MULTIKULTURALISME PENDIDIKAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut
Parek (dalam Azra, 2007) “A Multicultural society, then is one that includes
several cultural communities with their overlapping but none the less distinc
conception of the world, system of meaning, values, forms of social
organizations, historis, customs and practices”. Pada dasarnya masyarakat
multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam
kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi
mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah,
adat serta kebiasaan.
Kondisi
masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta
status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan
dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya
benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok
Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini
terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa.
Untuk itu
dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai
wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik
memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial
yang berakar pada perbedaan karena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi
pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada
substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan
menghormati keanekaragaman budaya.
Wacana
tentang pendidikan multikultural ini dimaksudkan untuk merespon fenomena konflik
etnis, sosial-budaya, yang kerap muncul di tengah-tengah masyarakat yang
berwajah multikultural. Wajah multikulturalisme di Negeri ini hingga kini
ibarat api dalam sekam, yang suatu saat bisa muncul akibat suhu politik, agama,
sosio-budaya yang memanas, yang memungkinkan konflik tersebut muncul kembali.
Keberadaan
budaya dalam satu komunitas merupakan model pemberdayaan, terutama dalam proses
pendidikan. Meski demikian, sekolah belum dilihat sebagai institusi budaya dan
sebagai ajang interaksi antar anggota masyarakat. Padahal sekolah dapat
berfungsi menjadi tempat bertemunya berbagai kepentingan kelembagaan, seperti
keluarga, manajemen birokrasi pendidikan dan pasar kerja. Pergumulan berbagai
lembaga ini akan memberi warna terhadap pemecahan masalah fungsional dalam
pendidikan yang dihadapi masyarakatnya.
Beberapa
kecenderungan dari sistem pendidikan nasional yang selama ini berlaku
menunjukkan beberapa fenomena yang tidak menguntungkan bagi pembentukan proses
kultural. Pertama, pendidikan
nasional bersifat monolitik-kultural, etnosentrisme dengan menempatkan budaya
induk sebagai acuan atau standart superioritas, sehingga sangat merugikan bagi
pembentukan integrasi nasional. Kedua, sistem
pendidikan barat dikembangkan di Indonesia, dengan acuan sistem ekonomi
internasional sehingga melahirkan ukuran dan norma-norma yang seragam dalam
menilai keberhasilan masyarakat. Ketiga, Indonesia
tidak cukup dibangun dengan identitas subnasional dengan basis ras, etnik, budaya,
kelas-sosial, agama dan pengelompokan lainnya. Karena selama ini di Indonesia
tidak berhasil memelihara sistem nilai dan pola perilaku yang berlaku umum dan
berlaku untuk menjaga keutuhan masyarakat. Keempat,
dunia persekolahan Indonesia cenderung bersifat elitis untuk mempertahankan
status quo dalam struktur sosial yang mapan. Anak-anak keturunan Cina
mengelompok dalam model sekolah mereka sendiri, demikian pula anak-anak pribumi
berkumpul di Sekolah Negeri, mereka menggunakan simbol etnis, agama dan status
sosial. Dengan demikian, anak-anak itu sekarang makin individualistik,
materialistik, sering menghindari tanggung jawab yang besar, dan tidak pernah
peduli dengan nasib orang lain.
Dari latar
belakang masalah tersebut, selayaknyalah kita mengembangkan paradigma baru di
dunia pendidikan, yakni paradigma pendidikan yang multikultural. Paradigma
pendidikan multikultural tersebut pada akhirnya bermuara pada terciptanya sikap
siswa yang mau memahami, menghormati, menghargai perbedaan budaya, etnis, agama
dan lainnya yang ada di masyarakat. Bahkan jika dimungkinkan mereka bisa
bekerja sama. Kemudian pendidikan multikultural memberikan penyadaran bahwa
perbedaan suku, etnis, budaya, agama dan lainnya tidak menjadi penghalang bagi
siswa untuk bersatu. Dengan perbedaan, siswa justru diharapkan tetap bersatu,
tidak bercerai berai, mereka juga diharapkan menjalin kerja sama serta
berlomba-lomba dalam kebaikan di kehidupan yang sangat kompetitif ini.
B. Perumusan Masalah
Adapun
permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini, yakni :
1. Apakah
hakekatnya konsep pendidikan multikultural ?
2. Bagaimanakah
urgensi pendidikan multikultural di Indonesia ?
3. Bagaimanakah
model pendidikan multikultural di Indonesia?
C. Tujuan
Tujuan
pembuatan makalah ini, antara lain :
1. Dapat
memahami konsep pendidikan multikultural.
2. Dapat
mengetahui model pendidikan multikultural di Indonesia.
3. Dapat
mengaplikasikan urgensi pendidikan multikultural di Indonesia.
D. Manfaat
Adapun
manfaat yang diperoleh dari makalah ini, diantaranya :
1. Dapat
menjelaskan konsep pendidikan mulktikultural
2. Dapat
menjelaskan model pendidikan multikultural di Indonesia.
3. Dapat
mengaplikasikan urgensi pendidikan multikultural di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Pendidikan Multikultural
1. Pemahaman mengenai Multikulturalisme
Akar
kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme
dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya) dan isme (aliran/paham).
Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang
hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.
Menurut (A. Rifai Harahap, 2007,
mengutip M. Atho’ Muzhar) multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang,
kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk
dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk
mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk
mempertahankan kemajemukan tersebut.
Sedangkan (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174) multikulturalisme
mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang,
serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain.
Jadi, Multikulturalisme
adalah kesejajaran budaya. Masing-masing budaya manusia atau kelompok
etnis harus diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan
tidak ada yang lebih dominan.
Selanjutnya, harus diakui bahwa
multikulturalisme kebangsaan Indonesia belum sepenuhnya dipahami oleh segenap
warga masyarakat sebagai sesuatu yang given,
takdir Tuhan, dan bukan faktor bentukan manusia. Memang masyarakat telah
memahami sepenuhnya bahwa setiap manusia terlahir berbeda, baik secara fisik
maupun non fisik, tetapi nalar kolektif masyarakat belum bisa menerima realitas
bahwa setiap individu atau kelompok tertentu memiliki sistem keyakinan, budaya,
adat, agama, dan tata cara ritual yang berbeda.
Kondisi multikulturalitas kebangsaan
bisa diibaratkan sebagai pedang bermata ganda: di satu sisi, ia merupakan
modalitas yang bisa menghasilkan energi positif; tetapi disisi lain, manakala
keanekaragaman tersebut tidak bisa dikelola dengan baik, ia bisa menjadi
ledakan destruktif yang bisa menghancurkan struktur dan pilar-pilar kebangsaan (disintegrasi
bangsa). Lebih lanjut pendidikan
merupakan wahana yang paling tepat untuk membangun keasadaran multikulturalisme
dimaksud. Karena dalam tataran ideal, pendidikan seharusnya bisa berperan bagi
terciptanya fundamen kehidupan multikultural yang terbebas dari kooptasi
negara. Hal itu dapat berlangsung apabila ada perubahan paradigma dalam
pendidikan, yakni dimulai dari penyeragaman menuju identitas tunggal, lalu
kearah pengakuan dan penghargaan keragaman identitas dalam kerangka penciptaan
harmonisasi kehidupan.
2. Pengertian Pendidikan Multikultural
Anderson dan Cusher (dalam Mahfud,
2005:175) bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan
mengenai keragaman kebudayaan. Lebih lanjut Banks (1993) telah
mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat dimensi yang saling
berkaitan satu dengan yang lain. Yang pertama, Content Integration yakni ada upaya untuk mempersatukan
kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, the knowledge construction process yakni membawa siswa untuk
memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran. Yang ketiga, an equity paedagogy yakni menyesuaikan metode
pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi
akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial. Fase
keempat, prejudice reduction yakni
mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran
mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan
olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbedaetnis dan ras
dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.
Di Indonesia, pendidikan
multikultural termasuk wacana yang relatif baru dan dipandang sebagai suatu
pendekatan yang lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih
pada masa otonomi dan desentralisasi yang dilakukan sejak tahun 1999/2000.
Secara langsung atau tidak, kebijakan otonomi daerah tersebut berdampak pada
dunia pendidikan untuk menciptakan otonomi pendidikan. Oleh karena itu,
pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan
pengembangan demokrasi yang dijalankan seiring dengan kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah. Apabila tidak dilaksanakan dengan hati-hati, kebijakan ini
justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.
Pendidikan
multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut :
a. Tujuannya
membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya
(berperadaban)”.
b. Materinya
mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai
kelompok etnis (kultural).
c. Metodenya
demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa
dan kelompok etnis.
d. Evaluasinya
ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi
persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Sekolah multikultural
secara embrional telah terjadi pada kelompok swasta yang berada di Yogyakarta,
Denpasar, Salatiga dan Semarang (Suyoto, 1986; Salim, 2000). Jenis sekolah
swasta yang dikembangkan oleh Yayasan Katolik dan Kristen seringkali menampung
juga para siswa dari agama lain dan etnis yang cukup beragam. Meski jumlah
keragamannya relatif masih sedikit, jenis sekolah tersebut sejauh ini cukup
intensif menampilkan pergaulan multikultural kepada para siswa sejak dini.
Jadi, pendidikan
multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi
sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Secara luas
pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan
kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan
agama.
B. Model Pendidikan Multikultural di
Indonesia
Pendidikan
multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti
yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis
transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses
belajar mengajar; (3) transformasi masyarakat. Menyusun pendidikan
multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok
mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti
sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat
yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan
apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami
diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari
budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural
lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang
toleran dan bebas toleransi.
Ada
beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural (www.
Edchange.org/multicultural) yaitu:
1. Tidak
lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan atau
pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang
lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan
pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi
kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan
justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program
sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
2. Menghindari
pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah
sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok
etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Dalam konteks pendidikan
multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun
program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan
memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan
meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan
perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
3. Karena
pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya
membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki
kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung
sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan
pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok
adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi
pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara
logis.
4. Pendidikan
multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan
mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
5. Kemungkinan
bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan
kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini
kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara
pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk
sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan
kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran
ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk
menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui
kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam
konteks keIndonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah
diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan
manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan
suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Jadi, dapat dipahami inti
masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam
masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka
dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka
menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan
ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam
masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang
menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah
lain masyarakat pendidik.
Oleh
karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat.
Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.
Masyarakat tidak ada dengan sendirinya.
Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2.
Masyarakat bergantung pada upaya setiap
individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya
memenuhi kebutuhan.
3.
Individu-individu, di dalam berinteraksi
dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya
tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
4.
Setiap masyarakat bertanggung jawab atas
pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk
masyarakat.
5.
Pertumbuhan individu di dalam komunitas,
keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya
untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Bila
penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat
besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian
individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan
sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses
pendidikan. Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung
jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya
hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan
masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan
pendidikan.
C. Urgensi Pendidikan Multikultural di
Indonesia
Untuk
mewujudkan multikulturalisme dalam dunia pendidikan, maka pendidikan
multikultural juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum nasional, yang pada
akhirnya dapat menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural,
serta upaya-upaya lain yang dapat dilakukan guna mewujudkannya.
1.
Sebagai sarana alternatif pemecahan
konflik
Penyelenggaraan
pendidikan yanng berbasis multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat
menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di
masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang secara
realitas plural. Dengan kata lain, multikulturalisme pendidikan ini sebagai
sarana alternatif pemecahan konflik sosial-budaya. Perubahan yang diharapkan
dalam konteks pendidikan multikultural ini tidak terletak pada justifikasi
angka atau statistik dan berorientasi kognitif ansich sebagaimana lazimnya penilaian keberhasilan pelaksanaan
pendidikan di Negeri ini. Namun lebih dari itu, pada terciptanya kondisi yang
nyaman, damai, toleran dalam kehidupan masyarakat dan tidak selalu muncul
konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA.
2.
Supaya siswa tidak tercabut dari akar
budaya
Pendidikan
multikultural juga signifikan dalam membina siswa agar tidak tercabut dari akar
budaya yang ia miliki sebelumnya, tatkala ia berhadapan dengan realitas
sosial-budaya di era globalisasi. Dalam era globalisasi saat ini, pertemuan
antar budaya menjadi ‘ancaman’ serius bagi anak didik. Untuk mensikapi realitas
global tersebut, siswa hendaknya diberi penyadaran akan pengetahuan yang
beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global,
termasuk aspek kebudayaan. Mengingat beragamnya realitas kebudayaan di Negeri
ini, dan di luar Negeri, siswa pada era globalisasi ini sudah tentu perlu
diberi materi tentang pemahaman banyak budaya, atau pendidikan
multikulturalisme, agar siswa tidak tercabut dari akar budayanya itu.
3. Sebagai
landasan pengembangan kurikulum Nasional
Dalam melakukan
pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar, atau
guna memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai oleh
siswa dengan ukuran atau tingkatan tertentu, pendidikan multikultural sebagai
landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting. Pengembangan kurikulum
masa depan yang berdasarkan pendekatan multikultural dapat dilakukan
berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Mengubah
filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi
yang lebih sesuai dengan tujuan, misi dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan
unit pendidikan.
b. Teori
kurikulum tentang konten (curriculum
konten), haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek
substantif yang berisikan fakta, teori, dan generalisasi ke pengertian yang
mencakup pula nilai moral, prosedur, proses dan ketrampilan yang harus dimiliki
generasi muda.
c. Teori
belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memerhatikan keragaman
sosial, budaya, ekonomi dan politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri
pada teori psikologi belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial,
budaya, politik yang hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa dan dunia
yang harus diseragamkan oleh institusi pendidikan.
d. Proses
belajar yang dikembangkan untuk siswa haruslah pula berdasarkan proses yang
memiliki tingkat isomophisme yang tinggi dengan kenyataan sosial, artinya
proses belajar yang mengandalkan siswa belajar secara individualistis dan
bersaing secara kompetitif individualistis harus ditinggalkan dan diganti
dengan cara belajar kelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi
positif.
e. Evaluasi
yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian
peserta didik, sesuai dengan tujuan yang dikembangkan.
Berdasarkan
pembahasan tersebut, tinjauan secara teoritis, normatif serta kritis mengenai
multikulturalisme pendidikan ialah :
a. Tinjauan Teoritis
Menurut
James A Banks, pendidikan multikultural ialah konsep, ide, atau falsafah
sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set
of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman
budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi,
kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
Berpijak
dengan dasar teori tersebut, pendidikan masa depan akan mempunyai paradigma
baru berkaitan dengan pendidikan demokrasi yang mengakui adanya pluralitas
budaya sekaligus memperkuat rasa persatuan nasional dari suatu bangsa negara.
Karena tujuan pendidikan multikultural ini adalah menanamkan kepada siswa akan
kesadaran (plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice) dan nilai-nilai demokrasi (democration values) yang diperlukan
dalam berbagai aktivitas sosial.
b. Tinjauan Normatif
Multikulturalisme
normatif berkaitan dengan dasar-dasar moral antara keterikatan seseorang dalam
suatu negara bangsa. Terdapat suatu ikatan moral dari anggota-anggotanya dalam
batas-batas negara bangsa untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang telah
menjadi kesepakatan bersama. Dalam kaitan ini, multikulturalisme pendidikan
merupakan suatu kritik sosial dalam membangun keinginan bersama dari suatu
kelompok, membangun suatu wadah di dalam pluralitas budaya yang ada dalam komunitas.
Karena hakikatnya tidak semua proses pendidikan bisa disamakan antara budaya
satu dengan yang lain, mengingat setiap negara mempunyai kebudayaan yang
berbeda-beda.
c. Tinjauan Kritis
Karena
pendidikan adalah upaya sadar meningkatkan martabat manusia demi meningkatkan
taraf peradaban, maka sekolah merupakan lembaga pembangun peradaban. Oleh
karena itu, harus berhasil membangun peradaban masyarakat. Untuk itulah pendidikan
multikulturalisme sangat mendukung suatu peradaban manusia itu sendiri, akan
tetapi apabila tidak ada fondasi yang kuat dalam menjalankan pendidikan yang
multikultural ini maka akan terjadi suatu perpecahan dalam bangsa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
:
Adapun
kesimpulan dalam pembahasan makalah ini sebagai berikut:
1. Pendidikan
multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan.
Pendidikan multikulturalis dapat mencakup tiga jenis transformasi, yakni : (1)
transformasi diri, (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, (3)
transformasi masyarakat.
2. Model
pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman
tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya.
3. Urgensi
pendidikan mutikultural di Indonesia, yakni : sebagai sarana alternatif
pemecahan konflik, supaya siswa tidak tercabut dari akar budaya, dan sebagai
landasan pengembangan kurikulum Nasional.
B.
Saran
Adapun saran
yang dapat dijabarkan dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Dunia
pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural,
mendidik anak bangsa menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban, dengan
demikian tidak saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitas kebudayaan yang
beragam tersebut.
2. Pendidikan
multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah
perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke
perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan
sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak
terbatas pada dimensi kognitif belaka.
DAFTAR PUSTAKA
Buchori,
Mochtar. 2004. Indonesia belajarlah;
Membangun Pendidikan Indonesia. Semarang : Gerbang Madani Indonesia.
Mahfud,
Choirul. 2005. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar Offset.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar