakarta: PT Pancaca Simpati.
Harjasujana,
A.S. & Damaianti, V.S. 2003. Membaca dalam Teori danPraktik. bandung:
Mutiara.
Harjasujana,
A.S. & Mulyati, Y. 1997. Membaca 2,
Modul Universitas Terbuka. Jakarta: Depdikbud.
Hernowo
(Edt).2003. Quantum Reading: Cara cepat dan Bermanfaat Untuk Merangsang
Munculya Potensi Membaca. Bandung: MLC.
1 komentar:
pemerintah indonesia harus meniru sistem budaya membaca ini agar negara kita bisa maju, jgn berkembang terus.
Posting Komentar