Selasa, 24 Februari 2015

Makalah Analisis Multikulturalisme Pendidikan



MULTIKULTURALISME PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Menurut Parek (dalam Azra, 2007) “A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”. Pada dasarnya masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa.
Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan karena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
Wacana tentang pendidikan multikultural ini dimaksudkan untuk merespon fenomena konflik etnis, sosial-budaya, yang kerap muncul di tengah-tengah masyarakat yang berwajah multikultural. Wajah multikulturalisme di Negeri ini hingga kini ibarat api dalam sekam, yang suatu saat bisa muncul akibat suhu politik, agama, sosio-budaya yang memanas, yang memungkinkan konflik tersebut muncul kembali.
Keberadaan budaya dalam satu komunitas merupakan model pemberdayaan, terutama dalam proses pendidikan. Meski demikian, sekolah belum dilihat sebagai institusi budaya dan sebagai ajang interaksi antar anggota masyarakat. Padahal sekolah dapat berfungsi menjadi tempat bertemunya berbagai kepentingan kelembagaan, seperti keluarga, manajemen birokrasi pendidikan dan pasar kerja. Pergumulan berbagai lembaga ini akan memberi warna terhadap pemecahan masalah fungsional dalam pendidikan yang dihadapi masyarakatnya.
Beberapa kecenderungan dari sistem pendidikan nasional yang selama ini berlaku menunjukkan beberapa fenomena yang tidak menguntungkan bagi pembentukan proses kultural. Pertama, pendidikan nasional bersifat monolitik-kultural, etnosentrisme dengan menempatkan budaya induk sebagai acuan atau standart superioritas, sehingga sangat merugikan bagi pembentukan integrasi nasional. Kedua, sistem pendidikan barat dikembangkan di Indonesia, dengan acuan sistem ekonomi internasional sehingga melahirkan ukuran dan norma-norma yang seragam dalam menilai keberhasilan masyarakat. Ketiga, Indonesia tidak cukup dibangun dengan identitas subnasional dengan basis ras, etnik, budaya, kelas-sosial, agama dan pengelompokan lainnya. Karena selama ini di Indonesia tidak berhasil memelihara sistem nilai dan pola perilaku yang berlaku umum dan berlaku untuk menjaga keutuhan masyarakat. Keempat, dunia persekolahan Indonesia cenderung bersifat elitis untuk mempertahankan status quo dalam struktur sosial yang mapan. Anak-anak keturunan Cina mengelompok dalam model sekolah mereka sendiri, demikian pula anak-anak pribumi berkumpul di Sekolah Negeri, mereka menggunakan simbol etnis, agama dan status sosial. Dengan demikian, anak-anak itu sekarang makin individualistik, materialistik, sering menghindari tanggung jawab yang besar, dan tidak pernah peduli dengan nasib orang lain.
Dari latar belakang masalah tersebut, selayaknyalah kita mengembangkan paradigma baru di dunia pendidikan, yakni paradigma pendidikan yang multikultural. Paradigma pendidikan multikultural tersebut pada akhirnya bermuara pada terciptanya sikap siswa yang mau memahami, menghormati, menghargai perbedaan budaya, etnis, agama dan lainnya yang ada di masyarakat. Bahkan jika dimungkinkan mereka bisa bekerja sama. Kemudian pendidikan multikultural memberikan penyadaran bahwa perbedaan suku, etnis, budaya, agama dan lainnya tidak menjadi penghalang bagi siswa untuk bersatu. Dengan perbedaan, siswa justru diharapkan tetap bersatu, tidak bercerai berai, mereka juga diharapkan menjalin kerja sama serta berlomba-lomba dalam kebaikan di kehidupan yang sangat kompetitif ini.
B.     Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini, yakni :
1.      Apakah hakekatnya konsep pendidikan multikultural ?
2.      Bagaimanakah urgensi pendidikan multikultural di Indonesia ?
3.      Bagaimanakah model pendidikan multikultural di Indonesia?
C.    Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini, antara lain :
1.      Dapat memahami konsep pendidikan multikultural.
2.      Dapat mengetahui model pendidikan multikultural di Indonesia.
3.      Dapat mengaplikasikan urgensi pendidikan multikultural di Indonesia.
D.    Manfaat
Adapun manfaat yang diperoleh dari makalah ini, diantaranya :
1.      Dapat menjelaskan konsep pendidikan mulktikultural
2.      Dapat menjelaskan model pendidikan multikultural di Indonesia.
3.      Dapat mengaplikasikan urgensi pendidikan multikultural di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Pendidikan Multikultural
1.      Pemahaman mengenai Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya) dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.
Menurut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar) multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut.
Sedangkan  (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174) multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain.
Jadi, Multikulturalisme adalah  kesejajaran budaya. Masing-masing budaya manusia atau kelompok etnis harus diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih dominan.
Selanjutnya, harus diakui bahwa multikulturalisme kebangsaan Indonesia belum sepenuhnya dipahami oleh segenap warga masyarakat sebagai sesuatu yang given, takdir Tuhan, dan bukan faktor bentukan manusia. Memang masyarakat telah memahami sepenuhnya bahwa setiap manusia terlahir berbeda, baik secara fisik maupun non fisik, tetapi nalar kolektif masyarakat belum bisa menerima realitas bahwa setiap individu atau kelompok tertentu memiliki sistem keyakinan, budaya, adat, agama, dan tata cara ritual yang berbeda.
Kondisi multikulturalitas kebangsaan bisa diibaratkan sebagai pedang bermata ganda: di satu sisi, ia merupakan modalitas yang bisa menghasilkan energi positif; tetapi disisi lain, manakala keanekaragaman tersebut tidak bisa dikelola dengan baik, ia bisa menjadi ledakan destruktif yang bisa menghancurkan struktur dan pilar-pilar kebangsaan (disintegrasi bangsa). Lebih lanjut pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk membangun keasadaran multikulturalisme dimaksud. Karena dalam tataran ideal, pendidikan seharusnya bisa berperan bagi terciptanya fundamen kehidupan multikultural yang terbebas dari kooptasi negara. Hal itu dapat berlangsung apabila ada perubahan paradigma dalam pendidikan, yakni dimulai dari penyeragaman menuju identitas tunggal, lalu kearah pengakuan dan penghargaan keragaman identitas dalam kerangka penciptaan harmonisasi kehidupan.
2.      Pengertian Pendidikan Multikultural
Anderson dan Cusher (dalam Mahfud, 2005:175) bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Lebih lanjut Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Yang pertama, Content Integration yakni ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, the knowledge construction process yakni membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran. Yang ketiga, an equity paedagogy yakni menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.  Fase keempat, prejudice reduction yakni mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbedaetnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.
Di Indonesia, pendidikan multikultural termasuk wacana yang relatif baru dan dipandang sebagai suatu pendekatan yang lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang dilakukan sejak tahun 1999/2000. Secara langsung atau tidak, kebijakan otonomi daerah tersebut berdampak pada dunia pendidikan untuk menciptakan otonomi pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan seiring dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila tidak dilaksanakan dengan hati-hati, kebijakan ini justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.
Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut :
a.       Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”.
b.      Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural).
c.       Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis.
d.      Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Sekolah multikultural secara embrional telah terjadi pada kelompok swasta yang berada di Yogyakarta, Denpasar, Salatiga dan Semarang (Suyoto, 1986; Salim, 2000). Jenis sekolah swasta yang dikembangkan oleh Yayasan Katolik dan Kristen seringkali menampung juga para siswa dari agama lain dan etnis yang cukup beragam. Meski jumlah keragamannya relatif masih sedikit, jenis sekolah tersebut sejauh ini cukup intensif menampilkan pergaulan multikultural kepada para siswa sejak dini.
Jadi, pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.
B.     Model Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar; (3) transformasi masyarakat. Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural (www. Edchange.org/multicultural)  yaitu:
1.      Tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
2.      Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
3.      Karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
4.      Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
5.      Kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keIndonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Jadi, dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.
Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.      Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2.      Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3.      Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
4.      Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5.      Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan. Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.
C.    Urgensi Pendidikan Multikultural di Indonesia
Untuk mewujudkan multikulturalisme dalam dunia pendidikan, maka pendidikan multikultural juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum nasional, yang pada akhirnya dapat menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural, serta upaya-upaya lain yang dapat dilakukan guna mewujudkannya.
1.        Sebagai sarana alternatif pemecahan konflik
Penyelenggaraan pendidikan yanng berbasis multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural. Dengan kata lain, multikulturalisme pendidikan ini sebagai sarana alternatif pemecahan konflik sosial-budaya. Perubahan yang diharapkan dalam konteks pendidikan multikultural ini tidak terletak pada justifikasi angka atau statistik dan berorientasi kognitif ansich sebagaimana lazimnya penilaian keberhasilan pelaksanaan pendidikan di Negeri ini. Namun lebih dari itu, pada terciptanya kondisi yang nyaman, damai, toleran dalam kehidupan masyarakat dan tidak selalu muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA.
2.        Supaya siswa tidak tercabut dari akar budaya
Pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina siswa agar tidak tercabut dari akar budaya yang ia miliki sebelumnya, tatkala ia berhadapan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi. Dalam era globalisasi saat ini, pertemuan antar budaya menjadi ‘ancaman’ serius bagi anak didik. Untuk mensikapi realitas global tersebut, siswa hendaknya diberi penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk aspek kebudayaan. Mengingat beragamnya realitas kebudayaan di Negeri ini, dan di luar Negeri, siswa pada era globalisasi ini sudah tentu perlu diberi materi tentang pemahaman banyak budaya, atau pendidikan multikulturalisme, agar siswa tidak tercabut dari akar budayanya itu.
3.      Sebagai landasan pengembangan kurikulum Nasional
Dalam melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa dengan ukuran atau tingkatan tertentu, pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting. Pengembangan kurikulum masa depan yang berdasarkan pendekatan multikultural dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut :
a.    Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan.
b.    Teori kurikulum tentang konten (curriculum konten), haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, dan generalisasi ke pengertian yang mencakup pula nilai moral, prosedur, proses dan ketrampilan yang harus dimiliki generasi muda.
c.    Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memerhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi dan politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik yang hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa dan dunia yang harus diseragamkan oleh institusi pendidikan.
d.   Proses belajar yang dikembangkan untuk siswa haruslah pula berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomophisme yang tinggi dengan kenyataan sosial, artinya proses belajar yang mengandalkan siswa belajar secara individualistis dan bersaing secara kompetitif individualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar kelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi positif.
e.    Evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan yang dikembangkan.
Berdasarkan pembahasan tersebut, tinjauan secara teoritis, normatif serta kritis mengenai multikulturalisme pendidikan ialah :
a.      Tinjauan Teoritis
Menurut James A Banks, pendidikan multikultural ialah konsep, ide, atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
Berpijak dengan dasar teori tersebut, pendidikan masa depan akan mempunyai paradigma baru berkaitan dengan pendidikan demokrasi yang mengakui adanya pluralitas budaya sekaligus memperkuat rasa persatuan nasional dari suatu bangsa negara. Karena tujuan pendidikan multikultural ini adalah menanamkan kepada siswa akan kesadaran (plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice) dan nilai-nilai demokrasi (democration values) yang diperlukan dalam berbagai aktivitas sosial.
b.      Tinjauan Normatif
Multikulturalisme normatif berkaitan dengan dasar-dasar moral antara keterikatan seseorang dalam suatu negara bangsa. Terdapat suatu ikatan moral dari anggota-anggotanya dalam batas-batas negara bangsa untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan bersama. Dalam kaitan ini, multikulturalisme pendidikan merupakan suatu kritik sosial dalam membangun keinginan bersama dari suatu kelompok, membangun suatu wadah di dalam pluralitas budaya yang ada dalam komunitas. Karena hakikatnya tidak semua proses pendidikan bisa disamakan antara budaya satu dengan yang lain, mengingat setiap negara mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda.
c.       Tinjauan Kritis
Karena pendidikan adalah upaya sadar meningkatkan martabat manusia demi meningkatkan taraf peradaban, maka sekolah merupakan lembaga pembangun peradaban. Oleh karena itu, harus berhasil membangun peradaban masyarakat. Untuk itulah pendidikan multikulturalisme sangat mendukung suatu peradaban manusia itu sendiri, akan tetapi apabila tidak ada fondasi yang kuat dalam menjalankan pendidikan yang multikultural ini maka akan terjadi suatu perpecahan dalam bangsa.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan :
Adapun kesimpulan dalam pembahasan makalah ini sebagai berikut:
1.   Pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Pendidikan multikulturalis dapat mencakup tiga jenis transformasi, yakni : (1) transformasi diri, (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, (3) transformasi masyarakat.
2.      Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya.
3.      Urgensi pendidikan mutikultural di Indonesia, yakni : sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, supaya siswa tidak tercabut dari akar budaya, dan sebagai landasan pengembangan kurikulum Nasional.
B.     Saran
Adapun saran yang dapat dijabarkan dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural, mendidik anak bangsa menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban, dengan demikian tidak saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitas kebudayaan yang beragam tersebut.
2.      Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka.
DAFTAR PUSTAKA
Buchori, Mochtar. 2004. Indonesia belajarlah; Membangun Pendidikan Indonesia. Semarang : Gerbang Madani Indonesia.
Mahfud, Choirul. 2005. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.










Tidak ada komentar: